Pemekaran Papua Masih Timbulkan Pro dan Kontra
Papua masih masuk dalam kategori provinsi termiskin di Indonesia. Pemekaran tidak secara otomatis membawa kesejahteraan karena tergantung pada aktor-aktor yang nantinya akan melaksanakan kebijakan pemekaran.
JAKARTA, KOMPAS — Pemekaran wilayah di Papua terus menuai pro dan kontra. Pemerintah berharap pemekaran wilayah bisa jadi bagian dari resolusi konflik. Pendekatan pemekaran dan pemberian akses kepada kelompok termarjinalkan dinilai terbukti sukses mereduksi konflik di berbagai negara. Sementara itu, sebagian orang asli Papua khawatir jika pemekaran hanya untuk alasan meredam konflik, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
”Prinsipnya mekanisme pengusulan pemekaran tidak berjalan dengan baik. Seolah kekuasaan pemerintah pusat dalam tindakan kekuasaan yang sentralistik. Status otonomi khusus, tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah lebih condong dalam menggunakan kekuasaan sentralistik,” ujar Wakil Ketua Komite I DPD RI dari Papua Barat, Filep Wamafma ketika menjadi pembicara pada Diskusi Pemekaran Papua Dalam Perspektif iIlmu Pemerintahan, Sabtu (18/6/2022).
Menurut Filep, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) akan memastikan bahwa pemekaran memiliki tujuan yang benar, yaitu bagi kepentingan kesejahteraan rakyat. Dalam pertemuan dengan pemerintah yang akan segera digelar, DPD akan meminta pemerintah menjelaskan desain besar dan dampak positif dari pemekaran. Sebelumnya, DPR RI telah menyetujui RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Tentang Pegunungan Tengah menjadi RUU inisiatif DPR.
”Faktor utama yang membuat rakyat Papua tidak percaya kepada kebijakan-kebijakan pusat adalah karena pemerintah pusat terlalu sewenang-wenang mengambil alih kewenangan provinsi dalam konteks otonomi khusus,” tambahnya.
Rencana pemekaran atau pembentukan daerah otonomi baru (DOB) dinilai mengesampingkan kekuatan kewenangan daerah, karena tidak melibatkan DPRP dan Majelis Rakyat Papua. Sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus, pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.
”Di saat pemekaran dimunculkan di saat itulah ketidakpercayaan kepada undang-undang (otsus) ini muncul kembali. Tidak akan terwujud apa yang kita harapkan karena pemerintah terlalu sabotase,” kata Filep.
Dia juga mengingatkan tentang sejarah penolakan pemekaran Papua Tengah dan Papua Selatan yang dilakukan serentak di Papua, sedangkan Provinsi Papua Barat tetap eksis karena rakyatnya menerima. Kebijakan pemekaran tanpa mendengarkan aspirasi rakyat bisa berpotensi melahirkan perlawanan.
”Saya khawatir. Saya orang Papua, saya tahu persis karakter suku-suku asli Papua. Ketika suara-suara hati, suara pikiran mereka tidak didengar baik, pemerintah otoriter terhadap aspirasi itu yang semulanya adalah aspirasi yang biasa-biasa, suatu saat perlawanan itu akan terjadi,” ujarnya.
Terkait pemekaran, rakyat Papua antara lain khawatir karena representasi orang asli Papua di parlemen tergolong minoritas. Di Kota Sorong, misalnya, dari 30 kursi anggota DPRD Kota Sorong, hanya 5 orang asli Papua. ”Demikian juga dengan kabupaten lain hampir persentasenya orang Papua minoritas di parlemen dibandingkan dengan suku-suku Nusantara. Ini salah satu persoalan besar yang tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah,” katanya.
Keamanan Nasional
Filep menambahkan bahwa pemerintah cenderung mendorong kebijakan pemekaran sebagai bagian dari strategi keamanan nasional. ”Strategi kebijakan keamanan nasional ini berarti adalah perlawanan-perlawanan politik pemerintah terhadap isu-isu disintegrasi bangsa, jadi pemekaran bukan lagi untuk kesejahteraan pembangunan dan pendekatan pelayanan publik, tetapi sebagai wujud atau strategi pemerintah untuk melawan kelompok separatis,” tambahnya.
Alih-alih menerapkan pemekaran wilayah, pemerintah diminta lebih intensif membangun komunikasi dan dialog. Pemerintah sebaiknya berupaya menyelesaikan persoalan yang ada, bukan menciptakan persoalan baru. ”Ini langkah dan strategi yang keliru dan salah oleh pemerintah sehingga menurut saya pemekaran tidak akan memberikan dampak positif bagi Papua, justru sebaliknya,” kata Filep.
Kepala Subdirektorat Penataan Daerah, Otsus (Otonomi Khusus), dan DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) Kementerian Dalam Negeri Kuswanto menambahkan bahwa pemekaran wilayah bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Kuswanto, pemekaran Papua terutama untuk meningkatkan layanan publik. Selain itu, sesuai dengan konsep ilmu pemerintahan, pemekaran berupaya untuk mereduksi konflik.
”Kami kebetulan termasuk tim penulis naskah akademik. Kami mengkaji, membandingkan dengan berbagai negara memang pendekatan-pendekatan pemekaran, pemberian akses kepada kelompok termarjinalkan, itu sukses mereduksi konflik di berbagai negara,” kata Kuswanto.
Pendekatan pemekaran di Papua diharapkan dapat memberikan ruang partisipasi politik yang lebih luas kepada kelompok-kelompok yang selama ini belum mendapatkan akses yang cukup di pemerintahan. “Dengan adanya keadilan sosial, adanya keterbukaan akses terhadap terhadap apa namanya pemerintahan, diharapkan konflik akan tereduksi. Dan ini menjadi kepentingan bersama kepentingan nasional. Bagaimana konflik di Papua ini dapat direduksi dengan adanya pemekaran di Papua,” tambahnya.
Selain itu, pemekaran di Papua merupakan wujud kebijakan afirmatif dan desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris itu untuk memastikan bahwa daerah-daerah yang ada di perbatasan mempunyai akses yang sama dengan wilayah lain di Indonesia sehingga perlu pendekatan yang khusus di dalam memaksimalkan pelayanan publik di wilayah Papua yang sangat luas.
Setelah adanya pemekaran, pemerintah berharap proses atau capaian pembangunan di Papua menjadi lebih baik. Kondisi indeks kemahalan konsumsi di Papua yang sangat tinggi diharapkan bisa diatasi dengan infrastruktur dan logistik yang lebih baik. Pemekaran juga memberi kesempatan bagi politisi untuk mewujudkan janji politik. Kompetisi untuk memilih pemimpin yang baik juga menjadi lebih terbuka.
Namun, hal ini tidak terjadi secara otomatis dan sangat tergantung pada aktor-aktor yang nanti akan melaksanakan kebijakan pemekaran. Hingga saat ini, Papua masih masuk dalam kategori provinsi termiskin di Indonesia. Secara empiris, rentang kendali pemerintahan di Papua masih bermasalah dengan biaya transportasi antardaerah yang masih mahal.
APBD maupun distribusi anggaran otonomi khusus juga masih belum terdistribusi secara merata. Ketimpangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga diharapkan bisa dikurangi. ”IPM kuncinya tiga: pelayanan, pendidikan, ekonomi. Itu yang menjadi alasan empirik pemekaran Provinsi Papua dan Papua Barat. Ini, kita saat ini bersama DPR: tiga daerah (pemekaran). Yang terakhir kami mendengar bahwa dari Baleg mengajukan juga RUU untuk Papua Barat Daya,” tambah Kuswanto.
Dalam paparannya, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Politik Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri Rossy Lambelanova menyebut IPM Papua 2021 berdasarkan berita resmi statistik BPS Papua mencapai 60,62. Urutan IPM terendah masih di Kabupaten Nduga (32,84), sedangkan urutan teratas Kota Jayapura (80,11). Jumlah kabupaten dengan status capaian IPM yang tinggi (70-80) pada 2021 ada 4 kabupaten, capaian IPM sedang (60-70) ada 7 kabupaten dan status IPM rendah (kurang dari 60) ada 17 kabupaten.
Baca Juga: MRP Minta Pemerintah dan DPR Tak Tergesa Bahas Pemekaran Papua
Menurut Rossy, potensi permasalahan di Papua bermula dari kesenjangan sosial sejak zaman Presiden Soeharto. Selama lebih 32 tahun, Papua ditinggalkan dan dianaktirikan. Pengalaman lebih 20 tahun Otsus Papua juga tidak mampu menyejahterakan orang asli Papua, hanya elite politik saja. Masyarakat tidak mengalami perubahan dalam kehidupan, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
”Keputusan soal pemekaran DOB ini dilakukan secara tidak transparan yang dapat memicu konflik lainnya terutama yang berkaitan dengan masyarakat adat. Papua memiliki tujuh wilayah adat yang apabila pembagian wilayah tidak dilakukan secara jelas dan transparan akan terjadi kesalahpahaman di masyarakat yang berujung konflik horisontal,” tambah Rossy.
Rossy menegaskan bahwa Otsus Papua harus menginternalisasi karakteristik lokal ke dalam sistem pemerintahan daerah di Provinsi Papua. Otsus melalui pendekatan antropologis ini bisa dilakukan dengan program ketahanan pangan hingga pemberdayaan masyarakat sesuai mata pencarian.
Gubernur Papua dukung
Terpisah, Staf Khusus Mendagri Bidang Politik dan Media, Kastorius Sinaga, dalam keterangan tertulisnya menyampaikan bahwa Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe Jumat (17/6) sore menghadap Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di ruang kerja Mendagri di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Mendagri pada pertemuan itu, kata Kasto, menyampaikan pandangan tentang pemekaran Papua dengan rencana membentuk tiga Daerah Otonomi Baru (DOB), yaitu Provinsi Papua Tengah, Pegunungan Tengah dan Papua Selatan yang RUU-nya kini sedang berproses di DPR.
Mendagri menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo memberi perhatian serius pada pembangunan dan kemajuan Papua. Ini terlihat dari dari seringnnya Presiden mengunjungi Papua hingga ke pelosok, terhitung sampai 14 kali.
Baca Juga: Pembahasan Pemekaran Papua Tak Terbendung
”Pemekaran dan UU Otsus yang baru dirancang untuk mempercepat pembangunan Papua dan meningkatkan kesejahteraan warga Papua,” kata Tito.
Menurut Kastorius, Tito kemudian bertanya langsung kepada Lukas Enembe tentang sikapnya terhadap pemekaran Papua, yang sempat diberitakan menyatakan penolakan. ”Siap Bapak Menteri, kami mendukung,” jawab Lukas Enembe seperti disampaikan Kastorius.
Kepada Mendagri, Lukas Enembe sempat mengusulkan agar skenario pemekaran Papua menempuh pembagian berdasarkan wilayah adat menjadi tujuh provinsi. Mendagri memberikan jawaban dengan mengatakan bahwa usul itu akan diakomodasi mengikuti kondisi dan kemampuan keuangan negara. Untuk saat ini, kata Mendagri, pemekaran tiga provinsi baru di Papua menjadi prioritas yang sedang dibahas di DPR.