Ada beberapa masalah setelah reformasi yang harus diselesaikan. Di antaranya terbentuk orang-orang yang lebih menikmati reformasi daripada pihak yang lain secara tidak proporsional. Biaya demokrasi jadi terlalu besar.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
KOMPAS/EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.
JAKARTA, KOMPAS — Sudah banyak pencapaian yang dihasilkan oleh reformasi 1998. Demokrasi yang saat ini berjalan beserta pembangunan infrastruktur juga merupakan pencapaian yang perlu diapresiasi. Namun, masih banyak masalah dalam tata kelola yang dinilai menguntungkan oligarki.
”Semakin kredibel pemimpin, semakin krisis bisa dihindarkan. Reformasi bisa diteruskan dengan jalan damai,” kata Sudirman Said dari Institut Harkat Negeri (IHN) saat membuka Diskusi Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi: Reformasi dan Jalan Keluar Krisis yang diadakan IHN bekerja sama dengan Bimasena Society, Sabtu (21/5/2022).
Sudirman mengatakan, perlu ada mekanisme dan jalur koreksi apabila ada gerak langkah negara yang tidak sesuai dengan tujuannya. ”Apakah hak dasar bangsa untuk koreksi telah sepenuhnya dilindungi,” kata Sudirman Said.
Ginandjar Kartasasmita, yang hadir sebagai sebagai pembicara kunci, mengatakan, banyak pencapaian telah dicapai oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia menyebutkan, pertumbuhan ekonomi 5 persen, kemiskinan menurun, sementara pembangunan infrastruktur luar biasa. Ia juga mengapresiasi penanganan pandemi Covid-19 dan banyaknya penduduk yang masuk kategori kelas menengah.
Namun, Ginandjar mengatakan, ada beberapa masalah yang harus diselesaikan. Ia menggarisbawahi, terbentuk orang-orang yang lebih menikmati reformasi daripada pihak yang lain secara tidak proporsional. Biaya demokrasi jadi terlalu besar. ”Terbentuk oligarki dan dikotomi yang sangat nyata,” kata Ginandjar.
Ginandjar mengatakan, masalah utama bukan lengkap tidaknya demokrasi. Masalahnya adalah di tata kelola yang lemah. ”Perubahan dari korupsi birokrasi jadi korupsi parpol,” kata Ginandjar.
Infrastruktur sosial budaya
Hadir sebagai pembicara diskusi tersebut, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra; mantan Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini; anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini; dan Presiden Komisaris PT Krakatau Steel Silmy Karim. Selain itu, juga hadir pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti; ekonom Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati; aktivis 1998 yang juga politisi Gerindra, Ferry Juliantono; dan pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia, Anton Supit.
Azyumardi Azra mengatakan, ia mengapresiasi banyak infrastruktur yang telah dibangun. Namun, ia mengkritik tidak dibangunnya infrastruktur sosial budaya. ”Kita perlu reformasi jilid dua yang damai, bukan yang berdarah-darah seperti 1998,” kata Azyumardi.
Ia menyoroti politik yang membutuhkan reformasi luar biasa. Ia mengutip berbagai penelitian yang menyebutkan terjadi penurunan demokrasi belakangan ini, di antaranya desentralisasi ketika banyak pejabat pemimpin daerah yang saat ini ditunjuk oleh pusat.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Azyumardi Azra
Helmy Faishal Zaini menyoroti data yang menyebutkan, 1 persen orang kaya menguasai 50 persen aset nasional. Hal ini menjadi bukti bahwa pembangunan ekonomi saat ini tidak menuju pemerataan, tetapi melahirkan ketimpangan.
Sementara itu, Ferry Juliantono juga menyoroti banyak petani yang kian kehilangan tanahnya. Koperasi yang mengakomodasi masyarakat justru dianaktirikan dibandingkan swasta dan BUMN. ”Program-program yang ada sekarang, seperti IKN (Ibu Kota Negara) dan kereta cepat Jakarta-Bandung, didikte oleh oligarki, bukan dari awal ada di program Nawacita,” kata Ferry.