Reputasi sebagai Negeri ”Pembangun Jembatan”
Dunia akui peranan Indonesia sebagai penghubung yang tulus dan netral sesuai cita-cita UUD 1945. Gerakan Non-Blok, presidensi G20, hingga jadi pusat kajian Islam dunia menunjukkan Indonesia sebagai rujukan global.
Indonesia diibaratkan sebagai negeri pembangun jembatan di dunia dilontarkan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan pada kuliah umum bagi peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXIII dan PPRA LXIV Tahun 2022 di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (7/6/2022). Sebuah tamsil yang tak lepas dari kiprah Indonesia dalam merajut solidaritas antarbangsa.
Di tingkat global, Indonesia telah menorehkan catatan yang historis dan monumental. Sebut saja penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 dan pengakuan atas rezim negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982. Kemudian, pada 2021, Indonesia memegang presidensi G20 dan tahun depan negeri ini pun akan menjadi ketua ASEAN.
”Pengakuan atas peranan Indonesia di dunia antara lain berkat kemampuan Pemerintah Indonesia untuk menjadi bridge builder (penghubung) yang dilandasi ketulusan dan netralitas dalam semangat mewujudkan cita-cita sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Politik luar negeri bebas aktif senantiasa menjadi modal awal yang memandu langkah Indonesia dalam hubungan antarbangsa,” kata Wapres Amin.
Pengakuan atas peranan Indonesia di dunia antara lain berkat kemampuan Pemerintah Indonesia untuk menjadi bridge builder (penghubung) yang dilandasi ketulusan dan netralitas.
Kilas balik sejenak terkait dengan politik bebas dan aktif, Presiden Soeharto menyebut bahwa non-alignment (gerakan non-blok) Indonesia bukanlah didasarkan pada prinsip oportunitas, melainkan telah merupakan sebagian dari identitas bangsa dan negara Indonesia. Bagi Indonesia, politik luar negeri yang non-alignment tidak sama dengan dengan non-involvement.
”Oleh karena itu, Indonesia lebih suka menamakannya politik yang bebas dan aktif karena bagi Indonesia non-alignment bukanlah suatu politik yang steril, mati, ataupun bertopang dagu,” kata Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1989).
Secara ringkas disebutkan bahwa politik luar negeri yang bebas berarti Indonesia bebas dari ikatan apa pun; baik ikatan pakta militer, ikatan politik, dan ikatan ideologis. Dengan demikian, Indonesia bebas menilai suatu masalah atau kejadian tanpa dipengaruhi ikatan militer, politik, dan ideologis tersebut.
Baca juga: Politik Bebas Aktif Perlu Komitmen Kuat
Adapun politik luar negeri yang aktif mengandung arti Indonesia aktif berusaha dan bekerja sama dengan negara-negara lain yang cinta damai untuk mengatasi persoalan yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. Hal ini agar tercapai perdamaian kekal dan abadi bagi dunia serta tercapai pula keadilan dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia.
Pembenahan di dalam negeri
Pada kuliah umum yang digelar di Auditorium Gajah Mada, Gedung Pancagatra, Lemhannas RI tersebut, Wapres Amin mengingatkan bahwa pengakuan yang didapatkan Indonesia atas kiprah di luar negeri tersebut tidaklah mungkin tercapai tanpa kita membenahi urusan dalam negeri terlebih dahulu, yaitu dengan memperbaiki ekosistem politik, ekonomi, dan sosial budaya. Saat ini, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia, Indonesia pun tengah berupaya bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19.
Secara year on year atau tahunan, pada triwulan IV-2020 pertumbuhan ekonomi domestik terkontraksi atau tumbuh minus 2,17 persen. Namun, pada triwulan IV-2021, kondisi perekonomian negeri ini membaik di mana ekonomi nasional tumbuh 5,02 persen dan masih bertumbuh ke arah positif di triwulan I-2022, yakni sebesar 5,01 persen.
Baca juga: Indonesia Mencoba Meredam Ekses Pandemi dan Perang terhadap Ekonomi Dunia
Di tengah berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dan kesehatan global, peperangan pecah antara Rusia dan Ukraina. Kondisi ini berdampak pada perlambatan ekspor dan kenaikan inflasi akibat melonjaknya harga komoditas global, yaitu pangan, energi, dan pupuk. Percepatan normalisasi kebijakan moneter di sejumlah negara juga berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global.
”Di tengah berbagai tantangan global inilah Indonesia mengambil alih estafet kepemimpinan G20 untuk pertama kalinya. Tahun 1999, G20 dibentuk untuk mencari solusi ketika dunia dilanda krisis ekonomi. Kini, Indonesia memegang presidensi G20 yang bertujuan untuk memperkuat konsultasi dan kerja sama dalam rangka menjawab krisis akibat pandemi dan peperangan,” kata Wapres Amin.
Tahun 1999, G20 dibentuk untuk mencari solusi ketika dunia dilanda krisis ekonomi. Kini, Indonesia memegang presidensi G20 yang bertujuan untuk memperkuat konsultasi dan kerja sama dalam rangka menjawab krisis akibat pandemi dan peperangan.
Pada presidensi G20, Indonesia mengusung tema besar ”Recover Together, Recover Stronger” dengan tiga agenda prioritas, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi. Kepemimpinan Indonesia diuji agar anggota G20, yang merepresentasikan 80 persen ekonomi dunia, dapat merealisasikan tiga agenda utama tersebut dan sekaligus menemukan solusi atas konflik yang memperburuk ekonomi dunia.
G20 dinilai sebagai momentum bagi Indonesia untuk memperoleh kredibilitas atau kepercayaan masyarakat internasional dalam memimpin pemulihan global. ”Selain itu, kita optimalkan presidensi G20 untuk menciptakan efek ganda bagi Indonesia, antara lain dengan menunjukkan bahwa ’Indonesia is open for business’ sehingga Presidensi G20 dapat membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia,” kata Wapres Amin.
Rujukan global
Beberapa bulan lalu, Wapres Amin pun mengingatkan bahwa Indonesia sekarang telah menjadi salah satu pusat kajian peradaban Islam dunia, terutama tentang keberhasilan pelaksanaan Islam wasathiyah yang menjadi tren global saat ini.
”Oleh karena itu, prakarsa pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) sejak awal dimaksudkan untuk menjadi pusat rujukan global pelaksanaan Islam wasathiyah,” ujar Wapres saat memimpin rapat yang membahas status kemajuan pembangunan UIII sebagai salah satu proyek strategis nasional di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 6, Jakarta, Rabu (2/3/2022).
Baca juga: Wapres Amin: UIII Mesti Dikelola Sesuai Standar Universitas Internasional
Dalam rapat tersebut, Wapres Amin menyampaikan bahwa UIII diharapkan dapat dikelola dan diselenggarakan sesuai standar dan norma universitas internasional yang memiliki keunggulan global. Hal ini mengingat status UIII adalah PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum) dan dimaksudkan sebagai perguruan tinggi internasional.
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Wapres Amin menuturkan, kampus UIII diharapkan menjadi kampus unggulan yang menggambarkan keunggulan Indonesia, yaitu Islam moderatyang sekarang ini dijadikan rujukan oleh dunia Islam. ”Bahkan, mereka datang ke sini dan ketemu saya juga minta untuk mempelajari tentang Islam Indonesia yang toleran, yang wasathiyah, yang moderat. Mereka juga ingin menjadikan model Islam Indonesia sebagai model Islam global,” kata Wapres Amin.
Baca juga: UIII dan Ikhtiar Indonesia Membangun Pelangi Islam di Dunia
Guru Besar Bidang Hukum dan Politik Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Masykuri Abdillah menuturkan bahwa posisi Indonesia yang mengarah untuk menjadi rujukan global dalam penerapan Islam moderat ini tidak lepas dari perkembangan.
”Dalam perjalanan waktu, (dunia) melihat bahwa Indonesia bisa damai, bisa ada demokrasi. Kita ada toleransi sesama umat Islam, ada toleransi antarumat beragama, ada toleransi dengan negara,” kata Masykuri saat wawancara dengan Kompas, Sabtu (4/6/2022).
Dalam perjalanan waktu, (dunia) melihat bahwa Indonesia bisa damai, bisa ada demokrasi. Kita ada toleransi sesama umat Islam, ada toleransi antarumat beragama, ada toleransi dengan negara.
Masykuri menuturkan bahwa pengakuan tersebut datang dari berbagai pihak. Pimpinan negara di dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat dan tokoh-tokoh di Eropa, pun meminta Indonesia agar dapat menyebarkan Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) ke dunia. ”Ulama-ulama di luar Indonesia pun menyadari bahwa Indonesia ternyata bisa menerapkan (Islam) rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, (mereka berkata) ’seharusnya kita juga belajar dari Indonesia’,” katanya.
Masykuri Abdillah, yang juga staf khusus Wapres RI dan juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini, berpendapat bahwa sosialisasi mesti lebih diintensifkan untuk mewujudkan sepenuhnya Indonesia sebagai rujukan. Sosialisasi tersebut dapat ditempuh melalui pendidikan.
Sosialisasi lewat jalur pendidikan ini termasuk melalui pemberian beasiswa bagi mahasiswa dari luar negeri untuk menuntut ilmu keagamaan di Indonesia. Nantinya, sepulang ke negeri asalnya, mahasiswa tersebut dapat menyebarkan gagasan pemikiran yang didapatnya selama belajar di Indonesia.
Baca juga: Wapres Promosikan Islam Moderat
Sosialisasi juga dapat dilakukan melalui hubungan antarnegara. ”(Sosialisasi) Ketiga itu adalah yang disebut dengan public diplomacy. Jadi, bukan G to G (pemerintah ke pemerintah), tetapi P to P atau people to people. Itu sudah dilakukan juga sekarang tetapi masih terbatas. Jadi, sebaiknya Indonesia sering-sering mengadakan acara internasional yang melibatkan banyak tokoh agama dari luar,” ujar Masykuri.
Kemampuan Indonesia merajut hubungan di berbagai bidang kiranya akan mengokohkan posisi Indonesia dalam tata pergaulan antarbangsa di dunia. Sebuah medan diplomasi yang mesti digarap demi mewujudkan salah satu amanat dalam lembar konstitusi; yakni untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.