Bukan Sekadar Mencari Administrator
Apa saja tantangan yang dihadapi para penjabat kepala daerah? Bagaimana mereka dipilih? Sudah idealkah proses pemilihan para penjabat itu? Bagaimana mencegah penjabat memanfaatkan posisi demi 2024? XYZ Forum membahasnya.

Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik berbicara dalam Diskusi Forum XYZ dengan tema Penjabat Menguasai Daerah: Kebijakan Terarah Vs Konservatisme Kebijakan digelar di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Selasa (10/5/2022). Selain Akmal Malik, pembicara lain yang berbicara adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Wali Kota Bogor Bima Arya, dan Mantan Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan.
Pelantikan lima penjabat gubernur oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Kamis (12/5/2022) menandai era kepemimpinan penjabat kepala daerah. Ada 271 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023 sehingga akan diisi penjabat hingga terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024. Para penjabat itu memiliki wewenang yang hampir sama dengan kepala daerah definitif.
Namun, hal ini dibayangi kekhawatiran soal kapasitas aparatur sipil negara yang ditunjuk dan kekhawatiran transaksi politik demi kepentingan Pemilu 2024. Di sisi lain, para penjabat dihadapkan pada sejumlah tantangan yang tak mudah. Sebut saja penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan dampak pandemi.
Berbagai isu itu dibahas dalam Kompas XYZ Forum bertajuk ”Penjabat Menguasai Daerah: Kebijakan Terarah Vs Konservatisme Kebijakan”, Selasa (10/5). Diskusi yang dibuka Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo dan dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra itu menghadirkan narasumber Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia yang juga Wali Kota Bogor Bima Arya, dan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan.
Hadir pula sebagai penanggap Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto, Ketua Umum Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia Lukman Said, Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Nikson Nababan, serta peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Heroik Pratama.
Berikut bahasan dalam sejumlah topik yang muncul dalam diskusi.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan surat keputusan pengangkatan lima penjabat gubernur saat pelantikan mereka di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Mereka yang dilantik adalah Al Muktabar (Banten), Ridwan Djamaluddin (Bangka Belitung), Akmal Malik (Sulawesi Barat), Hamka Hendra Noer (Gorontalo), dan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw (Papua Barat).
Apa saja tugas yang menanti para penjabat kepala daerah?
Tjahjo Kumolo: Penjabat mengemban tugas penting untuk menjalankan isu-isu strategis, meliputi politik pembangunan, menjalankan visi-misi presiden dan wakil presiden, dan kepala daerah yang terpilih sebelumnya. Penjabat harus membangun kepemimpinan efektif, mewujudkan good governance, konsolidasi antarorganisasi perangkat daerah, tak melakukan kepentingan politik, serta berpegang pada asas netralitas. Para penjabat juga harus meningkatkan pelayanan publik sehingga terbangun birokrasi yang makin efektif dan efisien.
Bima Arya: Ada sejumlah isu yang patut jadi perhatian. Pertama, keberlanjutan pembangunan. Ini bukan sekadar mengamankan suksesor, tetapi tugas pemimpin memastikan gagasannya berlanjut, kotanya sustain. Mereka harus mampu memastikan organisasi perangkat daerah memiliki pimpinan yang bisa mengawal RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah). Ibaratnya, bata jadi rumah, bukan dihancurkan jadi lapangan rata.
Bagaimana penjabat dipilih?
Akmal Malik: Tahun ini, kami mengusulkan kepada Presiden agar membentuk tim karena sebelumnya pemilihan penjabat diserahkan kepada Mendagri. Presiden akhirnya membentuk tim, antara lain terdiri dari Kemendagri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Sekretariat Negara, serta Badan Kepegawaian Nasional. Tim itu yang bekerja menentukan siapa dan bagaimana track record masing-masing (calon penjabat).
Penjabat yang kami usulkan memiliki kualifikasi bagus dan di atas rata-rata. Mereka memiliki pengalaman di bidang pemerintahan yang dibuktikan dengan riwayat jabatan, menduduki jabatan struktural, serta kinerja dalam tiga tahun terakhir sekurang-kurangnya memiliki nilai baik. Persoalan netralitas dan kompetensi menjadi perhatian Kemendagri.
Tjahjo: Jangan sampai ada penjabat yang punya kepentingan. Jika gubernur ngotot ingin pejabat bupati-wali kota pilihannya, apalagi gubernurnya itu nanti mau nyalon lagi, ya mohon maaf, pasti dia punya kepentingan. Saya pasti menolak. Kedua, jika calon penjabat itu kemungkinan berkeinginan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, kami drop. Jangan sampai nanti ada konflik.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengucapkan selamat kepada lima penjabat gubernur seusai pelantikan di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Mereka yang dilantik adalah Al Muktabar (Banten), Ridwan Djamaluddin (Bangka Belitung), Akmal Malik (Sulawesi Barat), Hamka Hendra Noer (Gorontalo), dan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw (Papua Barat). Para penjabat gubernur ini akan bertugas selam satu tahun.
Apakah tersedia cukup ASN yang berkualitas untuk mengisi posisi penjabat?
Akmal: Kami sudah memetakan secara detail kebutuhan penjabat kepala daerah dari sisi kuantitas. Ketersediaan pejabat tinggi (JPT) madya 622 ASN dan pejabat tinggi pratama ada 4.626 ASN. Padahal, kebutuhan JPT madya (untuk penjabat gubernur) 24 ASN, sedangkan kebutuhan JPT pratama (penjabat bupati/wali kota) hanya 247 ASN. Jadi lebih dari cukup.
Sering kami melihat penjabat terkesan hanya menjadi administrator. Padahal, kepemimpinan juga harus berkomunikasi dengan tokoh masyarakat, ulama, merespons krisis serta demo. Jadi, yang dikriteriakan orang-orang berkualitas itu harusnya punya kualitas menghadapi dinamika pembangunan yang tidak hanya administrasi formal. Akan banyak dinamika. Makanya harus siaga satu demokrasi kita dengan penjabat karena suhu makin panas menjelang pilpres dan pilkada.
Bima: Kalau stok pejabat cukup, kan, dimensinya kuantitatif. Tetapi, kita berbicara dalam level kapasitas, bukan hanya kuantitas. Ada persoalan kapasitas kepemimpinan yang sangat tidak mudah. Ada tiga dimensi dalam kepemimpinan di daerah yang menentukan kinerja kepala daerah, yaitu legitimasi, pengetahuan tentang pemerintahan daerah, dan kemampuan politik. Mungkin kalau aspek pengetahuan paham, tetapi aspek legitimasi dan skill politik belum tentu teruji.
Ridwan Kamil: Kriteria penjabat yang dipilih sering kali belum terkomunikasi optimal dengan kami yang mengusulkan. Masukan saya di situasi menjelang 2024 sebaiknya ratusan penjabat tidak hanya dikomunikasikan dengan pejabat pengusul, tetapi juga disosialisasikan kepada masyarakat. Sebab, kami ini adalah makhluk politik yang dipilih oleh rakyat.
Sering kami melihat penjabat terkesan hanya menjadi administrator. Padahal, kepemimpinan juga harus berkomunikasi dengan tokoh masyarakat, ulama, merespons krisis serta demo. Jadi, yang dikriteriakan orang-orang berkualitas itu harusnya punya kualitas menghadapi dinamika pembangunan yang tidak hanya administrasi formal. Akan banyak dinamika. Makanya harus siaga satu demokrasi kita dengan penjabat karena suhu makin panas menjelang pilpres dan pilkada.
Menurut saya, keputusan ini (penunjukan penjabat) politis. Mau dinarasikan sangat ilmiah, obyektif, apa pun, saya meyakini ujung-ujungnya adalah politis menentukan A B C sebagai penjabat. Jadi jangan kaget dan heran akan ada krang-kring-krang-kring dari parpol untuk melobi-lobi nama-nama yang diusulkan untuk jadi penjabat karena pasti mereka punya kepentingan di 2024 terkait kepentingan parpol masing-masing yang tak bisa dihindari.

Apakah pemilihan penjabat saat ini sudah ideal? Bagaimana idealnya pemilihan itu?
Lukman Said: Sekarang, kami disuguhkan tiba-tiba penjabat yang kami tidak tahu siapa dan kapasitasnya karena memang tak pernah ada konsultasi dengan DPRD. Tak pernah ada pemberitahuan kepada DPRD. Padahal, penjabat yang akan turun ke daerah nanti akan berhadapan dengan DPRD dalam setiap pengambilan kebijakan. Apalagi, baru kali ini, masa jabatan penjabat panjang sekali dan mereka akan bersama-sama dengan DPRD menentukan kebijakan-kebijakan strategis sampai 2024. Saya khawatir, kalau antara penjabat dan DPRD tidak connect, bisa berdampak pada pembahasan APBD yang berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi.
Nikson Nababan: Penjabat yang dipilih sebaiknya dari ASN yang punya pengalaman dengan daerah. Contohnya pernah jadi pelaksana tugas kepala daerah. Pengalaman pernah menjadi pelaksana tugas di daerah sangat penting. Kalau bisa, sekretaris daerah yang jadi penjabat karena sudah memahami RPJMD, RKPD, renstra, dan lain-lain sehingga tidak ada lagi miskomunikasi dalam menjalankan tugas.
Djohermansyah Djohan: Tata cara penunjukan penjabat dari ASN seharusnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) sesuai pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Jika PP belum jadi, untuk sementara waktu sekda bisa diangkat sebagai pelaksana harian kepala daerah. Materi muatan PP, antara lain, memastikan pengisian penjabat mengedepankan prinsip demokrasi, transparansi dalam birokrasi, kompetensi, dan kondisionalitas daerah.
Untuk memastikan terpenuhinya prinsip demokratis, perlu dibentuk panitia seleksi untuk menutup celah politik transaksional. Setiap tahapannya juga diumumkan ke publik serta diawasi KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Penguatan kapasitas penjabat perlu ditingkatkan melalui diklat orientasi kepemimpinan kepala daerah sebelum diterjunkan ke lapangan. Jadi, kita tidak bisa menggaransi mereka langsung paham soal pemerintahan daerah, harus ada diklat yang diisi oleh berbagai pihak, termasuk KPK. Juga dibuat pengaturan tentang reward and punishment. Kalau ada problem, kita penalti. Kalau sekarang, tidak ada aturan seperti itu.

Apa mekanisme mencegah penjabat memanfaatkan posisinya demi kepentingan 2024?
Akmal: Kami ingin meluruskan stigma yang muncul. Penjabat tidak akan menjabat selama 2,5 tahun atau 2 tahun. Di penjelasan Pasal 201 UU No 10/2016 tentang Pilkada dijelaskan, masa jabatan penjabat kepala daerah hanya satu tahun dan dapat diperpanjang satu tahun berikutnya dengan orang sama atau berbeda. Bahkan, di peraturan pelaksana, penjabat bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mendagri yang disampaikan tiga bulan sekali.
Sejumlah pekerjaan rumah menanti para penjabat kepala daerah, mulai dari membangun kepemimpinan yang efektif, memastikan keberlanjutan pembangunan, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, hingga membentengi diri dari segala kepentingan politik praktis. Untuk mendapatkan penjabat dengan kualifikasi itu, pemerintah membentuk tim kecil yang belum pernah dibentuk sebelumnya ketika menyeleksi penjabat kepala daerah.
Di sinilah mekanisme kontrol terhadap kinerja mereka ke depan. Kita perlu mengawal. Kita akan buat mekanisme agar mereka melaporkan kinerjanya kepada publik untuk menjawab keraguan-keraguan yang bisa saja akan hadir.
Tjahjo: Saya kira keputusan Mendagri harus kita dukung untuk ada evaluasi tiap tiga bulan. Kalau dia bermanuver, dia ada interest maju politik, misalnya, ya bisa diganti. Saya ingin penjabat netral, tegak lurus, karena konsolidasi demokrasi sangat penting.
Agus Pramusinto: Evaluasi penjabat sangat penting. ASN saja diawasi, apalagi ini menyangkut ASN menjadi penjabat. Maka perlu dilihat kinerja seperti apa dan integritasnya seperti apa. Lalu juga perlu disusun, instrumen untuk mengukur atau mengevaluasi kinerja seperti apa. Integritas juga, misalnya, menjamin netralitas agar penjabat yang menjabat itu tidak memanfaatkan kondisi ini untuk persiapan dirinya sendiri (maju pilkada).
Ini yang harus kita jaga betul. Kita harus pastikan entah itu pilkada, pileg, pilpres, harus fair. Ketika kita memilih (penjabat), harus orang-orang yang netral, obyektif, dan tidak menjadi mesin politik bagi kepentingan politik tertentu.

Mantan Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan (kiri) berbincang dengan Wali Kota Bogor Bima Arya di sela-sela Diskusi Forum XYZ dengan tema Penjabat Menguasai Daerah: Kebijakan Terarah Vs Konservatisme Kebijakan di gelar di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Selasa (10/5/2022).
Kesimpulan
Sejumlah pekerjaan rumah menanti para penjabat kepala daerah, mulai dari membangun kepemimpinan yang efektif, memastikan keberlanjutan pembangunan, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, hingga membentengi diri dari segala kepentingan politik praktis. Untuk mendapatkan penjabat dengan kualifikasi itu, pemerintah membentuk tim kecil yang belum pernah dibentuk sebelumnya ketika menyeleksi penjabat kepala daerah.
Dalam proses pemilihan itu, pemerintah diingatkan bahwa penunjukan penjabat bukanlah sekadar memilih administrator, melainkan pejabat politik yang harus memiliki legitimasi dan kemampuan politik yang mumpuni. Terlebih, belakangan muncul kritik pemilihan penjabat kepala daerah tak melibatkan DPRD ataupun partisipasi publik. Selain itu, ada kritik bahwa pemilihannya belum sebangun dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi agar dibentuk peraturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah.
Pengawasan atas kinerja penjabat juga mesti selalu dilakukan guna mencegah penyalahgunaan wewenang. Pemerintah berjanji akan melakukan itu. Namun, perlu dipastikan bahwa proses pengawasan itu diatur lebih spesifik, seperti membuat indikator yang terukur sebagai instrumen evaluasi. Harapannya, hal ini bisa memastikan efektivitas kinerja mereka, sekaligus mencegah mereka memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya untuk Pemilu 2024 atau Pilkada 2024.