Suap Status WTP Picu Ketidakpercayaan pada Mekanisme Audit Keuangan Daerah
Audit keuangan daerah oleh BPK awalnya dimaksudkan untuk menjamin akuntabilitas keuangan daerah yang lebih baik. “Namun, justru ini diperjualbelikan, dan jadi celah korupsi,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus suap yang melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin dalam perolehan status keuangan daerah wajar tanpa pengecualian atau WTP bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap mekanisme audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan kegagalan sistem audit keuangan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh BPK.
Untuk mengatasi hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat mendorong dibuat mekanisme pengimbang untuk memvalidasi hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Sebab, kasus suap untuk memperoleh status WTP bukan pertama kalinya terjadi. Sebelumnya, pada 2018, auditor BPK juga terlibat dalam suap status WTP di Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, berulangnya kejadian suap terhadap auditor BPK menunjukkan perolehan status WTP itu dapat diperjualbelikan. Fenomena ini juga sangat disayangkan. Sebab, audit oleh BPK pada keuangan daerah pada awalnya dimaksudkan untuk menjamin akuntabilitas keuangan daerah yang lebih baik.
”Namun, pada kenyataannya, justru ini diperjualbelikan dan menjadi celah korupsi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (28/4/2022).
Situasi ini, menurut Saan, tidak baik bagi upaya dan semangat perbaikan tata kelola pemerintahan daerah. Dengan kejadian ini, orang meragukan validitas hasil pemeriksaan auditor BPK. Status WTP yang pada kenyataannya dapat diperjualbelikan dan menjadi barang ”dagangan”, mengacaukan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas keuangan pemerintahan daerah.
”Itu kan yang terjadi, yakni menjadi barang dagangan oleh auditor BPK. Ini penting bagi BPK untuk mengevaluasi dirinya. Kalau auditor BPK memiliki standar maksimal dan integritas terkait kerja auditnya, tentu ini tidak akan terulang,” kata Saan.
Selain evaluasi menyeluruh pada BPK, Kementerian Dalam Negeri dinilai perlu untuk membentuk tim khusus yang sifatnya internal untuk memvalidasi hasil pemeriksaan BPK. Selain itu, peran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga harus dioptimalkan.
”Kemendagri harus punya semacam second opinion terkait dengan WTP itu. Jadi tidak serta-merta ketika suatu daerah mendapat WTP, maka Kemendagri berpikir ini pemda sudah berjalan lancar. Penting ada validasi internal melalui tim khusus yang dibentuk Kemendagri untuk memastikan hasil audit tersebut,” kata Saan.
Anggota Komisi II dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan, mekanisme audit oleh BPK sebenarnya sudah merupakan upaya yang baik untuk menjamin akuntabilitas keuangan daerah. Sayangnya, ketika hal itu disalahgunakan oleh auditor BPK atau kepala daerah yang mengejar status WTP, terjadilah transaksi jual beli.
”Yang harus disadari, status WTP itu bukan berarti bebas korupsi. Itu sebenarnya hanya soal mekanisme administrasi,” kata Zukfikar.
Auditor BPK dan kepala daerah harus menyadari kalaupun audit dilakukan dengan sungguh-sungguh, hasil apa pun harus diterima. ”Kalau memang hasilnya tidak baik, ya harus diterima dan itu dijadikan mekanisme perbaikan selanjutnya. Kalau hasilnya tidak ditampilkan apa adanya, kita tidak akan pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah itu sehingga tidak ada perbaikan dalam pengelolaannya,” ujarnya.
Hal itu justru tidak sesuai dengan tujuan awal audit keuangan daerah dilakukan oleh BPK, yakni memonitor dan memastikan tidak ada celah administrasi dalam pengelolaan keuangan daerah yang berpotensi menimbulkan korupsi. Sebaliknya, dengan menutupi hasil audit sebenarnya, baik auditor BPK maupun kepala daerah membiarkan celah itu terjadi.
Zulfikar mengatakan, problem sesungguhnya dari persolan ini adalah mental dan integritas. ”Ke depannya, BPK harus memastikan rekrutmen auditor itu benar-benar orang yang berintegritas. Kalau dilihat gaji dan tunjangan kinerja mereka kansebetulnya sudah baik jika dibandingkan dengan pegawai lainnya. Tetapi kenapa mereka masih begitu. Ini kan ada problem mental di sana,” ujarnya.
Sebelumnya dalam keterangan pers di Gedung KPK Kamis dini hari, Ketua BPK Isma Yatun mengatakan, kejadian ini menjadi pukulan berat sekaligus peringatan keras bagi BPK. Dia menyadari langkah untuk memerangi korupsi dan segala bentuknya membutuhkan ketangguhan dan dukungan dari semua pihak.
”Kami sudah menonaktifkan Kepala Perwakilan BPK Provinsi Jabar dan beberapa staf yang menjadi tim pemeriksa untuk kasus ini. Ini untuk menegakkan nilai-nilai dasar BPK, yaitu integritas, independensi, dan profesionalisme, dalam setiap pelaksanaan tugas BPK,” tegas Isma Yatun.
Siapkan pengganti
Dihubungi terpisah, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga koordinator wilayah pemenangan pemilu Jawa Barat, Syaifullah Tamliha, mengatakan, partainya akan segera merapatkan situasi terakhir usai penangkapan Ade Yasin. Partainya kini tengah menyiapkan pengganti Ade Yasin selaku Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP Jabar.
”Kami kan partai yang sudah melembaga sehingga sudah ada mekanismenya. Ketika satu jatuh, maka akan ada penggantinya. Nanti akan diputuskan di dalam rapat. Dalam waktu dekat akan segera diputuskan siapa pengganti ketua DPW Jabar,” katanya.
Wakil Ketua Komisi V DPR itu juga memberikan catatan, kasus yang menimpa Ade Yasin ini menjadi bukti adanya celah ”jual-beli” status WTP. Bagi kepala daerah, status WTP adalah kebanggaan atau prestise yang sangat dikejar-kejar. Padahal, status WTP itu hanya menunjukkan situasi administrasi keuangan suatu daerah.
”Ketika ada kekurangan, ya itu yang harus diperbaiki di tahun berikutnya. Tidak perlu menyalahgunakan kewenangannya. Jangan sampai status WTP ini justru untuk menutupi celah korupsi,” kata Tamliha.