Merespons Koalisi Golkar-PAN-PPP, PDI-P: Kontestasi Dini Ganggu Pemerintah
Selain efek dari pandemi Covid-19 yang belum tuntas, tantangan berat muncul dari ketidakpastian global. Parpol diharapkan fokus membantu pemerintah mengatasi problem itu daripada kontestasi Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengingatkan kontestasi Pemilu 2024 yang terlalu dini bisa memunculkan energi negatif bagi jalannya pemerintahan. Terlebih di tengah berbagai persoalan bangsa akibat pandemi Covid-19. Karena itu, PDI-P menilai, persiapan terbaik untuk 2024 yang bisa dilakukan partai politik saat ini adalah turun dan membantu masyarakat.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyampaikan hal ini, Minggu (15/5/2024), menyikapi pembentukan koalisi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada Kamis (12/5/2022) malam, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa bertemu di Rumah Heritage, Jakarta. Tiga parpol yang menguasai 25,7 persen kursi DPR itu membicarakan penjajakan koalisi, menyamakan persepsi untuk mengawal keberhasilan program pembangunan pemerintah, dan mengawal agenda Pemilu 2024. Untuk diketahui, saat ini Airlangga masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Suharso sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Menurut Hasto, pertemuan antar-pimpinan partai politik merupakan hal yang wajar menjelang pemilihan umum dan sebagai bagian dari komunikasi politik. Namun, PDI-P berpendapat, kontestasi yang terlalu dini, di tengah berbagai persoalan bangsa akibat pandemi Covid-19, justru akan menjadi energi negatif bagi pemerintah yang sedang berkonsentrasi mendorong kemajuan bagi kemanfaatan terbesar untuk rakyat.
Baca juga: Koalisi Golkar, PPP, dan PAN Buka Pintu untuk Parpol Lain
”Seruan Presiden Jokowi agar para menteri berfokus pada tugasnya mengindikasikan hal tersebut. Bagi PDI Perjuangan, persiapan terbaik dalam rangka Pemilu 2024 saat ini dengan turun ke bawah dan memastikan seluruh komponen partai bergerak seirama dan dalam semangat yang sama untuk membantu rakyat,” ujar Hasto.
Tantangan yang dihadapi bangsa ke depan, diingatkan Hasto, bakal lebih berat. Selain efek dari pandemi Covid-19 yang belum tuntas, tantangan berat muncul dari ketidakpastian global akibat berbagai ketegangan dunia, seperti perang antara Rusia dan Ukraina.
Untuk itu, PDI-P berharap, seluruh partai dapat mengonsolidasikan kekuatan serta memperhitungan berbagai persoalan tersebut. Sebab, jika berbagai persoalan tersebut tidak diantisipasi dan diselesaikan dengan baik, dampaknya akan langsung dirasakan oleh rakyat dan berimbas buruk pada masa depan bangsa.
”Hal inilah yang menjadikan mengapa untuk kerja sama partai, PDI Perjuangan tidak banya mempertimbangkan aspek elektoral semata, tetapi benar-benar pertimbangan strategis. Sebab, pemilu pada dasarnya menjadi momentum bagi gerak kemajuan bangsa. Langkah yang diambil PDI-P adalah memusatkan seluruh koridor kontestasi tidak sebagai dansa politik demi ambisi kekuasaan semata, tetapi sebagai dialektika bagi lahirnya kepemimpinan nasional yang benar-benar mumpuni,” tutur Hasto.
Kualitas pemimpin
Hasto menilai, hal yang lebih tepat menjadi diskursus saat ini adalah kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan bagi bangsa ke depan dan desain keputusan strategis para pemimpin bangsa. Sebab, rakyat memerlukan jawaban dan kepastian terhadap arah masa depan.
Bagi PDI-P, kualitas kepemimpinan untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden pada 2024 tidaklah terbangun secara singkat pada dua tahun ke depan. Namun, hal itu merupakan akumulasi kualitas kepemimpinan sejak dini. Untuk itu, menurut dia, berbagai manuver elektoral terlebih dengan pencitraan justru akan mereduksi gambaran kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan bagi bangsa ini ke depan.
Hasto menyadari, saat ini berbagai bentuk ”pemanasan politik” sudah dilakukan oleh parpol. Setiap partai juga diyakini telah mempunyai strategi yang berbeda termasuk di dalam menempatkan momentum politik berkaitan dengan kerja sama antar-parpol. PDI-P juga secara intens berdialog dengan partai lain, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam berbagai pendekatan isu strategis yang dibahas.
”Terkait koalisi Pilpres 2024 sendiri, pada akhirnya akan mengerucut dan bagi PDI Perjuangan pertimbangan ideologis, komitmen bagi masa depan bangsa dan negara, serta kesesuaian agenda yang akan diusung, jauh lebih dikedepankan,” ucap Hasto.
Tiga calon presiden
Wakil Ketua Umum Bidang Pemenangan Pemilu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menyambut positif pertemuan di antara ketua umum Golkar-PAN-PPP. Menurut dia, pertemuan tersebut merupakan bagian dari mencari alternatif-alternatif pemimpin untuk masyarakat.
”Kami berharap di Pilpres 2024, jangan dua pasangan, minimal tiga pasangan. Dengan adanya pertemuan ini, saya melihat di Pemilu 2024 akan ada tiga pasang calon,” ujar Jazilul.
Jazilul mengatakan, soal bergabung atau tidak PKB dengan koalisi Golkar-PAN-PPP, hal itu sangat terbuka kemungkinannya. Sebab, hingga saat ini PKB juga terus menjalin komunikasi yang baik dengan partai mana pun. Sebelumnya, Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar juga sudah menjalin komunikasi dengan Airlangga Hartarto dan sejumlah parpol lain.
”Gus Muhaimin sudah berkomunikasi dengan Pak Airlangga dan juga dengan parpol lain, tetapi untuk tiga parpol yang berkumpul kemarin, PKB belum memastikan sikapnya, apakah bareng-bareng atau nanti membangun koalisi yang lain,” ujar Jazilul. Yang jelas, menurut dia, PKB telah memutuskan mengusung Muhaimin sebagai capres di Pemilu 2024.
Baca juga: Rakyat Berembuk Cari Capres, Parpol Pun Menuai Hasil
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra pun menyampaikan bahwa partainya menghormati upaya Golkar-PAN-PPP dalam membangun koalisi untuk Pilpres 2024. Sebab, dengan berupaya membangun koalisi, berarti ketiga parpol tersebut sudah memantapkan niatnya untuk patuh pada konstitusi dan menjaga amanah reformasi.
”Mereka berarti tidak mendorong penundaan pemilu dan berkomitmen penuh mendukung Pemilu 2024, seperti halnya Demokrat yang sejak awal mengambil sikap ini. Satu langkah maju mencegah permufakatan jahat yang dirancang segelintir elite di pemerintahan untuk melanggengkan kekuasaan,” kata Herzaky.
Berkaitan dengan ikut bergabung atau tidak dengan koalisi itu, posisi Demokrat masih akan melihat dan mempelajari keinginan publik, apakah menginginkan perubahan ataukah keberlanjutan. Semua koalisi tentu bertujuan ingin menang dan meraih dukungan sebanyak mungkin dari rakyat. Karena itu, pentingnya pembentukan koalisi ini memerhatikan keinginan publik. Sejalan dengan itu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono saat ini terus keliling daerah, menyerap aspirasi masyarakat.
Selain itu, Demokrat tidak menetapkan dulu capresnya sebelum pembentukan koalisi. Hal lain yang tak kalah penting, Demokrat ingin berkoalisi dengan sesama parpol yang memperjuangkan aspirasi rakyat. ”Harapan kami, tiap koalisi yang terbentuk untuk Pilpres 2024, diniatkan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, bukannya mempertahankan kekuasaan,” tutur Herzaky.
Koalisi yang rapuh
Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menilai, pembentukan koalisi dalam sistem presidensial masih salah kaprah. Sebab, pembentukan koalisi itu identik dengan sistem parlementer di mana koalisi dibentuk dengan napas ideologi yang membentuk suatu koalisi permanen.
Namun, di Indonesia, koalisi tidak berbasis ideologi. Artinya, koalisi itu tentu sangat rentan untuk bubar ketika sudah ingin mendekati akhir periode pemerintahan atau mungkin ganti format ketika pemerintahan baru lahir. ”Di sinilah kita menemukan adanya bentuk koalisi yang rapuh,” ujarnya.
Secara teoretis, koalisi lahir dari adanya sistem pemilu yang kuat. Biasanya, itu adalah sistem dua partai. Namun, jika multi partai, seperti yang ada di Indonesia sekarang, artinya itu adalah koalisi pelangi. Artinya, masing-masing masih mempunyai agenda tersendiri.
”Jadi, kalau koalisi yang kita lihat sekarang ini, mereka punya kecenderungan untuk bermain dua kaki karena memang mereka tidak terikat dengan ideologi atau visi yang sama. Inilah yang membuat peta politik kita terutama hubungan antar-relasi parpol itu cenderung pragmatis daripada ideologis. Kita akan cenderung melihat bahwa koalisi pelangi yang ada di tubuh partai politik kita itu, mereka orientasinya adalah kekuasaan, bukan untuk menjaga soliditas pemerintahan,” kata Wasisto.
Baca juga: Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol
Karena itu, menurut Wasisto, hal yang lumrah perpecahan koalisi itu akan terjadi jelang 2024 nanti. Hal tersebut juga terjadi di periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan situasi seperti itu, ia menyebut, disrupsi pemerintahan cepat atau lambat akan terjadi. Apalagi, dengan Pemilu 2024 nanti sudah ”menysaratkan” para parpol untuk bergerak sedini mungkin.
”Jadi, saya pikir disrupsi pemerintahan, yang berujung pada mengganggu jalannya pemerintahanya itu sangat mungkin terjadi. Karena partai juga sedang mengamankan bagaimana dia bisa berkuasa lagi di periode berikutnya,” tutur Wasisto.
Di tengah situasi tersebut, menurut Wasisto, Presiden Jokowi tidak bisa berbuat banyak karena Jokowi bukan merupakan ketua partai politik. Ini menyebabkan Jokowi tersandera secara politis sehingga ia tidak memiliki daya tawar untuk bisa menekan para anggota koalisi yang berasal dari partai besar atau ketua umum partai untuk bisa tetap setia menjaga efektivitas pemerintahan.
”Jadi, situasinya sangat sulit karena dengan tubuh koalisi pemerintahan Pak Jokowi itu masing-masing independen dalam koalisinya masing-masing,” ujarnya.
Namun, Wasisto berpendapat, PDI-P sebagai pengusung Presiden Jokowi masih mempunyai peran besar untuk bisa menjaga koalisi ini sampai garis akhir. Sebab, PDI-P merupakan partai pemenang terbesar dan juga partai yang sejauh ini bisa mencalonkan presiden berikutnya.
”Kan, secara psikologis, dia (PDI-P) lebih tinggi derajatnya daripada partai lain yang berkoalisi. Mungkin di sini PDI-P bisa bermain di balik layar untuk bisa menjaga pemerintahan Pak Jokowi ini agar bisa survive sampai garis finis,” ujar Wasisto.
Lagi pula, ia mengingatkan, jika efektivitas pemerintahan tidak berjalan dengan baik sampai akhir, hal ini akan menjadi bumerang sendiri setidaknya bagi PDI-P yang merupakan pengusung Jokowi. ”Secara otomatis, legitimasi PDI-P dipertanyakan karena tidak mampu menjaga pemerintahan yang dia pimpin sampai akhir,” ujarnya.