Ini Kata Mereka soal Pemekaran Daerah Otonom Baru di Papua
Pembentukan daerah otonom baru Papua mendapat kritik dari sejumlah elemen masyarakat sipil. Apa pendapat mereka soal proses pembentukan DOB Papua?
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sedang bersiap membahas tiga rancangan undang-undang pembentukan daerah otonom baru di Papua kepada pemerintah. Ketiga RUU itu adalah RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU Pembentukan Provinsi Pegunungan Tengah. Langkah ini dikiritik oleh elemen masyarakat sipil.
Dalam diskusi ”Polemik Pembentukan DOB Papua” yang diadakan Public Virtue dan Themis, Rabu (25/5/2022), sejumlah narasumber yang hadir menekankan kritik terkait rencana pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua itu pada sejumlah poin. Pembentukan DOB, di antaranya, sangat minim diskusi dan sosialisasi dengan masyarakat. Selain itu, pemerintah pusat dinilai tidak konsisten melaksanakan otonomi khusus, sentralistik, dan mengandalkan pendekatan represif. Berikut ini pandangan sejumlah narasumber yang hadir dalam diskusi itu.
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib dalam diskusi mengatakan, terkait perubahan otonomi khusus, hal ini memang menjadi kewenangan pemerintah dan DPR. Masalahnya, katanya, partisipasi rakyat tidak didengar. Rupanya dalam revisi UU Otonomi Khusus itu ada agenda daerah otonom baru yang kemudian menjadi agenda pemerintah dan DPR.
Ia mengatakan, UU Otonomi Khusus sebelumnya merupakan solusi yang sama-sama menguntungkan masyarakat dan pemerintah pusat. Kekhususan Papua diakomodasi. Akan tetapi, hal ini kemudian teringkari dalam UU No 2/2021 tentang Perubahan Kedua UU Otsus. Timotius mengatakan, dari 24 kewenangan yang diberikan kepada Papua dalam UU No 21/2001 tentang Otsus, baru empat yang dilaksanakan. Timotius mengatakan, saat ini MRP sedang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena ada 19 pasal yang dinilai merugikan orang asli Papua.
Feri Amsari dari Themis Indonesia mengatakan, pembentukan daerah otonom baru di Papua adalah contoh lain dari sentralistiknya Jakarta. Ia mengatakan, sesuai hukum tata negara, pemekaran membutuhkan proses dan dialog yang panjang. Yang terjadi dengan DOB adalah puluhan orang menyatakan keinginan tersebut, tetapi kemudian diklaim pemerintah sebagai keinginan seluruh rakyat Papua.
”Semua UU itu harusnya ada naskah akademis, tanggapan masyarakat adat, dengan demikian secara konstitusional menjadi hak-hak rakyat. Kalau seperti sekarang, kita curiga ada motif yang disembunyikan,” kata Feri.
Kritik senada disampaikan Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi. Ia mengatakan, saat ini ada banyak legislasi yang berorientasi pada kepentingan elite. Kepentingan masyarakat dipinggirkan. Hal ini menjadi rantai yang putus antara rakyat dan pemerintah. Hal ini sudah terjadi sebelumnya seperti saat revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan saat ini pada pemekaran di Papua.
Marthen Goo dari gerakan #PapuaItuKita mengatakan, pemaksaan DOB itu terlihat sejak awal karena tidak ada partisipasi masyarakat. Ketika partisipasi masyarakat minim, masyarakat lalu menolak. Pemerintah lalu melakukan pendekatan keamanan. ”Papua dianggap urusan uang, lalu pendekatan represif. Ini yang timbulkan pelanggaran HAM dan marjinalisasi,” kata Marthen.