DPR Targetkan Pembahasan Tiga RUU Pemekaran Papua Tuntas Sembilan Hari
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung berharap tiga RUU DOB Pemekaran Provinsi di Papua sudah dapat diajukan untuk disahkan dalam pembahasan tingkat II di rapat parpipurna DPR pada 30 Juni 2022.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menargetkan bisa menuntaskan pembahasan tiga rancangan undang-undang atau RUU terkait pemekaran provinsi di Papua pada 30 Juni 2022. Praktis, penyerapan aspirasi dan pembahasan daftar inventarisasi masalah terhadap tiga RUU Daerah Otonom Baru di Papua dilakukan hanya sembilan hari sejak panitia kerja dibentuk, Selasa (21/6/2022).
Pembentukan panitia kerja (panja) tiga RUU Daerah Otonom Baru (DOB) itu diputuskan dalam rapat kerja antara Komisi II DPR dengan perwakilan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri, Selasa, di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Ketua Panja masing-masing ialah Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung untuk DOB Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang untuk DOB Provinsi Papua Selatan, dan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa untuk DOB Provinsi Papua Tengah.
Besok pagi (Rabu pagi), kita sudah mulai dengan RDP, mengundang gubernur dan seluruh pimpinan MRP dan DPRP.
Doli mengatakan, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan penyerapan aspirasi masyarakat itu akan segera dilakukan sejak Rabu oleh masing-masing panja. Menurut jadwal, Komisi II DPR akan mengundang gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), serta Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan elemen masyarakat lain yang terkait dengan pemekaran wilayah di Papua.
“Besok pagi (Rabu pagi), kita sudah mulai dengan RDP (rapat dengar pendapat), mengundang gubernur dan seluruh pimpinan MRP dan DPRP. Penyerapan aspirasi itu akan terus berlangsung sampai dengan Kamis. Lalu, Kamis malam, kita terbang ke Papua untuk menyerap aspirasi masyarakat di Papua. Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, kita di sana. Senin, Selasa, Rabu, kita menuntaskan finalisasi UU ini sehingga pada Rabu sudah selesai disepakati di tingkat I,” tutur Doli.
Dengan rentetan jadwal tersebut, Doli berharap tiga RUU DOB Pemekaran Provinsi di Papua tersebut sudah dapat diajukan untuk disahkan dalam pembahasan tingkat II di rapat paripurna DPR, Kamis (30/6). ”Kamis tanggal 30 diselesaikan, mudah-mudahan bisa lancar,” katanya.
Pembahasan yang mengejar waktu penyelesaian 30 Juni itu dilakukan karena ada ketentuan di Pasal 137 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam pandangan pemerintah menyebutkan, pasal tersebut mengatur untuk daerah baru yang dibentuk sebelum atau pada 30 Juni tahun berkenaan, penyaluran dana transfer ke daerah (TKD) akan dilakukan secara mandiri ke masing-masing daerah baru pada tahun berikutnya. Namun, apabila pembentukan daerah baru itu dilakukan setelah 30 Juni tahun berkenaan, dana TKD akan diperhitungkan secara proporsional dari dana TKD untuk daerah induk.
”Ada dua opsi. Pertama, TKD pada daerah baru akan dihitung mandiri untuk daerah masing-masing apabila pembentukan daerah itu dilakukan sebelum tanggal 30 Juni 2022. Namun, kalau sudah melewati 30 Juni 2022, TKD akan dihitung secara proporsional dari dana TKD ke daerah induk. Jadi, nanti dananya dibagi antara Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah,” papar Tito.
Selain mempertimbangkan penyelesaian RUU tidak lebih dari 30 Juni, pemerintah di dalam DIM yang diserahkan kepada DPR juga meminta agar tiga RUU tersebut sekaligus mengatur tentang jumlah kursi DPR, DPD, dan DPRP karena pemekaran wilayah akan berdampak pula pada penataan daerah pemilihan (dapil) dalam pemilu.
Hormati DPRP dan MRP
Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma mengatakan, DPD meminta agar pembahasan tiga RUU DOB Papua tersebut memperjelas maksud dan tujuan pemekaran Papua.
”Apakah murni demi meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua, atau demi perluasan investasi, kepentingan migrasi, atau kepentingan oligraki tertentu. Diperlukan penjelasan terbuka oleh pemerintah dan DPR terkait tujuan pemekaran Papua,” katanya.
DPD berpendapat, pemetaan dan desain besar pemekaran Papua harus dilakukan secara spesifik sehingga bisa dipahami secara utuh dan diterima positif oleh masyarakat Papua. Sebab, ada kekhawatiran di akar rumput bahwa pemekaran Papua hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan dan menempatkan orang asli Papua sebagai penonton di tanah sendiri.
”Dalam pembahasan pemekaran Papua, hendaknya menghormati kewenangan pemprov, MRP, dan DPRP. DPD juga meminta pemerintah menjelaskan urgensi pembentukan DOB dan melakukan kajian lebih komprehensif terhadap pemekaran di tanah Papua,” kata Filep.
Ini semakin tidak masuk akal. Sangat disayangkan pembahasan pemekaran wilayah yang sedemikian penting sekaligus konfliktual ini dipercepat dengan alasan teknis pragmatis distribusi anggaran.
Filep juga meminta pembahasan tiga RUU DOB Papua itu memperhatikan aspirasi dari tiga pilar, yakni adat, agama, dan pemerintah (pemda).
Tidak komprehensif
Pembahasan yang cepat terhadap tiga UU DOB Papua tersebut dikhawatirkan tidak akan mampu menyerap aspirasi masyarakat Papua secara komprehensif. Sebab, praktis hanya sembilan hari sejak panja dibentuk.
”Ini semakin tidak masuk akal. Sangat disayangkan pembahasan pemekaran wilayah yang sedemikian penting sekaligus konfliktual ini dipercepat dengan alasan teknis pragmatis distribusi anggaran. Padahal, persoalan pemekaran bukan hanya terkait dengan anggaran, melainkan juga harus dipertimbangkan hal-hal lain menyangkut kesiapan dan penyiapan daerah itu dari sisi tata kelola, termasuk desain kewilayahannya,” tutur Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Hal-hal seperti penentuan wilayah ibu kota di daerah baru, misalnya, itu bisa memicu konflik sehingga pembahasannya harus komprehensif dan mendengarkan banyak pihak. Itu baru dari satu sisi saja. Namun, dengan waktu sekitar sembilan hari untuk menuntaskan pembahasan tiga RUU DOB, Mardyanto khawatir proses penyerapan aspirasi publik tidak maksimal. Demikian juga dengan pembahasan DIM yang dikhawatirkan tidak mendalam.
”Melakukan RDP dalam dua hari saja saya kira tidak akan cukup untuk menampung pendapat dari berbagai pihak terkait. Tidak hanya dari masyarakat Papua, tetapi pemekaran ini kan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Dengan jadwal yang ada, apakah penyerapan aspirasi yang baik itu dapat dilakukan,” ucapnya.
Dengan hanya sembilan hari penyerapan aspirasi dan pembahasan DIM, Mardyanto mengkhawatirkan proses yang berlangsung sekadar formalitas belaka. Pihak-pihak yang dimintai pendapat hanya didengarkan secara formal, tetapi tidak dielaborasi lebih jauh di dalam pembahasan DIM sehingga hasilnya pun tidak maksimal karena dikejar-kejar oleh waktu.