Kesadaran partai-partai politik untuk mengakhiri polarisasi di masyarakat tidak cukup ditunjukkan dari bangunan koalisi. Diperlukan kedewasaan bersikap dari para elite partai politik.
JAKARTA, KOMPAS - Peningkatan intensitas komunikasi antarpartai politik untuk membangun koalisi menjelang Pemilu Presiden 2024 diharapkan beriringan dengan meningkatnya sikap kedewasaan para elite. Topik dan gaya bahasa yang memicu ketersinggungan elite lain semestinya dihindari karena dapat memicu konflik yang juga berpengaruh pada pembelahan masyarakat.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Firman Noor, mengatakan, pembangunan koalisi yang tengah dijajaki semua parpol saat ini perlu disertai dengan komitmen untuk menghentikan polarisasi di masyarakat. Sejak Pilpres 2014, publik sudah terbelah karena pilihan politik dan terus menguat hingga saat ini meski Pilpres 2019 telah lama usai. Ke depan, hal itu pun berpotensi terjadi kembali.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kesadaran untuk menghentikan keterbelahan masyarakat itu dilihatnya sudah tampak dari pernyataan sejumlah elite parpol saat bertemu dengan elite parpol lain membahas koalisi untuk Pilpres 2024. Kesadaran itu pula yang tampak saat Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan membentuk Koalisi Indonesia Bersatu. ”Saat ini sudah terbentuk rainbow coalition, koalisi yang bercorak nasionalis religius,” kata Firman, di Jakarta, Jumat (24/6/2022).
Namun, menurut dia, itu saja tak cukup dan perlu diperluas. ”Diperlukan kedewasaan bersikap dari para elite parpol dan seluruh jajarannya dari pusat hingga daerah,” ujarnya.
Kedewasaan yang dimaksud, misalnya, tidak menggunakan tema-tema politik yang dapat memicu ketersinggungan berbagai pihak. Tidak juga menggunakan politik identitas sebagai cara meraup suara. Para elite juga hendaknya menggunakan gaya bahasa yang bernuansa saling menghargai. Selain itu, tidak memanfaatkan potensi polarisasi masyarakat.
Pada Kamis (23/6), Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyampaikan partainya sulit bekerja sama dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ini memantik reaksi dari elite kedua partai itu karena pernyataan itu dianggap diskriminatif dan sombong.
Hasto, saat dihubungi Jumat (24/6), menjelaskan, bagi partainya, kerja sama parpol sangat penting bagi perjuangan bersama yang berdasarkan pada ideologi, kesejarahan, dan komitmen terhadap masa depan bangsa. ”PDI-P akan menghadapi persoalan sekiranya bekerja sama dengan parpol yang kebijakannya liberal, pro-pasar, dan terus mendorong impor pangan, sementara platform PDI-P mendorong Indonesia berdaulat di bidang pangan, demikian juga dengan prinsip kebangsaan,” katanya.
Adapun terkait dengan polarisasi politik, hal itu bisa dikurangi selama aktivitas kepartaian dilakukan dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, serta memahami akar persoalan yang tengah dihadapi bangsa. Dengan mempelajari pengalaman negara maju, memahami cita-cita pendiri bangsa, maka akan terbangun imaji dan cita-cita masa depan. Untuk mencapainya, maka dibutuhkan kerja sama politik.
Meski PDI-P menutup pintu kerja sama, Ketua DPP PKS Ahmad Mabruri mengatakan, PKS berkomitmen menghentikan polarisasi di masyarakat melalui bangunan koalisi pencalonan presiden-wapres. Tidak hanya terdiri dari partai-partai poros religius, tetapi juga dengan poros nasionalis, sehingga nantinya terbentuk poros nasionalis religius.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dalam kunjungannya ke Redaksi Harian Kompas, Jumat, menyampaikan, partainya tidak menutup kemungkinan berkoalisi dengan parpol mana pun. Polarisasi yang terjadi di masyarakat sebagai imbas dari pemilu sebelumnya juga jadi perhatian Demokrat dalam membangun koalisi ataupun penentuan capres dan cawapres.
”Kita ingin membangun koalisi yang mengedepankan nilai-nilai yang bukan hanya demokratis, melainkan menjaga persatuan dan kebinekaan. Karena itu, dalam membangun koalisi, mencari capres dan cawapres, hal itu harus menjadi alasan kita bertemu,” ujarnya.
Tak sebatas itu, Demokrat berkomitmen tidak menggunakan strategi yang dapat memecah belah bangsa hanya untuk mengejar elektabilitas. Ini termasuk politik identitas yang dalam beberapa kali pemilu digunakan sebagai cara meraup suara. ”Demokrat tak akan pernah tergoda menggunakan cara-cara seperti itu (politik identitas),” kata Agus.
Gerindra dan Demokrat
Sementara itu, pertemuan elite politik untuk menghadapi Pemilu 2024 terus berlanjut. Pada Jumat (24/6) malam, Agus Harimurti Yudhoyono mengunjungi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya di Jakarta.
Seusai berbincang dalam forum tertutup selama hampir dua jam, Prabowo mengatakan, selain pernah bekerja sama di Pilpres 2019, Gerindra dan Demokrat memiliki banyak persamaan ideologi dan visi. Komunikasi yang telah terjalin pun akan terus dilanjutkan. ”Prinsip Gerindra, seribu kawan terlalu sedikit sehingga kami ingin menjalin komunikasi. Kami ingin merintis kerja sama dengan sebanyak mungkin pihak,” tambahnya.
Namun, Prabowo belum memastikan apakah Gerindra akan berkoalisi dengan Demokrat. Masih ada waktu sekitar satu tahun sebelum memutuskan. Apalagi, menurut dia, koalisi di Indonesia, umumnya diumumkan pada detik-detik akhir jelang pendaftaran pasangan capres-cawapres.
Agus mengungkapkan, dalam pertemuan dengan Prabowo dibahas, antara lain, soal isu-isu global hingga tantangan ekonomi pasca-pandemi Covid-19. Keduanya juga mendiskusikan isu-isu kebangsaan dan kerakyatan. ”Banyak sekali kesamaan cara pandang bahwa Indonesia harus semakin maju, semakin sejahtera, dan itu harus dimulai dari kerja-kerja yang efektif dan persahabatan, serta sinergi kolaborasi di antara parpol,” katanya.
Senada dengan Prabowo, Agus menyampaikan bahwa ke depan Demokrat ingin terus membangun komunikasi dengan Gerindra. Pihaknya juga selalu membuka ruang untuk bekerja sama, apalagi jika tujuannya menghadirkan solusi untuk permasalahan bangsa. ”Mudah-mudahan kita bisa makin meningkatkan komunikasi dan silaturahmi semacam ini sehingga pada saatnya kita bisa berkontribusi lebih luas bagi Indonesia,” ujar Agus.
Sipol dibuka
Di tengah kesibukan parpol membangun koalisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mulai membuka akses ke Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) untuk pendaftaran parpol peserta Pemilu 2024. Dengan demikian, parpol sudah bisa memasukkan berkas-berkas yang dibutuhkan sebagai syarat menjadi peserta pemilu melalui Sipol, seperti profil parpol, keanggotaan, kepengurusan, dan kantor tetap parpol. Dokumen-dokumen tersebut sudah harus diserahkan pada masa pendaftaran pada1-14 Agustus 2022.
Anggota KPU, Idham Holik, menyampaikan, Sipol untuk mendukung pelaksanaan tugas jajaran KPU pusat hingga daerah, untuk memverifikasi kelengkapan pemenuhan persyaratan parpol peserta pemilu.
Namun, petugas penghubung Partai Kebangkitan Bangsa, Muadz Amsyari, mengatakan, kesulitan penginputan data pengurus dan kantor karena harus manual satu per satu. Padahal data yang diunggah banyak, sebagai contoh data pengurus tingkat kecamatan yang jumlahnya 7.000 lebih.