RKUHP Beri Waktu Tiga Tahun untuk Kompilasi Hukum Adat
Dalam RKUHP yang akan segera disahkan pemerintah dan DPR, aturan soal hukum adat yang masih hidup di tengah masyarakat adat tertera dalam dua ayat di Pasal 2. Namun, kehadiran pasal ini masih menuai resistensi. Mengapa?
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memiliki waktu tiga tahun untuk melakukan kompilasi hukum adat yang dihitung sejak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disahkan. Kompilasi hukum adat tersebut nantinya berguna bagi pelaksanaan Pasal 2 RKUHP di mana ada pengakuan terhadap living law, hukum adat yang masih hidup di tengah masyarakat hukum adat di wilayah tertentu.
Ketua Tim Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dari pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo, Minggu (5/6/2022), mengatakan, kompilasi tersebut diawali dengan penelitian ilmiah yang empiris untuk membuktikan bahwa hukum adat tersebut benar-benar masih berlaku dan diterima oleh masyarakat setempat. Penerapan hukum pidana adat itu tidak bisa serta-merta dilakukan dengan sekadar putusan politik dari pemerintah setempat.
Saat ditanya apakah sudah ada data mengenai hukum adat yang masih berlaku hingga kini di tengah masyarakat, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia tersebut mengatakan belum ada. Namun, RKUHP memberikan waktu 3 tahun bagi pemerintah untuk melakukan kompilasi hukum adat.
Living law dalam Pasal 2 RKUHP diatur dalam dua ayat. Ayat (1) berbunyi: ”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”. Adapun Ayat (2) berbunyi, ”Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej, dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR pada 25 Mei lalu, mengungkapkan, setelah dilakukan sosialisasi di 12 kota dan mendapatkan berbagai masukan pada 2021, pihaknya memberikan beberapa penjelasan terhadap Pasal 2 RKUHP. Yakni, yang dimaksudkan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Kemudian, pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (2) RKUHP, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Pemenuhan kewajiban adat setempat, menurut Eddy, dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II (atau Rp 10 juta). Apabila kewajiban adat tersebut tidak dipenuhi atau dijalankan oleh terpidana, maka terpidana dapat dikenai pidana pengganti untuk pidana denda yang diberikan. Dan, pidana pengganti tersebut dapat juga berupa ganti kerugian. ”(Ketentuan) Ini ditambahkan di dalam penjelasan. Jadi, tidak mengubah norma yang ada,” kata Eddy saat itu.
Pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Edita Elda, mengungkapkan, pihaknya memahami bahwa ketentuan Pasal 2 tersebut dimaksudkan untuk lebih memberi jaminan terhadap pengakuan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat. Hanya saja, yang masih menjadi isu krusial untuk diperdebatkan adalah seperti apa nanti ketentuan tersebut diturunkan. ”Ketika RKUHP sudah disahkan, kemudian aplikasinya seperti apa. Bagaimana nanti menurunkannya dalam pelaksanaan di lapangan. Tentu berbeda-beda di masing-masing daerah,” tanya Edita.
Sementara itu, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, menolak pemberlakuan Pasal 2 di dalam RKUHP. Menurut dia, pasal tersebut hendak mengecualikan asas legalitas (seseorang tidak dapat dipidana dengan sesuatu yang belum diatur di dalam undang-undang), dalam hal perbuatan yang melanggar hukum yang hidup di masyarakat. Menurut dia, ketentuan tersebut sangat berbahaya karena menjadi tidak jelas siapa yang menentukan sebuah perbuatan merupakan tindak pidana.
”Isunya adalah siapa yang akan menentukan perbuatan ini adalah pidana. Bayangannya adalah masyarakat. Enggak. Pada akhirnya, kan, polisi. Ini, kan, sangat berbahaya,” ujarnya.
Atas kritikan tersebut, kata Arsil, muncul usulan untuk mengompilasikan hukum adat yang masih hidup di masyarakat. Persoalannya, apabila kompilasi terhadap hukum adat dilakukan, bentuknya pada akhirnya adalah peraturan perundang-undangan, misalnya peraturan daerah.
”Ketika menjadi perundang-undangan, dia tidak menjadi seperti yang dimaksud dalam Pasal 2. Bukan living law, melainkan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, keberadaan Pasal 2 itu tetap membuka peluang perbuatan yang tidak diatur di dalam peraturan perundangan-undangan masih bisa dipidana juga,” tuturnya. Jika demikian, Arsil menilai keberadaan Pasal 2 RKUHP menjadi tidak diperlukan.