Ikhtiar Komisi Yudisial Menjaga Kode Etik Hakim
Berbagai studi kasus disajikan Komisi Yudisial ke hadapan para hakim dari sejumlah pengadilan di pelatihan Eksplorasi Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ini merupakan ikhtiar menjaga kode etik hakim.
Studi kasus terkait pembagian warisan disajikan pada salah satu sesi dalam rangkaian pelatihan Eksplorasi Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diselenggarakan Komisi Yudisial di Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu (8/6/2022).
Acara itu berlangsung cukup dinamis, dengan para pesertanya adalah para hakim dari sejumlah pengadilan agama. Di ruangan berbeda juga digelar studi kasus terkait hukum perdata. Pelatihan ini merupakan ikhtiar menambah pemahaman hakim mengenai kode etik.
Dalam studi kasus terkait pembagian waris itu disajikan kasus dari seseorang bernama H Sardjono yang telah meninggal dan meninggalkan dua istri. Dengan istri pertama, sebut saja A, Sardjono memiliki enam anak. Dengan istri kedua, Halimah, ia memiliki lima anak.
Pada Januari 2018 atau setahun setelah Sardjono meninggal, Halimah dan lima anaknya menggugat anak-anak dari istri pertama ke Pengadilan Agama terkait penguasaan harta peninggalan/warisan berupa dua bidang tanah dan bangunan.
Setelah sidang selama 1 tahun 3 bulan (diputus 4 April 2019), majelis hakim menyatakan gugatan Halimah tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO). Alasannya, error in persona sebab di dalam buku nikah nama Halimah tertulis Siti Halimah, sedangkan dalam surat gugatan ditulis Hj. Halimah. Begitu pula dengan kartu keluarga H Sardjono, tercatat istrinya bernama Hj Halimah.
Selama persidangan, Halimah selaku penggugat I selalu hadir. Pihak tergugat pun tidak pernah mempersoalkan perbedaan sebutan nama Siti Halimah dengan Hj Halimah sebagai istri kedua almarhum H Sardjono. Soal ini pun tak pernah muncul dalam eksepsi.
Setelah putusan sela dijatuhkan, majelis hakim menunda sidang selama 2 bulan 22 hari. Kemudian sidang kembali, lalu ditunda lagi selama empat bulan dengan alasan menunggu proses penyelesaian hasil pelaksanaan sita jaminan delegasi dari pengadilan agama lain tempat obyek sengketa berada. Setelah itu, penundaan kembali dilakukan.
”Satu kata untuk majelis ini. Kurang ilmu,” kata salah satu hakim agama dalam sesi pelatihan kode etik hakim tersebut, yang dipimpin Humaini Hussen, tenaga ahli Komisi Yudisial yang juga mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten.
Baca juga: KY Gelar Pelatihan Hakim Guna Identifikasi Pelanggaran Terselubung
Menurut hakim tersebut, apabila merasa ada perbedaan antara Siti Halimah dan Hajjah Halimah, sudah selayaknya hakim menjatuhkan putusan NO pada saat putusan sela dijatuhkan. Bukan pada putusan akhir.
”Tapi kalau sudah lewat dari situ (putusan sela), jangan. Dia menunjukkan perilaku yang tidak adil karena majelis hakim menempatkan diri berhadapan dengan penggugat. Seharusnya dia berada di tengah,” ujarnya.
Ia pun menyoroti lamanya waktu persidangan yang diwarnai beberapa kali penundaan. Padahal, perkara waris seharusnya relatif lebih mudah dibandingkan perkara harta bersama. ”Perkara waris saja sampai 1 tahun 3 bulan. Ngapain saja? Kayaknya hakim bingung, padahal mudah saja, tinggal lihat hukum acara,” katanya.
Hakim Pengadilan Agama Sukoharjo, Mursidsyah, tidak sepakat apabila majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut dikatakan tidak berilmu. Ia percaya hakim yang menyidangkan perkara itu bukan orang bodoh. Ius curia novit (setiap hakim tahu akan hukum). ”Dia punya kealpaan. Itu sah-sah saja karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Suatu saat bisa saja tergelincir batu yang kecil,” ujarnya.
Pelatihan untuk hakim-hakim pengadilan agama, Rabu pagi itu, berjalan begitu dinamis. Tiap-tiap hakim semangat mengungkapkan pandangannya.
Meskipun demikian, Mursidsyah secara garis besar sepakat dengan para hakim lain yang menilai ada perbuatan tidak profesional (
unprofesional conduct
) yang dilakukan majelis hakim yang menangani gugatan waris Halimah.
Pelatihan untuk hakim-hakim pengadilan agama, Rabu pagi itu, berjalan begitu dinamis. Tiap-tiap hakim semangat mengungkapkan pandangannya dalam kasus Halimah dan kasus lain yang diberikan Humaidi.
Di ruangan lain, para hakim perdata, pidana, serta tata usaha negara pun mengikuti kelas serupa. Sebanyak 68 hakim dari pengadilan negeri, pengadilan agama, dan tata usaha negara di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mengikuti pelatihan selama empat hari tersebut, 7-10 Juni.
Baca juga: Komisi Yudisial Rekomendasikan Dua Hakim PN Rangkasbitung Dipecat
Mereka kebanyakan sudah menjadi hakim selama lebih dari 10 tahun. Pelatihan kali ini dilakukan dengan pendekatan berbeda, yaitu langsung belajar dari kasus-kasus laporan dugaan pelanggaran etik yang masuk ke KY. Diharapkan, para hakim tersebut menjadi tahu tindakan-tindakan apa saja yang dibawa pencari keadilan dan kuasa hukum mereka dengan tudingan pelanggaran etik yang diajukan ke KY.
Dari ruang pelatihan untuk hakim perdata diketahui, laporan-laporan tersebut terkadang berkenaan dengan hal-hal yang kecil hingga yang sifatnya substansial. Misalnya, kapan ketua majelis hakim memanggil pihak untuk masuk ke ruang persidangan, apakah seusai sidang dibuka ataukah terlebih dahulu membuka sidang baru memanggil para pihak.
Contoh lain, majelis hakim tidak memperlihatkan surat bukti dari salah satu pihak berperkara kepada pihak lawan atau dalam berita acara sidang tidak dimuat tanggapan pihak terhadap keterangan saksi, baik saksinya sendiri maupun saksi pihak lawan. Masih ada lagi contoh-contoh kasus lainnya.
Salah satu hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Junianto Agung, yang mengikuti pelatihan ini mengungkapkan, model pelatihan kode etik dengan menggunakan contoh-contoh kasus laporan pengaduan masyarakat yang masuk ke KY sangatlah berguna. Pihaknya menjadi tahu laporan yang sering masuk ke KY. Dengan demikian, pihaknya tahu apa saja hal-hal yang disoroti masyarakat yang perlu diperbaiki.
Kopsah, salah satu peserta pelatihan mengungkapkan, dirinya terkadang melihat hakim yang melanggar hukum acara. Baik karena dinilai tidak ada yang melihat/mengawasi maupun karena faktor ketergesa-gesaan dalam persidangan.
Baca juga: Hanya Tiga Rekomendasi yang Ditindaklanjuti MA, Bagaimana Sikap KY?
Investasi
Namun, Setyawan berpendapat bahwa pelatihan saja tidak cukup jika dimaksudkan untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip kode etik ke dalam diri hakim. Kalau internalisasi kode etik dan menerapkannya dalam kehidupan sebagai hakim, pemimpin pengadilan adalah ujung tombaknya. Keteladanan pemimpin pengadilan menjadi penting.
”Kalau ketuanya lurus, sungkan juga, kan. Tapi kalau ketua pengadilan jadi gurunya untuk anu, ya sudah,” ujar Setyawan.
Pendidikan dan pelatihan hakim merupakan investasi yang penting bagi dunia peradilan. Hanya saja, manfaat dan dampaknya tidak serta-merta kelihatan.
Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial Binziad Kadafi sepakat bahwa keteladanan adalah hal penting. Namun, baginya, pendidikan dan pelatihan hakim merupakan investasi yang penting bagi dunia peradilan. Hanya saja, manfaat dan dampaknya tidak serta-merta kelihatan.
Forum-forum pelatihan menjadi ruang bagi sesama hakim untuk bertemu dan berdiskusi mengenai dilema moral yang dihadapi yang berbeda-beda karena berasal dari wilayah pengadilan yang berbeda. Selain itu, mereka juga akan bertemu mantan-mantan hakim yang menjadi pengajar mereka.
”Kami sih berharap, tanpa mereka menjadi pimpinan langsung, hakim-hakim teladan bertemu di forum seperti ini. Forum ini bisa mempercepat interaksi sehingga kemudian ada diskusi tentang idealitas, tetapi juga kami benturkan dengan kenyataannya,” ujar Kadafi.
Baca juga: KY Pelajari Putusan Hakim Kasasi yang Pangkas Hukuman Edhy Prabowo
Dengan mengetahui isi laporan pengaduan masyarakat dan penanganannya, diharapkan para hakim memiliki pengetahuan yang memadai.
”Jadi, forum pelatihan ini membuat mereka equipt (dilengkapi) untuk berperilaku sesuai (dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim). Kalau kemudian pilihannya, namanya manusia, mereka sudah tahu risikonya. Mereka juga sudah tahu kemampuan KY, kemampuan MA untuk mendeteksi itu,” ungkap Kadafi.
Hanya saja, lembaga kadang belum menyadari fungsi penting bagi pendidikan dan pelatihan hakim. Karena itu, investasi yang dilakukan (baca anggaran) relatif lebih kecil dibandingkan dengan unit kerja yang lain.
Mengacu pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2020 yang diakses dari situs resmi MA, anggaran untuk Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan sebesar Rp 143,7 miliar dari total anggaran Rp 9,8 triliun. Nilai untuk Balitbang Diklat Kumdil tersebut setara dengan 1,458 persen total anggaran MA.
Sementara itu, KY sendiri menganggarkan Rp 7,8 miliar dari total pagu anggaran Rp 184 miliar pada tahun ini. Dana tersebut mampu digunakan untuk pelatihan 600 hakim. Pelatihan hakim merupakan salah satu agenda prioritas nasional tahun 2022.
Pada akhir percakapan, Kadafi menegaskan komitmen serius KY untuk mengedepankan pelatihan-pelatihan hakim seperti itu. Kegiatan itu merupakan ikhtiar lembaga tersebut untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ini bagian dari ikhtiar menjaga integritas lembaga peradilan.