Indonesia Mencoba Meredam Ekses Pandemi dan Perang Terhadap Ekonomi Dunia
Pandemi telah meluluhlantakkan perekonomian dunia. Agresi militer Rusia di Ukraina menambah beban perekonomian bagi negara miskin dan berkembang. Indonesia mencoba memaksimalkan tools polugrinya untuk membantu dunia.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
MUCHLIS JR - BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat menghadiri pertemuan World Economic Forum secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 20 Januari 2022.
JAKARTA, KAMIS - Presidensi G20 Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah. Dari yang semula ”hanya” menavigasi ekonomi dunia untuk memulihkan diri pasca-keruntuhan akibat pandemi, kini ”tugas” itu bertambah dan menjadi lebih kompleks setelah agresi militer Rusia di Ukraina.
Dalam situasi yang tidak mudah itu, keterbukaan, transparansi, dan politik luar negeri bebas aktif adalah tools atau alat bagi Indonesia untuk mendorong pemulihan situasi. Perangkat itu tidak hanya diarahkan untuk menjawab tantangan terbaru, yaitu perang, tetapi juga krisis ekonomi yang semakin dalam.
Sikap itu dinyatakan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat menjadi pembicara kunci pada webinar bertajuk ”Dampak Ekonomi dan Politik Presidensi Indonesia di G20” yang diadakan Taruna Merah Putih, sayap politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Kamis (28/4/2022). Berbicara dalam kegiatan itu Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi BS Sukamdani, dan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Menlu Retno mengatakan, perang di Ukraina telah menciptakan gelombang kejut yang membuat dunia internasional terperanjat. Negara berkembang dan negara kurang berkembang, yang terengah-engah untuk mencoba melakukan pemulihan, kembali berhadapan dengan situasi yang sulit.
”Perang memberi kejutan pada semua pihak dan menambah sulitnya akses untuk pemulihan yang memang tidak sama, terutama pada negara berkembang dan kurang berkembang,” kata Retno.
Tantangan global
Dunia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Ketimpangan masih sangat terasa, seperti akses vaksin yang tidak merata antara negara maju dan negara miskin serta negara berkembang. Ketika penduduk negara-negara maju sudah bisa memperoleh vaksin penguat (booster), masih banyak negara miskin dan berkembang berjuang untuk memperoleh akses vaksin bagi warganya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, menyampaikan paparan mengenai kondisi terkiri perang Rusia-Ukraina dalam diskusi Kompas Collaboration Forum (KCF) yang mengusung tema "Dampak Perang Rusia terhadap Indonesia" di Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Tidak hanya soal ketidaksetaraan akses vaksin global yang masih sangat terasa. Penduduk di negara miskin dan berkembang menjadi kelompok yang paling rentan terdampak berbagai kenaikan harga komoditas akibat perang. Sebagian besar pendapatan mereka dipergunakan untuk membeli makanan serta kebutuhan pokok lainnya.
Tak hanya ekonomi, perang juga menimbulkan masalah kemanusiaan yang kompleks. Selain warga Ukraina yang mengungsi ke luar negeri, di dalam negeri Pemerintah Ukraina juga berhadapan dengan 7,7 juta warganya yang kini berstatus internally displaced person (IDP). Sebanyak 60 persen di antaranya adalah perempuan.
”Dampak perang tidak bisa dikatakan kecil atau moderat. Dampaknya cukup besar,” kata Retno.
Dalam kondisi seperti itu, Hariyadi Sukamdani memberikan sorotan pada pentingnya isu ekonomi. Sebagaimana dikemukakan Retno, Hariyadi sepakat bahwa pemulihan ekonomi global belum sepenuhnya terjadi. Dia mengatakan, meski sudah mulai menggeliat, dirinya masih melihat perekonomian Indonesia masih tertahan, terutama setelah adanya perang yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok melambung.
Menurut dia, salah satu indikator belum pulihnya ekonomi Indonesia adalah masih kurang bergairahnya kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”UMKM makin sulit menembus pasar ekspor karena sekarang tarif pengiriman barang naik antara 30-40 persen. Selain itu, kontainer juga langka. Pengurangan kapal pengangkut juga menjadi kendala tersendiri,” katanya.
Bebas aktif
Akan tetapi, di sisi lain, Retno mengatakan, politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif telah membuat pemerintah leluasa bergerak untuk menavigasi forum G20, yang diharapkan dunia internasional membawa mereka keluar dari krisis akibat pandemi.
IMF PHOTO/ALLISON SHELLEY
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berbicara dengan beberapa mitranya, di sela-sela pertemuan kedua Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (20/4/2022).
Salah satu hal yang dilakukan Indonesia adalah keterbukaan informasi kepada semua pihak. Indonesia menyadari ada kepentingan dari sekelompok negara anggota G20 yang tidak menginginkan kehadiran Rusia pada berbagai kegiatan dalam forum ini. Namun, berkat lobi-lobi yang dilakukan berbagai pihak, ”ketidaksukaan sejumlah pihak” itu hanya dilakukan dalam taraf simbolis. Sementara saat pembahasan hal-hal yang substansial, semua ikut serta.
”Tujuan dari G20 tetap terpelihara. Ada walkout, tiga menit, hanya head of delegation. Setelah itu, mereka fokus lagi pada pembahasan fokus kerja G20,” kata Retno menggambarkan situasi pada saat pertemuan Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan di Washington DC, beberapa hari lalu.
Indonesia, kata Retno, terus berupaya untuk mendorong terjadinya negosiasi guna tercapainya resolusi damai. Indonesia secara konsisten menyerukan deeskalasi agar dunia bisa bergerak maju dan pulih kembali.
”Solusi terbaik bagi Indonsia bukan di medan pertempuran, melainkan di meja perundingan,” kata Retno.
Sementara itu, menurut Hikmahanto, Indonesia bisa menggunakan posisinya sebagai presidensi G20 untuk mendorong Rusia dan Ukraina menyepakati gencatan senjata. Bahkan, lebih jauh, Indonesia, menurut dia, bisa mendorong agar negara-negara Barat, dalam hal ini NATO, Amerika Serikat, dan Eropa, membuat kesepakatan di atas kertas agar mereka tidak ekspansif ke wilayah Eropa timur. Indonesia juga bisa mendorong Ukraina menjadi negara netral. (MHD)