Putusan Uji Materi UU MK Bakal Menguji Kenegarawanan Hakim Konstitusi
MK akan memutus empat perkara pengujian formil dan materiil UU MK pada Senin (20/6/2022) esok. Putusan ini akan menguji kenegarawanan sembilan hakim konstitusi dalam memutus perkara yang menguntungkan mereka.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada Senin (20/6/2022) esok, menurut rencana, Mahkamah Konstitusi akan memutus empat perkara uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Putusan ini dinilai sebagai bentuk uji kenegarawanan sembilan hakim konstitusi dalam memutus perkara yang telah menguntungkan mereka. Publik berharap agar MK bisa menjauhkan diri dari potensi konflik kepentingan.
Dilansir dari situs mkri.id, MK akan memutus empat perkara pengujian formil dan materiil UU MK. Empat perkara itu adalah Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Allan Fatchan Gani Wardhana, Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Priyanto, Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Violla Reininda dkk yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi, dan Nomor 56/PUU-XX/2022 yang diajukan Ignatius Supriyadi.
Jika dilihat dari penelusuran penanganan perkara, proses pemeriksaan uji formil UU MK ini cukup lama. Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 disidangkan dalam pemeriksaan pendahuluan pada 19 November 2020. Kemudian, proses pemeriksaan materi perkara baru selesai setahun setelahnya pada 18 November 2021. Selama sidang pemeriksaan, mahkamah telah mendengar penjelasan dari DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU. MK juga mendengarkan keterangan saksi dan ahli yang diajukan pemohon. Jika dirunut, MK membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk proses rapat permusyawaratan hakim (RPH) sebelum memutus perkara.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, saat dihubungi, Minggu (19/6/2022), mengatakan, putusan uji materi UU MK menjadi ujian besar bagi hakim konstitusi. Selain ujian kenegarawanan, menurut Susi, ini juga menjadi uji konsistensi MK terhadap putusannya yang terdahulu. Dalam putusan uji formil UU Cipta Kerja, MK berani menyatakan regulasi itu cacat formil sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Dalam pertimbangannya, MK juga menyebut syarat pembentukan UU yang baik harus memenuhi aspek partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Partisipasi publik yang bermakna yang dimaksud adalah hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, saat dihubungi, Minggu (19/6/2022), mengatakan, putusan uji materi UU MK menjadi ujian besar bagi hakim konstitusi.
Secara formil, proses pembentukan UU MK dipersoalkan karena waktunya terlalu singkat. Proses pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) hanya tiga hari, dan dilakukan secara tertutup di tengah badai pandemi Covid-19. UU MK juga memecahkan rekor karena hanya membutuhkan waktu tujuh hari di DPR sebelum disahkan di rapat paripurna (Kompas, 4 November 2020).
”Ini adalah ujian bagi mahkamah apakah mereka akan tunduk pada putusan yang sebelumnya dibuat di uji formil UU Cipta Kerja atau tidak? Harapan publik sangat besar dalam perkara ini,” kata Susi.
Selain uji konsistensi, menurut Susi, ini juga bentuk uji kenegarawanan hakim konstitusi karena mereka sedang memeriksa dan mengadili perkara yang mengatur diri sendiri.
Senada dengan Susi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari juga mengatakan, perkara ini adalah uji kenegarawanan sembilan hakim konstitusi. Sebab, berlakunya UU MK telah menguntungkan hakim konstitusi. Sejak awal, pembahasan UU tersebut kental muatan politis dan dinilai memanjakan hakim konstitusi.
Hal itu terutama adalah norma yang mengatur perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dari 2,5 tahun menjadi lima tahun. Selain itu, masa jabatan hakim konstitusi yang semula hanya lima tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk satu kali periode masa jabatan, kemudian berubah menjadi bisa menjabat hingga berusia 70 tahun selama masa jabatannya maksimal 15 tahun.
”Sembilan hakim konstitusi telah diuntungkan dengan berlakunya UU MK ini. Bagaimana mereka memutus perkara ini adalah ujian kenegarawanan. Apakah para hakim konstitusi benar-benar paham hukum tata negara sehingga mampu melepaskan diri dari potensi konflik kepentingan. Hakim punya kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam memutus perkara,” kata Feri.
Feri menjelaskan, uji materi UU MK ini juga bisa memperbaiki marwah MK. Selama ini, kata Feri, marwah MK sudah banyak tercoreng oleh banyak peristiwa, baik itu perkara korupsi hakim di masa lalu maupun putusan yang kontroversial. Terakhir, marwah MK kembali diuji karena Ketua MK Anwar Usman menikah sehingga memiliki hubungan semenda atau kekerabatan dengan adik Presiden Joko Widodo, Idayati. Jika MK dapat progresif dalam memeriksa perkara ini, tentu akan memperbaiki kepercayaan publik terhadap MK.
”MK perlu menjaga kepercayaan publik dan membuktikan bahwa sembilan hakim konstitusi itu benar-benar negarawan yang bebas dari konflik kepentingan. Apalagi, menjelang tahun politik 2024, tentu akan banyak perkara yang akan diajukan ke MK. MK perlu menjadi lembaga yang marwahnya disegani oleh publik sehingga putusan-putusannya tidak dipertanyakan,” kata Feri.
Marwah MK sudah banyak tercoreng oleh banyak peristiwa, baik itu perkara korupsi hakim di masa lalu maupun putusan yang kontroversial.
Secara materi bermasalah
Susi menambahkan, selain bermasalah dari sisi formil, secara materiil UU MK juga bermasalah. Masalah utama, menurutnya, adalah karena aturan itu diterapkan dengan mekanisme berlaku surut (retroaktif). Karena diberlakukan secara retroaktif, UU MK menguntungkan hakim yang sedang menjabat saat ini. Ini membuat publik akhirnya mencurigai bahwa kekuasaan kehakiman dapat ditundukkan karena hakim konstitusi mendapat ”hadiah” dari pembentuk UU. Ini juga dikhawatirkan mengganggu prinsip imparsialitas (tidak memihak) dan independensi MK saat menangani perkara.
”Kalau benar-benar ingin menegakkan marwah MK, seharusnya UU ini dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. MK harus konsisten dengan putusannya yang terdahulu. Selain itu, mereka juga harus memberlakukan UU itu ke depan (prospektif) agar tak terjadi konflik kepentingan dengan pembentuk UU,” kata Susi.
Sementara itu, pemohon perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020, Violla Reininda, berharap MK dapat menghadapi ujian kenegarawanan tersebut dengan membatalkan UU MK secara keseluruhan. Dia juga berharap sembilan hakim konstitusi tidak menerima perpanjangan masa jabatan yang diberikan. MK diharapkan benar-benar berperan sebagai penegak konstitusi, bukan sekadar penonton yang menganggap persoalan formil dan materiil UU MK bukan persoalan yang konstitusional.
”Jika MK konsisten dengan konsep partisipasi publik bermakna yang sudah digaungkan sebelumnya di pengujian UU Cipta Kerja, seharusnya MK membatalkan revisi UU MK ini. Sebab, partisipasi bermakna dalam pembahasan revisi UU MK telah dinihilkan,” terang Violla.
Violla juga menyebut bahwa UU MK cacat formil karena perencanaan pembentukan UU dianggap menghalalkan segala cara. RUU MK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020, tetapi hanya masuk dalam daftar kumulatif terbuka. UU MK adalah UU dengan mekanisme luncuran (carry over). Pembentuk UU berdalih pembahasan UU MK adalah tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 49 Tahun 2011, Putusan Nomor 34 Tahun 2012, dan Putusan Nomor 7 Tahun 2013. Sayangnya, dengan mekanisme luncuran itu, tidak ada kesinambungan antara draf baru dan sebelumnya. Pengusul RUU MK pun berbeda. Dulu, inisiatif ada di pemerintah. Sebelum disahkan pada 2020 lalu, inisiatif berubah ke DPR.
”UU MK ini menjadi bentuk pelanggaran konstitusi yang sempurna karena partisipasi publik tidak ada, sejumlah dokumen terkait pembentukan tidak aksesibel, dan substansinya pun penuh konflik kepentingan. Tidak ada alasan bagi MK tidak membatalkan UU ini seluruhnya,” kata Violla.