Parpol Pun ”Galau” Putuskan Capres dan Mitra Koalisi
Dua puluh bulan jelang Pilpres 2024, belum ada satu pun tokoh potensial capres yang memiliki elektabilitas menonjol. Situasi ini membuat parpol ”galau” untuk memutuskan capres yang akan diusung.
Berbeda dengan Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, manuver partai politik menyongsong Pemilu 2024 terjadi lebih awal. Satu koalisi telah terbentuk dan dua parpol lainnya secara terbuka menyatakan siap bekerja sama. Namun, belum ada satu pun yang memastikan dukungan calon presiden.
Bila pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 pembentukan koalisi cenderung didasarkan pada pilihan figur calon presiden, hal itu agaknya bergeser pada Pemilu 2024. Sejak dini, partai-partai kini mulai memikirkan strategi untuk merumuskan siapa yang akan mereka usung, termasuk dengan siapa mereka akan berkoalisi. Sebab, bagaimanapun konstitusi mengatur hanya parpol dan gabungan parpol yang dapat mengusung capres-cawapres.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jika menilik pada hasil survei terakhir Indikator Politik Indonesia, 26 April 2022, sosok Ganjar Pranowo unggul dengan 26,7 persen. Ia mengungguli Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (23,9 persen), dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (19,4 persen). Dari angka itu, belum ada yang mencapai elektabilitas di atas 30 persen.
Bandingkan, misalnya, dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia, Oktober 2013, atau lebih kurang enam bulan menjelang Pemilu 2014. Dalam pertanyaan semi-terbuka, elektabilitas Joko Widodo ketika itu telah menembus 35,9 persen. Setelah Jokowi, ada Aburizal Bakrie (11,4 persen), Prabowo Subianto (11,4 persen), dan Wiranto (7,8 persen).
Hasil survei lembaga yang sama, September 2017, Jokowi memuncaki survei elektabilitas dengan 34,2 persen, sedangkan Prabowo 11,5 persen.
Baca juga: Ganjar Melejit, Didukung Pemilih PDI-P dan Loyalis Jokowi
Situasi pada 2014 dan 2019 tersebut sedikit berbeda dengan persaingan elektabilitas yang relatif ”berimbang” menjelang Pemilu 2024. Sekalipun elektabilitas tertinggi saat ini berkutat di tiga nama, yakni Ganjar, Prabowo, dan Anies, tetapi persentase elektabilitas satu sama lain tidak terpaut sangat jauh. Belum ada elektabilitas tokoh yang sangat dominan menjelang Pemilu 2024.
Menilik situasi ini, parpol memang harus lebih aktif dalam memutuskan siapa yang akan mereka usung, dan dengan siapa mereka akan berkoalisi. Sebab, dalam situasi tidak ada calon yang sangat dominan, kemungkinan apa pun bisa terjadi.
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana, Jumat (10/6/2022), di Jakarta, mengatakan, belum adanya calon yang sangat dominan itu menjadi salah satu pertimbangan bagi parpol-parpol untuk melakukan manuver politik lebih dini. Bahkan, situasi ini membuat parpol ”galau” untuk memutuskan siapa capres yang mereka usung.
Pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga belum memutuskan capres yang akan mereka usung. Begitu pula antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sudah ancang-ancang mencari satu parpol lagi untuk berkoalisi, belum juga terlihat yakin siapa capres yang akan diusung.
Belum adanya calon yang sangat dominan itu menjadi salah satu pertimbangan bagi parpol-parpol untuk melakukan manuver politik lebih dini. Bahkan, situasi ini membuat parpol ’galau’ untuk memutuskan siapa capres yang mereka usung.
Aditya mengatakan, manuver-manuver politik yang dilakukan oleh parpol ini bisa dipahami karena mereka sedang berusaha untuk mencari kecocokan. ”Tidak mudah untuk bertemu karena kepentingannya berbeda-beda dan feeling politiknya tidak mudah. Situasinya juga berbeda antara 2014 dan 2019. Sebelumnya, mereka mudah untuk berkumpul di dua kelompok, tetapi sekarang karena Jokowi habis masa jabatan, mereka harus mencari kelompok-kelompok baru,” katanya.
Mereka yang sebelumnya berada di dalam pemerintahan belum tentu akan kembali dalam satu barisan. Oleh karena itu, manuver-manuver politik yang dilakukan oleh parpol, sejauh dilihat dari kacamata positif, adalah hal yang wajar. Hal ini menunjukkan parpol mulai tergerak untuk menyiapkan jauh-jauh hari secara serius koalisi dan capres yang diusung. Berbeda dengan periode-periode sebelumnya yang dilakukan menjelang akhir (last minute).
Daya tawar
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, KIB yang beranggotakan Golkar, PAN, dan PPP kerap kali dianggap sebagai koalisi yang terlalu dini. Namun, penyusunan koalisi sejak dini itu merupakan upaya penguatan kelembagaan dan daya tawar parpol. Sebab, selain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), delapan parpol lainnya tidak dapat mengusung capres sendirian tanpa koalisi.
”Kalau terbentuk koalisi dari awal, posisi tawar parpol itu akan lebih baik terhadap capres-capres, baik yang datang dari dalam maupun dari luar parpol,” katanya.
Jika koalisi dibentuk menjelang pendaftaran, posisi parpol tidak sekuat jika koalisi dibentuk dari awal sebab parpol-parpol tidak sempat menyusun visi-misi dan program. Kecenderungannya ialah kerja sama yang sifatnya pragmatis. Dengan koalisi terbentuk lebih awal, menurut Arsul, parpol dapat melakukan pembicaraan lebih panjang mengenai platform, dan visi-misi yang nantinya dapat berkontribusi bagi penentuan visi-msi capres yang diusungnya.
Sekalipun KIB tidak membatasi capres atau cawapres harus dari parpol, Arsul menegaskan, ada semangat di antara parpol yang berkoalisi untuk tidak mengusung capres semata-mata karena survei elektabilitasnya tinggi.
Baca juga: Sejalan dengan Jokowi, Koalisi Indonesia Bersatu Tak Buru-buru Tetapkan Capres
”Menurut pendapat saya, parpol tidak ingin orang itu hanya karena survei elektabilitasnya tinggi, atau karena orang diciptakan suatu situasi sehingga surveinya tinggi, terus ada pemodal atau pendukung finansial, lalu serta-merta kita mengambil itu,” katanya.
Oleh karena itu, setidaknya calon yang akan diusung oleh parpol itu masuk atau terlebih dulu menjadi anggota parpol. Apalagi, kata Arsul, konstitusi mengatakan hanya parpol dan gabungan parpol yang dapat mengajukan capres.
Mengenai siapa capres yang akan diusung, menurut Arsul, itu akan dibicarakan lebih jauh di dalam koalisi. Namun, ia mengatakan, tidak ada batasan calon yang diusung berasal dari dalam atau luar parpol.
Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan, partainya tidak ingin lagi koalisi dan penentuan capres dan cawapres dilakukan menjelang detik-detik akhir. ”Kami inginnya tiga bulan sebelum pendaftaran (capres dan cawapres) itu sudah oke,” katanya.
Komunikasi yang dilakukan dengan PKB, menurut Aboe, dilatarbelakangi oleh tanggapan positif dari PKB setelah perayaan milad ke-20 PKS beberapa waktu lalu. Namun, dengan posisi PKS yang memiliki 50 kursi dan PKB 58 kursi, keduanya belum bisa mengajukan capres-cawapres. Sebab, syarat untuk mendaftarkan capres-cawapres adalah menguasai minimal 20 persen atau 115 kursi DPR. Oleh karena itu, poros koalisi yang akan dibentuk PKB dan PKS masih membuka diri terhadap parpol lain yang ingin bergabung.
Baca juga: Muncul Wacana Koalisi PKS dan PKB
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengatakan, upaya kerja sama antara PKB dan PKS sebaiknya tidak terburu-buru dicurigai macam-macam. Salah satu pertimbangan kerja sama ini berpotensi dilakukan ialah keinginan untuk mengakhiri polarisasi yang terjadi sejak Pemilu 2014. Selama ini, konstituen kedua parpol kerap diperhadapkan dan dinilai tidak bisa bersatu karena pembelahan yang tajam.
”Kalau PKS dan PKB duduk bersama, politik identitas hilang. Pembelahan hilang, kadrun dan cebong-cebongan hilang,” katanya.
Soal capres, PKB sejak awal mengusung Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Ia senang karena PKS memberikan kesempatan untuk mendialogkan kemungkinan tersebut dalam kerja sama politik nantinya.
Tidak terpengaruh
Berbeda dengan parpol-parpol lainnya yang memilih berkoalisi dulu baru menentukan capres, Partai Nasdem mengatakan akan menentukan capres terlebih dulu baru membentuk koalisi. Penentuan capres dari Nasdem itu akan dilakukan melalui usulan yang muncul di dalam rapat kerja nasional pada 15-17 Juni 2022.
”Hasil rakernas itu akan memberikan tiga-empat nama kepada ketua umum Nasdem. Nanti dari nama-nama itu akan ditetapkan satu calon sekaligus calon itu yang akan dibawa ke dalam pembicaraan bersama dengan calon-calon mitra koalisi lainnya. Nasdem tidak membentuk koalisi sebelum ada capres,” kata Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate.
Namun, dengan siapa Nasdem berkoalisi, Plate mengatakan, itu belum ditetapkan. Komunikasi dilakukan Nasdem dengan semua parpol. Sebelumnya, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menerima kunjungan dua tokoh politik, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Wakil Sekjen Partai Demokrat Renanda Bachtar mengatakan, secara logika politik, partainya akan lebih mudah berkoalisi dengan PKS karena selama ini sama-sama berada di luar pemerintahan. Namun, apakah Demokrat akan bergabung dengan PKB dan PKS, itu memerlukan komunikasi intensif.
”Sebab, ada juga pemikiran untuk membentuk koalisi yang tidak terlalu banyak partai. Misalnya kenapa tidak dengan satu partai, misalnya Demokrat dengan Golkar, Demokrat dengan Gerindra, atau Demokrat dengan PDI-P. Tentu kita buka semua komunikasi dan harus menyamakan frekuensi dan visi,” katanya.
Sementara itu, di saat parpol lain sedang melakukan manuver-manuver politik, PDI-P enggan mengikuti dan menunggu keputusan dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. ”Jadi kita tidak tergoda. Bagi mereka yang belum-belum sudah melakukan, istilahnya gerakan bebas, gerakan tambahan untuk 2024. Karena setiap hari kami menyiapkan diri dalam konsolidasi,” kata Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P, dalam keterangan tertulisnya usai pelatihan kader perempuan PDI-P, Jumat.
Hasto mengatakan, partainya tidak tergoda melakukan manuver elite. Daripada memikirkan manuver itu, PDI-P mengajak semua pihak untuk memikirkan hal-hal lain yang lebih penting bagi bangsa dan negara.
”Ini adalah jawaban PDI Perjuangan agar politik membumi, politik betul-betul mengakar, politik tidak berada di awang-awang. Sehingga untuk mencalonkan saja, persyaratan belum cukup, lalu bergerak lincah. Padahal harusnya pergerakan itu ke bawah dengan mendidik rakyat, dengan berlomba-lomba mendidik rakyat bergerak ke bawah untuk memajukan bangsa,” katanya.
Baca juga: Merespons Koalisi Golkar-PAN-PPP, PDI-P: Kontestasi Dini Ganggu Pemerintah
Hasto juga mengingatkan agar kader PDI-P tak tergoda dengan model politik liberal yang mengedepankan elektabilitas. ”Politik liberal ini, mendapat prestasi sepertinya kalau sudah punya media, punya TV, kalau sudah memasang alat-alat elektoral, kalau sudah memiliki lembaga survei, padahal bukan itu. Sehingga politik dalam watak yang liberal akan berbahaya ketika yang dikedepankan hanya sekadar elektoral,” katanya.
Kini, semua parpol bergerak dengan aras dan strategi masing-masing. Ada yang berkoalisi sejak awal, ada pula yang menunggu capres baru berkoalisi, dan ada pula yang menunggu momentum tepat untuk menggalang koalisi. Strategi manakah yang lebih tepat? Dinamika politik ke depan akan sangat menentukan.