Rancangan KUHP baru perlu dibuka kepada publik. Ini penting agar prinsip partisipasi publik bermakna dalam pembentukan UU bisa terpenuhi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil menyambut positif terbukanya peluang pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP di DPR. Oleh karena itu, mereka meminta agar draf RKUHP segera dibuka kepada publik sehingga catatan kritis terhadap draf terbaru bisa diberikan sebelum ketentuan hukum pidana baru itu disahkan menjadi undang-undang.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, saat dihubungi, Sabtu (4/6/2022), menyambut baik kemungkinan pembahasan ulang RKUHP di DPR. Ini menunjukkan ada iktikad baik dari pemerintah untuk menyusun undang-undang dengan taat prosedur formil. Utamanya adalah syarat formil pelibatan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), seperti dalam putusan MK dalam uji formil UU Cipta Kerja.
Agar prosesnya lebih transparan, draf RKUHP terbaru yang sudah berubah pasca-persetujuan tingkat I di DPR harus dibuka kepada publik. Dengan begitu, masyarakat sipil bisa memastikan perubahan 14 poin yang disampaikan pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej di DPR.
”Sebanyak 14 poin perubahan yang disampaikan oleh Wamen di DPR, beberapa waktu lalu, itu pada dasarnya baik. Namun, publik harus tetap diberi akses terhadap draf RKUHP terbarunya agar bisa memberikan catatan kritis dan masukan,” ujar Erasmus.
Sebelumnya, dalam rapat kerja di Komisi III DPR, Rabu (25/5/2022), DPR menyetujui usulan pemerintah terkait perubahan 14 isu krusial dalam RKUHP. Perubahan itu sudah disosialisasikan di 12 kota.
Isu-isu krusial itu di antaranya adalah pidana mati sebagai pidana alternatif, penghinaan terhadap presiden menjadi delik aduan, pelarangan siaran langsung jalannya pengadilan, pengaturan aborsi yang dikecualikan pada situasi kedaruratan medis atau korban pemerkosaan, serta pemerkosaan dalam perkawinan. Setelah disetujui, Komisi III berencana membawa RKUHP ke Rapat Paripurna DPR untuk memperoleh persetujuan pengesahan menjadi UU (Kompas, 27 Mei 2022).
Meskipun demikian, ICJR menilai masih banyak poin bermasalah dari perubahan yang disampaikan oleh pemerintah tersebut. Dari catatan ICJR, setidaknya masih ada 24 isu krusial yang harus dibahas agar UU itu tidak bermasalah. Apalagi, jika pembentuk UU benar-benar ingin melakukan modernisasi, dekolonialisasi, dan demokratisasi dalam aturan baru itu.
Sebanyak 14 poin perubahan yang disampaikan oleh Wamen di DPR, beberapa waktu lalu, itu pada dasarnya baik. Namun, publik harus tetap diberi akses terhadap draf RKUHP terbarunya agar bisa memberikan catatan kritis dan masukan.
Sejumlah isu yang disoroti adalah adanya aturan hukum adat (living law) yang berpotensi diskriminatif dan overkriminalisasi. Aturan ini dapat menimbulkan kesewenang-wenangan karena aparat penegak hukum berpotensi mengartikan hukum yang hidup di masyarakat tanpa batasan yang jelas.
Selain itu, di draf terakhir RKUHP juga masih ada ketentuan yang mengatur pidana mati sebagai hukuman alternatif keputusannya dikembalikan kepada majelis hakim yang menangani. Hakim masih memiliki diskresi untuk menentukan pidana mati sebagai hukuman percobaan atau langsung bisa dieksekusi. Menurut dia, ini merupakan langkah mundur karena seharusnya pidana mati langsung menjadi hukuman percobaan secara otomatis.
”Ada beberapa hal yang perubahannya sangat progresif, misalnya delik aborsi. Ini kami apresiasi. Namun, di sisi lain masih ada aturan yang terlalu masuk ke ranah privat warga, misalnya kohabitasi bisa dilaporkan oleh orangtua dan anak pelaku. Ini justru bisa merusak hubungan antarkeluarga,” kata Erasmus.
Masyarakat sipil juga meminta agar pasal penghinaan presiden dan lembaga negara bisa dihapuskan jika pemerintah ingin mengusung semangat dekolonialisasi dalam RKUHP. Sekalipun sudah diubah menjadi delik aduan, pasal ini dinilai tak mencerminkan semangat demokrasi.
Pasal lain yang harus dibahas ulang karena tak demokratis adalah larangan unjuk rasa yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan berpotensi menimbulkan huru-hara. Masyarakat sipil meminta aturan ini dicabut karena frasa mengganggu ketertiban umum maknanya sangat luas. Ini bisa ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
Erasmus juga menyebut soal semangat kodifikasi dalam RKUHP yang kerap disuarakan oleh pemerintah. Jika memang ada kodifikasi aturan, seharusnya pemerintah juga menyelaraskan RKUHP dengan UU lain, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Untuk konteks perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, RKUHP wajib menentukan delik kekerasan seksual. Ini agar UU TPKS benar-benar dapat dioperasionalisasikan di lapangan. Selain itu, sejumlah pasal di UU ITE, seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, juga harus dilakukan kodifikasi agar ada harmonisasi perundang-undangan.
Dihubungi terpisah, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej mengatakan, draf akan dibuka ke publik setelah pemerintah resmi mengajukan kembali RKUHP dengan mekanisme RUU luncuran (carry over) dari DPR periode 2014-2019. Saat ini, posisinya pemerintah sedang menunggu jawaban dari presiden atas surat dari DPR soal kelanjutan pembahasan RKUHP. Jika Presiden Joko Widodo sudah menyetujui itu, pemerintah segera mengajukan kembali RKUHP untuk dibahas bersama DPR.
Eddy juga membenarkan pendapat DPR bahwa masih ada kemungkinan pembahasan ulang draf RKUHP di parlemen. Namun, hal itu hanya terbatas pada 14 isu krusial hasil perubahan. RKUHP tidak akan dibahas lagi mulai dari nol seperti tahun 2019.
”Saya kira sudah tidak ada masalah karena 14 isu itu diperbaiki berdasarkan masukan dari teman-teman koalisi masyarakat sipil. Kami memiliki catatannya dalam setiap pembahasan dengan koalisi,” ujar Eddy.