Pasal Verifikasi Partai Politik Kembali Digugat ke MK
Menjelang dibukanya pendaftaran parpol peserta Pemilu 2024, PSI dan Partai Prima menggugat ketentuan verifikasi parpol menjadi peserta pemilu di UU Pemilu. Aturan itu dinilai tak adil bagi parpol baru dan nonparlemen.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Sebulan menjelang dibukanya pendaftaran parpol peserta Pemilu 2024, pasal yang mengatur verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon uji materi, yakni Partai Solidaritas Indonesia dan Prima, beralasan adanya pembedaan syarat verifikasi antara partai politik yang lolos ambang batas parlemen dengan partai yang tidak lolos ambang batas serta partai politik baru, diskriminatif.
Dua permohonan uji materi Pasal 173 Ayat (1) Undang-Undang Pemilu telah masuk dan diregistrasi di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan Nomor 64/PUU-XX/2022 diajukan oleh Ketua Umum PSI Giring Ganesha Djumaryo dan Sekjen PSI Dea Tunggaesti. Adapun, permohonan nomor 57/PUU-XX/2022 diajukan oleh Ketua Umum Partai Prima Agus Priyono dan Sekjen Partai Prima Dominggus Oktavianus Tobu Kiik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam salinan permohonan resmi yang diregistrasi di MK, pemohon mengerti bahwa sebelumnya MK telah memutus perkara uji materi verifikasi partai politik (parpol) tersebut melalui putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan itu, MK memutus parpol yang lolos syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi. Adapun, parpol yang tak lolos ambang batas parlemen dan juga partai politik baru wajib mengikuti tak hanya verifikasi administrasi, tetapi juga verifikasi faktual sebagai syarat menjadi peserta pemilu.
Pengajuan permohonan ini hanya berselang sekitar satu bulan dari jadwal pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024. Dalam rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Program, Tahapan, Jadwal Penyelenggaraan Pemilu, tahapan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu dijadwalkan pada 29 Juli 2022. Pendaftaran dan verifikasi memakan waktu 138 hari sampai 13 Desember 2022.
Giring berpendapat, hak konstitusional PSI sebagai parpol yang tak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 dilanggar atas putusan MK terbaru tersebut. PSI menilai aturan verifikasi itu tidak adil dan diskriminatif. Seharusnya, seluruh parpol yang akan mengikuti Pemilu 2024 mendapatkan perlakuan yang sama dan adil.
”Dengan banyaknya pertambahan jumlah penduduk, pemekaran daerah baru, dinamisnya perpindahan anggota parpol ke parpol lain, konflik internal yang memecah parpol, akan berdampak pada perubahan syarat pemilu yang harus dipenuhi parpol. Masuknya satu parpol ke parlemen tidak lantas mengakibatkan mereka sudah pasti memenuhi syarat menjadi parpol yang dapat dipilih di Pemilu 2024,” ujar Giring.
Selain itu, dalam praktik verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pencantuman nama anggota, alamat kantor parpol, dan syarat lainnya kerap tidak sesuai dengan dokumen yang dicantumkan saat dilakukan verifikasi faktual lapangan.
Menggunakan batu uji Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan (3), dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945, Giring memohon MK meninjau ulang putusannya sebelumnya. Dia meminta seluruh parpol yang ingin mengikuti pemilu sama-sama wajib diverifikasi secara administratif dan faktual. ”Meminta MK menyatakan Pasal 173 Ayat (1) UU No 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai seluruh parpol, baik parpol yang telah lolos verifikasi pemilu 2019, parpol yang lolos verifikasi pemilu 2019 tetapi tidak lolos ambang batas parlemen, maupun parpol baru wajib lulus verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU,” ujar Giring.
Adapun Agus Priyono meminta MK menghapuskan syarat verifikasi faktual sebagai syarat parpol menjadi peserta pemilu. Ia berpandangan putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 memberikan keistimewaan (privilese) terhadap parpol yang lolos ambang batas parlemen. Hal itu bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Sebab, mereka memiliki keunggulan dalam hal kekuatan struktur, infrastruktur, dan finansial dibandingkan dengan partai-partai baru dan yang tak lolos ambang batas parlemen. Perlakuan istimewa itu menciptakan kompetisi pemilu 2024 menjadi tidak adil. Parpol yang tidak terbebani verifikasi faktual akan selangkah mendahului parpol yang harus melalui verifikasi faktual.
”Pada saat parpol nonparlemen berjibaku menghadapi verifikasi faktual yang tentunya mengeluarkan energi dan biaya besar, parpol-parpol di parlemen dapat mempersiapkan hal lain seperti konsolidasi dan kampanye untuk memenangi pemilu,” kata Agus.
Agus menerangkan, berdasarkan data Pemilu 2019, dari 33 parpol yang ada, hanya 27 parpol yang mendaftar sebagai peserta pemilu dan diverifikasi kelengkapan administrasinya oleh KPU. Di tahapan verifikasi administrasi, hanya 14 dari 27 parpol yang dinyatakan lolos dan melanjutkan ke tahapan verifikasi faktual. Dua parpol lainnya yang dinyatakan tidak lolos, setelah melewati sengketa di Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berhasil lolos menjadi peserta pemilu 2019.
”Dari 14 parpol yang mengikuti verifikasi administrasi, semuanya lolos verifikasi faktual. Oleh karena itu, pemohon dapat menyimpulkan bahwa dengan fakta validitas dan efektivitas verifikasi administrasi, verifikasi faktual pada hakikatnya hanya pengulangan yang tidak diperlukan. Kelengkapan administrasi sebenarnya sudah cukup menunjukkan kelengkapan faktual,” terang Agus.
Dengan batu uji Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, Partai Prima sebagai parpol baru yang akan mengikuti kontestasi Pemilu 2024, meminta MK memutuskan bahwa Pasal 173 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa parpol yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos ambang batas parlemen 2019, parpol yang tidak memenuhi ketentuan ambang batas parlemen 2019, serta partai politik baru diverifikasi secara administrasi oleh KPU, tetapi tidak diverifikasi secara faktual.
Perbaikan mekanisme
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai, peluang untuk dikabulkannya gugatan dari kedua parpol tersebut cukup berat. Sebab, MK sepertinya tidak akan membuat putusan yang kontradiktif atau saling bertentangan dengan putusan sebelumnya. Apalagi, putusan terkait syarat verifikasi itu baru diputuskan tahun lalu.
Meskipun demikian, Kaka mengapresiasi permohonan yang diajukan oleh PSI dan Partai Prima. Gugatan ke MK merupakan saluran resmi yang demokratis, apabila pihak-pihak merasa dirugikan secara konstitusional atas berlakunya sebuah UU.
”Meskipun waktunya cukup mepet dengan pendaftaran parpol baru yang akan dimulai pada akhir Juli nanti, sah-sah saja usaha untuk menggugat aturan yang dianggap diskriminatif itu. Aturan itu memang memperberat parpol nonparlemen dan parpol baru. Mari ditunggu apakah putusan MK juga akan cepat,” kata Kaka.
Agar tidak terkesan aturan diskriminatif dan tidak adil, lanjutnya, KPU bisa menyempurnakan mekanisme verifikasi administrasi untuk parpol parlemen. KPU perlu memastikan bahwa ada instrumen verifikasi seimbang antara parpol parlemen, parpol nonparlemen, dan parpol baru. Proses administrasi parpol parlemen bisa diperketat, dan lebih detail sehingga validitasnya sama dengan verifikasi faktual. Misalnya, tidak boleh ada celah manipulasi data dalam proses verifikasi administrasi. Pengecekan terkait daftar keanggotaan ganda parpol bisa lebih diperketat. Selain itu, Bawaslu diminta untuk memperkuat pengawasan terhadap verifikasi administrasi tersebut.