Hanya Tiga Rekomendasi yang Ditindaklanjuti MA, Bagaimana Sikap KY?
Dari 60 rekomendasi Komisi Yudisial, hanya tiga yang ditindaklanjuti Mahkamah Agung. Persoalan itu kini tengah dibahas oleh tim penghubung kedua lembaga.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menindaklanjuti tiga dari total 60 rekomendasi penjatuhan sanksi kepada hakim yang dikirimkan Komisi Yudisial sepanjang 2021. Minimnya rekomendasi yang ditindaklanjuti tersebut karena mayoritas dinilai berkaitan dengan teknis yudisial atau substansi perkara.
Dalam sidang istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2021, Selasa (22/2/2022), Ketua MA, M Syarifuddin, mengungkapkan, telah menerima 60 buah rekomendasi penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial (KY). Namun, dalam penilaian MA, 57 rekomendasi yang disampaikan KY tidak dapat ditindaklanjuti karena terkait dengan persoalan teknis yudisial dan terkait dengan substansi perkara.
Berkaitan dengan hal itu, komisioner KY Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi Hukum, dan Litbang, Binziad Khadafi, mengungkapkan bahwa memang masih ada persoalan terkait rekomendasi penjatuhan sanksi bagi hakim. Kondisi tersebut perlu diperbaiki dengan membangun komunikasi intensif antara KY dan MA. Sebab, KY dan MA harus berkolaborasi dalam bidang pengawasan, termasuk untuk menentukan garis batas yang tepat antara pelanggaran perilaku dan pelanggaran teknis yudisial, dengan mendasarkan pada kajian logis dan empiris.
Menurut dia, MA dan KY dapat mengacu pada best practices yang berlaku universal. Saat ini, tambahnya, MA dan KY telah membentuk tim penghubung untuk kepentingan tersebut yang didukung oleh civil society organization (CSO).
Namun, Binziad Khadafi mendengar informasi bahwa ada pendekatan baru yang digunakan pimpinan MA terkait dengan rekomendasi KY yang tidak dapat ditindaklanjuti karena dinilai berkaitan dengan teknis yudisial. Pendekatan baru itu adalah dengan tetap menjadikan rekomendasi KY sebagai dasar bagi MA untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim terlapor.
KY dan MA harus berkolaborasi dalam bidang pengawasan, termasuk untuk menentukan garis batas yang tepat antara pelanggaran perilaku dan pelanggaran teknis yudisial, dengan mendasarkan pada kajian logis dan empiris.
Sepanjang 2021, MA dan KY telah bersama-sama menggelar sidang majelis kehormatan hakim (MKH) untuk mengadili dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim. Hasilnya, tiga hakim telah dijatuhi hukuman berat, yaitu tidak boleh menangani perkara atau dinon-palukan masing-masing selama dua tahun.
Badan Pengawas MA—yang merupakan pengawas internal MA—telah menjatuhkan sanksi kepada 129 hakim dan hakim ad hoc, 78 pejabat teknis pengadilan (panitera, panitera muda, panitera pengganti, juru sita, dan juru sita pengganti), 26 pejabat struktural, serta 17 staf dan pegawai pemerintah nonpegawai negeri (PPNPN).
Binziad Khadafi juga mengapresiasi kinerja MA yang berhasil mengikis tumpukan perkara hingga tersisa 175 perkara pada akhir 2021. Seperti diungkapkan oleh Ketua MA, jumlah tersebut merupakan sisa perkara yang paling rendah sepanjang sejarah berdirinya MA.
Seperti diungkapkan oleh Syarifuddin, penyelesaian perkara di MA sepanjang 2021 mencapai 19.233 perkara dari total beban perkara 19.408 perkara. Sebanyak 97,77 persen diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga bulan.
KY juga mengapresiasi penerapan sistem peradilan elektronik atau e-Court yang semakin banyak digunakan oleh para pencari keadilan. ”Ini tentu saja merupakan perkembangan yang menggembirakan bagi modernisasi sistem peradilan kita. Manfaat lain yang paling dirasakan hakim dan para pencari keadilan dengan penerapan persidangan elektronik adalah peluang lebih besar untuk menjalankan protokol kesehatan secara lebih baik di pengadilan,” katanya.
Seperti diketahui, penerapan e-Court telah membuat berkurangnya kesempatan sidang tatap muka, interaksi fisik, dan potensi penumpukan orang.
Akan tetapi, Binziad Khadafi memberikan catatan mengenai tantangan yang dihadapi dalam e-Court, yaitu prinsip keterbukaan sidang di pengadilan, pemenuhan berbagai prinsip fair trial, serta efektivitas pembuktian yang harus tetap diperhatikan oleh hakim dan pengadilan. Menurut dia, berbagai keluhan dari para pencari keadilan terkait belum sempurnanya penyelenggaraan sidang elektronik harus dicarikan jalan keluar. Begitu pula persoalan kesiapan sumber daya manusia dan sarana prasarana bagi penyelenggaraan sidang elektronik yang lebih efektif dan pengoperasionalan yang lebih baik.
Dalam paparannya, Ketua MA mengungkapkan bahwa terjadi kenaikan pengguna e-Court sebesar 20 persen pada 2021 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ada 225.072 perkara perdata yang didaftarkan melalui aplikasi e-Court sepanjang 2021. Bahkan, 11.817 perkara perdata sudah disidangkan secara e-litigation. Pengguna e-Court pun sudah mencapai angka ratusan ribu, yaitu 208.851 orang.