Nama Calon Presiden Belum Mengerucut, Peta Koalisi Masih Amat Cair
Pertemuan-pertemuan elite partai politik kian intens dilakukan. Nama-nama calon yang akan ”dijagokan” maju ke Pilpres 2024 juga bermunculan. Namun, peta koalisi di antara parpol masih amat cair.
JAKARTA, KOMPAS — Belum ada nama calon presiden yang mengerucut dan disepakati dalam komunikasi lintas partai yang belakangan kian intens dilakukan. Sekalipun ada nama-nama capres yang dimunculkan, masih bersifat internal partai dan komunikasi lintas partai yang dilakukan belum mencapai kesepakatan tentang siapa nama capres yang akan diusung bersama.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim mengatakan, tiga nama hasil rapat kerja nasional (rakernas), Juni, menjadi modal Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh untuk melakukan lobi-lobi dan kerja sama dengan partai-partai lain. Tiga nama tersebut ialah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Gubernur Jawa Tengah yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ganjar Pranowo.
”Kenapa kami terkesan lebih awal mengusulkan tiga nama itu, karena kami tahu diri belum cukup untuk 20 persen. Perlu waktu untuk menentukan siapa capres yang diusung karena ini tergantung pertemuan hati pimpinan partai,” katanya, Minggu (26/6/2022), di Jakarta.
Dalam enam bulan terakhir, Nasdem paling banyak didatangi pimpinan partai, seperti Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu. Namun, dari pertemuan-pertemuan itu, belum ada satu kerja sama atau koalisi yang disepakati Nasdem ataupun partai-partai lainnya.
Baca juga: Akhiri Polarisasi di Masyarakat
Taslim mengatakan, selain pertemuan terbuka antara Paloh dan pimpinan partai itu, ada pula pertemuan-pertemuan informal yang dilakukan oleh pengurus Nasdem dengan pengurus partai lainnya yang tidak terekspos. Pada intinya, komunikasi terus dijalin untuk memungkinkan kesepakatan dalam koalisi.
Namun, Taslim memastikan capres yang akan diusung Nasdem tidak akan keluar dari tiga nama yang ditawarkan tersebut. Siapa yang akan dipilih bergantung pada kesepakatan dan kecocokan antarpartai.
”Tiga nama itu hampir dapat dipastikan sebagai capres yang akan diusung oleh Nasdem. Pembicaraan lebih lanjut antara Nasdem dan partai-partai lainnya akan bergantung pada kesesuaian tersebut. Yang perlu kami tekankan ialah tiga nama itu memiliki bobot dan kualitas yang sama. Tidak ada calon utama dan urutan nama itu bukanlah ranking,” kata Taslim.
Menyikapi maraknya spanduk dukungan kepada Anies Baswedan yang mengatasnamakan kader Nasdem, menurut Taslim, itu kreativitas dari kader dan bukan merupakan keputusan DPP Partai Nasdem. Nasdem tidak mengutamakan satu dari ketiga nama itu karena ketiganya memiliki bobot dan potensi yang sama untuk dicalonkan oleh Nasdem.
Kesesuaian koalisi antara Nasdem dan partai lainnya, selain bergantung pada kecocokan capres yang diusung, juga dengan melihat prioritas pembangunan. Nasdem menginginkan untuk bekerja sama dan membangun kesepahaman dengan partai yang mau melanjutkan pembangunan yang dirintis oleh Presiden Joko Widodo.
Semua partai yang telah bertemu Nasdem, kata Taslim, memiliki pandangan yang sama, yakni untuk melanjutkan pembangunan. Misalnya, soal pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru. Dengan partai mana pun, Nasdem meminta agar pembangunan IKN diteruskan. Sebab, sebagai partai pendukung pemerintah, Nasdem memiliki tanggung jawab untuk meneruskan pembangunan tersebut.
”Kami ingin infrastruktur-infrastruktur itu on the track harus dilakukan. Nanti pertautan kami dengan partai ditentukan pada kesesuaian atau persetujuan pada prioritas tersebut,” ucapnya.
Masih cair
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Sabtu, menyikapi pertemuan Agus Harimurti Yudhoyono dengan Prabowo Subianto, mengatakan, partainya masih terbuka untuk berkoalisi dengan sebanyak mungkin partai. Sebelumnya, PKB dan Gerindra telah sepaham dan sepakat untuk bersama-sama menghadapi pemilu. Bahkan, kerja sama itu dinamai Kebangkitan Indonesia Raya.
”Semua masih terbuka. Partai-partai yang akan bergabung dengan PKB dan Gerindra terbuka. Nanti kita bahas rapi, apa yang akan kami perjuangan bersama,” katanya. Muhaimin mengatakan, masih ada waktu untuk memperkuat basis koalisi antarpartai.
Baca juga: Menerka Sinyal dari Lenteng Agung
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pada dasarnya partainya menerima dengan baik partai-partai yang mau bekerja sama dalam menghadapi Pemilu 2024. Soal kemungkinan Gerindra berkoalisi dengan partai lain, termasuk PDI-P, menurut Wakil Ketua DPR itu, dapat saja dilakukan.
”Ini mengalir saja karena namanya dinamika (politik) masih akan terus berjalan. Dan, situasi menjelang pemilu biasanya akan penuh dengan dinamika dan karena itu kami mengikuti saja. Pokoknya kita senang bekerja sama dengan banyak partai menghadapi pemilu,” ucapnya.
Menurut Dasco, sepanjang belum ada capres yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), partainya membuka pintu seluas-luasnya untuk kerja sama antarpartai. Gerindra telah sepakat mendorong Prabowo Subianto untuk menjadi capres dalam Pemilu 2024.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah melihat, persoalan koalisi saat ini masih sangat cair. Selain proses tahap pencalonan presiden yang masih jauh, partai juga masih menunggu mana kandidat yang mampu meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya.
Faktor popularitas dan elektabilitas kandidat ini, menurut Hurriyah, menjadi salah satu pertimbangan yang sangat penting bagi partai politik karena orientasi partai adalah memenangi pemilu.
”Nanti, pada akhirnya partai akan mengikuti saja seiring dengan meningkatnya atau kemampuan kandidat untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya. Partai akan mengusung kandidat mana yang punya kans untuk memenangi pemilu. Dan, bisa jadi, koalisi-koalisi awal yang terbentuk sekarang bisa berubah, itu masih sangat mungkin,” ucap Hurriyah.
Ia berpandangan, dengan pemunculan tiga nama bakal capres oleh Nasdem, partai tersebut terlihat ingin berusaha untuk bisa menjadi king maker dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Nasdem merasa bisa menjadi kendaraan bagi sejumlah kandidat potensial capres yang tidak memiliki tiket pencalonan.
”Jadi, ada upaya untuk membangun koalisi alernatif. Di sinilah kepiawaian Surya Paloh, seberapa kuat dia memainkan kartu ini dan juga membangun kesepakatan dengan kandidat yang diusung. Itu akan cukup menentukan,” ujar Hurriyah.
Kerusakan politik elektoral
Terlepas dari semua itu, Hurriyah melanjutkan, trennya koalisi yang terbentuk sekarang berbasis pada kandidat, bukan party-based. Fenomena ini sebenarnya tidak sejalan dengan cita-cita awal dibentuknya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang bertujuan agar terbentuk party-based coalition.
Karena itu, jika dilihat dari aspek pemilu dan demokrasi di Indonesia, fenomena tersebut sangatlah ironis. Ia melihat ada diskoneksi yang luar biasa antara kepentingan pemilu aktor-aktor elektoral dan kepentingan riil pemilih. Aktor-aktor elektoral sibuk bicara tentang koalisi pencapresan, tetapi abai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
”Ini lagi-lagi membuktikan bahwa peran partai di Indonesia, partai yang merupakan institusi demokrasi, justru hanya kendaraan politik yang bersifat demonstratif pada saat pemilu dan hajatan saja. Partai terlihat lebih banyak melakukan mobilisasi politik ketimbang melakukan kaderisasai, rekrutmen, dan pendidikan politik. Ini kelihatan ketika partai kebingungan mencari calon. Jadi, partai tidak bisa menemukan kader yang berkualitas, yang mumpuni untuk diajukan sebagai pejabat publik,” kata Hurriyah.
Pada akhirnya, menurut Hurriyah, ada persoalan serius di mana partai yang semestinya menjadi instrumen utama demokrasi, tetapi justru menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan politik elektoral di Indonesia. ”Jadi, ada gap. Publik tidak melihat bahwa pemilu berkaitan dengan kepentingan pemilih,” tuturnya.