Perkuat Pemonitoran dan Evaluasi Penjabat Kepala Daerah
Regulasi teknis perlu memuat indikator penilaian penyelenggaraan pemerintah, mulai dari perencanaan, penganggaran, kebijakan, kelembagaan, hingga pelayanan publik.
JAKARTA, KOMPAS — Proses penunjukan penjabat kepala daerah beberapa pekan ini telah menimbulkan perdebatan yang cukup menguras energi publik. Setelah para pejabat bertugas, mekanisme pemonitoran dan kontrol terhadap mereka harus diperkuat berdasarkan regulasi teknis yang melibatkan publik, serta memperhatikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Polemik penunjukan penjabat terkait munculnya penolakan sejumlah gubernur untuk melantik ataupun soal penunjukan anggota TNI aktif sebagai penjabat.
Rencana pelantikan Pelaksana Harian Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Apriyadi, menjadi Penjabat Bupati Musi Banyuasin oleh Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Senin (30/5/2022), menandakan meredanya polemik antara sejumlah gubernur dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait penunjukan penjabat kepala daerah.
Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba juga sempat menunda pelantikan karena sebagian penjabat bupati yang ditunjuk tak sesuai usulan yang diajukan. Namun, para penjabat itu akhirnya dilantik pada Jumat (27/5).
Dengan demikian, 43 daerah sudah diisi penjabat setelah kepala daerah dan wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatan pada Minggu (22/5). Pada Juli 2022 akan ada 11 penjabat kepala daerah yang ditunjuk pemerintah.
Baca Juga: Kemendagri Tidak Buat Aturan Pelaksana Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Gelombang pelantikan penjabat selanjutnya jatuh pada Juli 2022. Setidaknya, 11 penjabat kepala daerah akan ditunjuk. Itu terdiri dari 1 penjabat gubernur, 2 penjabat wali kota, dan 8 penjabat bupati. Adapun penjabat gubernur yang dimaksud adalah penjabat gubernur Aceh.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN) Soni Sumarsono saat dihubungi di Jakarta, Minggu (29/5/2022), mengatakan, polemik terkait gubernur yang menolak melantik penjabat kepala daerah belakangan ini patut menjadi pelajaran bersama, baik bagi para gubernur maupun Kemendagri. Perlu pemahaman dari daerah bahwa yang diusulkan tidak mutlak harus diterima pemerintah pusat. Sebab, pemerintah pusat memiliki penilaian berdasarkan parameter tertentu, rekam jejak, dan sebagainya.
Gubernur harus menerima apabila terjadi perbedaan tersebut. Meskipun demikian, pemerintah pusat harus menghormati usulan gubernur karena mereka juga membutuhkan aspirasi dari bawah. Setidak-tidaknya pemerintah pusat jangan sampai memilih calon penjabat yang tidak diusulkan. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka menghargai dan menghormati gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Apalagi, polemik juga berlanjut terkait penolakan terhadap prajurit TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah. Ini berkaitan dengan penunjukan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Soni berharap pemerintah memberikan penjelasan yang utuh kepada publik dan jangan sampai isu ini berkembang tanpa ada respons dari pemerintah secara resmi.
Terlepas dari semua itu, kata dia, semua pihak perlu menatap ke depan karena penyelenggaraan pemerintahan harus terus berlangsung. Penjabat harus mampu memastikan pemerintahan bisa berjalan efektif sejak ditinggalkan oleh kepala daerah-wakil kepala daerahnya. Untuk itu, mereka harus memiliki program kerja yang jelas. Program kerja tersebut juga harus disosialisasikan kepada publik dan DPRD sehingga dapat terus diawasi.
M ekanisme monitoring dan evaluasi terhadap penjabat kepala daerahharus jelas agarpenolakan pelantikan karena ketidaksetujuan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dapat diatasi.
”Sudah nyambung belum program kerjanya. Kalau jadi penjabat tidak punya program kerja, itu hanya malapetaka. Evaluasi tentu harus berdasar monitoring itu, kemudian dilakukan evaluasi dan kalau memang tidak cocok, ya, tiga bulan pun tidak usah menunggu, dua bulan cukup diganti kalau tidak cocok,” tutur Soni.
Baca Juga: Bukan Sekadar Mencari Administrator
Regulasi teknis
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Nurcahyadi Suparman menambahkan, mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap penjabat kepala daerah harus jelas agar penolakan pelantikan karena ketidaksetujuan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dapat diatasi.
Dia juga menuturkan, berdasar pengalaman pemilihan penjabat kepala daerah satu bulan terakhir, persoalan regulasi teknis jadi catatan utama. Pemerintah pusat harus mengeluarkan regulasi teknis yang mengatur mekanisme pemilihan dan penetapan penjabat.
Di regulasi teknis itu juga perlu dimasukkan kewenangan penjabat kepala daerah seperti hak dan kewajiban, serta tugas pokok fungsinya. Regulasi teknis itu perlu disosialisasikan secara sistematis agar dapat diterima semua pihak, terutama oleh pemangku kebijakan, seperti DPRD, tokoh masyarakat, ataupun masyarakat umum.
Regulasi teknis perlu memuat indikator penilaian terkait dimensi penyelenggaraan urusan pemerintah mulai dari perencanaan, penganggaran, kebijakan, kelembagaan, dan pelayanan publik. Dimensi itu memperhatikan prinsip tata kelola pemerintah yang baik, seperti transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, dan kepastian hukum.
”Itu mesti ada atau dituangkan dalam regulasi yang harus dibaca semua pihak. Setiap tiga bulan bagaimana mekanismenya (evaluasi). Perlu ada indikator penilaian dan kita mengharapkan dalam proses monitoring dan evaluasi itu melibatkan publik,” kata Herman.
Tugas berat
Anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Achmad, sependapat dengan Soni bahwa kegaduhan dan keresahan soal penunjukan penjabat ini tidak boleh terus diperpanjang. Mendagri harus memetik pelajaran dari polemik ini, yakni perlunya pemantapan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam proses penetapan calon penjabat bupati/wali kota dengan para gubernur. Dengan begitu, asas sentralisasi dan asas desentralisasi dapat berjalan seiring.
Lebih lanjut, mantan Bupati Rokan Hulu dua periode itu mengatakan, setelah penjabat dilantik, mereka bisa langsung fokus bekerja. Hal ini sangat penting karena tugas mereka cukup berat sebagai administrator pemerintahan dan pembangunan, sekaligus juga pembina kesejahteraan sosial masyarakat serta sosial politik di daerahnya.
”Apalagi, wabah Covid-19 selama dua tahun terakhir ini telah mengakibatkan terpuruknya ekonomi masyarakat, terganggunya kesehatan masyarakat, dan juga memengaruhi sektor-sektor kehidupan lainnya. Ini tantangan yang dihadapi para penjabat,” kata Achmad.
Di kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara, Wakil Gubernur Maluku Utara Al Yasin Ali berpesan kepada Penjabat Bupati Pulau Morotai M Umar Ali bahwasanya saat ini negara belum pulih sepenuhnya dari wabah virus Covid-19. Untuk itu, tantangan yang akan dihadapi oleh penjabat tidaklah mudah.
Al Yasin membeberkan, ada sejumlah persoalan internal dan eksternal yang masih menjadi kendala di Kabupaten Pulau Morotai. Kendala internal, misalnya, kemampuan fiskal daerah yang rendah, pendapatan asli daerah (PAD) yang minim, akses infrastruktur yang minim, serta rendahnya disiplin dan etos kerja aparatur sipil negara (ASN).
Adapun persoalan eksternal meliputi situasi Covid-19 yang belum berakhir, kenaikan harga bahan bakar minyak dan sejumlah bahan pangan, daya beli masyarakat yang masih rendah, serta tingkat kemiskinan dan pengangguran yang cenderung meningkat.
Karena itu, menurut Al Yasin, keberadaan Umar Ali sebagai Penjabat Bupati Pulau Morotai menjadi sangat penting dan sangat strategis. Apalagi, jelang 2024 nanti, mereka juga mempunyai peranan yang besar untuk menyiapkan agenda pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara serentak.
Nanti akan kelihatan kerja atau tidak kerjanya mereka. Lalu, akan tampak juga, mereka lebih sering di daerahnya atau malah lebih sering ada di Jakarta. Kalau, misalnya, tugas utamanya penanganan Covid-19, dan tidak selesai, bisa jadi Presiden akan lakukan rotasi atau dicabut surat keputusan pengangkatannya.
”Sebagai seorang ASN, saya meminta agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak terlibat atau melibatkan diri dalam kepentingan politik praktis,” ujar Al Yasin.
Bisa dicopot
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menyampaikan, Kemendagri telah membentuk tim untuk memantau kinerja para penjabat sehingga kinerja mereka akan terukur dan dapat terus dievaluasi. Bersamaan dengan itu, para penjabat juga wajib menyampaikan laporan kinerjanya secara rutin kepada Kemendagri.
”Nanti akan kelihatan kerja atau tidak kerjanya mereka. Lalu, akan tampak juga, mereka lebih sering di daerahnya atau malah lebih sering ada di Jakarta. Kalau, misalnya, tugas utamanya penanganan Covid-19, dan tidak selesai, bisa jadi Presiden akan lakukan rotasi atau dicabut surat keputusan pengangkatannya,” ujar Akmal.
Ia mengingatkan, penjabat mempunyai kewajiban untuk mengawal program strategis nasional, meliputi reformasi birokrasi, penyederhanaan peraturan daerah, dan peningkatan ekonomi. Apalagi, ditambah adanya pandemi Covid-19, beban tugas mereka tentu menjadi semakin bertambah.
Tugas-tugas tersebut harus dijalankan dengan baik. Bagi yang tidak bisa menjalankannya, tentu pemerintah pusat berhak mengganti mereka dengan pejabat yang lebih berkualitas dan profesional. Namun, penjabat juga bisa memberikan masukan kepada Mendagri jika ada ASN di daerahnya yang tidak bisa diajak bekerja sama. ASN itu sangat mungkin diusulkan untuk dimutasi karena tidak mendukung terciptanya program strategis nasional.
“Kami ditugaskan oleh Presiden (mengawal program strategis nasional), pasti kami eseksusi. Kalau ada ASN tidak mau mendukung (program strategis nasional), anda (ASN) minggir dulu, saya cari yang mau atas seizin Mendagri tentunya,” ucap Akmal.
Akmal menegaskan, seluruh pihak, mulai dari DPRD, masyarakat, hingga media, dapat ikut memberikan pengawasan terhadap kinerja penjabat di daerahnya. Kemendagri sangat terbuka terhadap masukan-masukan tersebut.