Jangan Hanya Cari Kambing Hitam dalam Sengkarut Minyak Goreng
Persoalan minyak goreng masih menjadi masalah di Tanah Air meski berbagai kebijakan telah dibuat untuk mengatasinya. Mampukah permainan minyak goreng ini dibongkar tuntas? Siapa saja yang bermain di dalamnya?
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi di depan Komisi VI DPR, Kamis (17/3/2022), menyatakan temuan dugaan adanya mafia minyak goreng. Dia pun mengatakan telah menyerahkan data ke kepolisian, termasuk sudah ada calon tersangka. ”Jadi, Pak Ketua, saya baru dikasih tahu oleh Pak Dirjen Perdagangan Luar Negeri, hari Senin sudah ada calon TSK-nya (tersangkanya),” ujar Lutfi saat itu.
Namun, calon tersangka itu tak kunjung diumumkan. Berselang sekitar sebulan, muncul kabar dari Kejaksaan Agung terkait penetapan empat tersangka dalam dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya. Mereka adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA, dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Picare Togare Sitanggang.
”Jaksa penyidik telah menetapkan tersangka, dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan tersangka adalah, satu, adanya permufakatan antara pemohon dengan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor. Kedua, dikeluarkannya persetujuan ekspor kepada eksportir yang seharusnya ditolak,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Selasa (19/4/2022).
Baca juga: Presiden: Usut Tuntas Dugaan Korupsi Izin Ekspor Minyak Sawit Mentah
Sehari berikutnya, saat memberikan keterangan pers di Pasar Bangkal Baru, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Rabu (20/4/2022), Presiden Joko Widodo menuturkan bahwa sampai sekarang masalah minyak goreng masih menjadi masalah meski masyarakat sudah diberi subsidi bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng.
Ada keinginan harga minyak goreng lebih mendekati normal. Produsen cenderung ingin mengekspor karena harga CPO di pasar internasional sangat tinggi. Pemerintah pun telah mengeluarkan kebijakan, semisal penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak curah dan subsidi ke produsen. Namun, kebijakan yang sudah berjalan beberapa minggu ini dinilai belum efektif.
”Di pasar saya lihat minyak curah banyak yang belum sesuai dengan HET yang kita tetapkan. Artinya, memang ada permainan. Oleh sebab itu, kemarin dari Kejaksaan Agung sudah menetapkan empat tersangka urusan minyak goreng ini. Dan, saya minta diusut tuntas sehingga kita bisa tahu siapa ini yang bermain,” ujar Presiden Jokowi.
Di pasar saya lihat minyak curah banyak yang belum sesuai dengan HET yang kita tetapkan. Artinya, memang ada permainan. Oleh sebab itu, kemarin dari Kejaksaan Agung sudah menetapkan empat tersangka urusan minyak goreng ini. Dan, saya minta diusut tuntas sehingga kita bisa tahu siapa ini yang bermain.
Pertanyaannya, mampukah permainan minyak goreng dibongkar tuntas? Siapakah sebenarnya mafia minyak goreng itu? Dan, apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi persoalan minyak goreng ini? Hal-hal tersebut dibahas dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Inikah Mafia Minyak Goreng?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (20/4/2022) malam.
”Harapan kami bahwa mafia ini perlu diungkap tuntas. Betul ada (atau) tidak mafia ini? Terus kemudian, ketika (misalnya) tidak ada, (lalu) apa yang menjadi penyebab kelangkaan di lapangan selama ini? (Hal) Ini perlu dijawab sebagai bagian upaya kita ke depan untuk jadi pembelajaran terhadap pola-pola pengambilan kebijakan,” kata anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, Mufti Anam, secara daring pada diskusi tersebut.
Baca juga: Penyidikan Kasus Izin Ekspor CPO Diperluas ke Perusahaan Lain
Pada diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo tersebut hadir langsung di studio narasumber lainnya, yakni ekonom Faisal Basri dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani. Selain itu, hadir pula secara daring Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono.
”Saya pikir yang ditangkap ini masih kelas teri, di mata saya. Kalau kita lihat, dari sisi produsen, hanya seorang komisaris, hanya seorang general affair, begitu. (Dari sisi pemerintah) Hanya seorang dirjen, yang kita tahu dirjen tidak akan melakukan kebijakan ini itu kecuali atas atensi dari pimpinan tertingginya, apalagi dalam situasi pelik kelangkaan minyak goreng,” kata Mufti Anam.
Ketika ditanya apakah artinya mereka dikorbankan, jadi pion, atau memang ada sesuatu yang lebih besar dari itu, Mufti Anam menjawab kalau dirinya melihat poin yang terakhir. Dirinya berharap dan masih sangat yakin serta percaya terhadap kinerja Kejaksaan Agung. Kinerja penegak hukum pun diapresiasinya.
”Tapi, harapan kita tidak berhenti di situ karena kita tahu bersama dalam sebuah perusahaan tidak mungkin orang sekelas mereka ini mampu mengambil kebijakan dan bernegosiasi dengan regulator tanpa adanya izin dari pemilik perusahaan tersebut. Maka, harapan kami, kami mendorong bagaimana Kejaksaan Agung untuk juga mengaudit, menginvestigasi secara detail terhadap pemilik dari perusahaan-perusahaan besar ini, yang tentu kita lihat ini cukup merugikan rakyat jika itu betul terjadi,” kata Mufti.
Terkait sisi pemerintah, dia menuturkan, situasi pelik ketika di mana-mana terjadi kelangkaan minyak goreng dan harga minyak goreng curah juga tidak berjalan sesuai HET yang ditetapkan, perlu atensi dari Kemendag. ”Sehingga kesimpulannya bahwa dalam setiap kebijakan yang diambil oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri pasti dimonitor oleh seorang menteri. Apalagi ini urusan ekspor. Bayangkan ketika di dalam negeri ada kelangkaan,” ujar Mufti.
Baca juga: Mafia Minyak Goreng, antara Ada dan Tiada
Faisal Basri berpendapat kasus izin ekspor CPO dan turunannya ini bukan kasus mafia seperti yang dibayangkan orang. CPO dan turunannya adalah produk yang dapat diekspor, tetapi harus ada izin ekspor. ”Kesan saya dari statement (Jaksa Agung) tadi, izin ekspor ini ada yang kongkalikong, ditransaksikan. Tapi, kita tidak tahu (apakah), misalnya, izin ekspornya dapat 10 ton, (padahal) harusnya 5 ton. Mungkin itu ada sogok-sogok. Jadi, kasusnya korupsi biasa,” katanya.
Problem dua harga
Menurut Faisal, sebetulnya ada banyak sekali celah yang bisa terjadi karena akar masalah minyak goreng tidak diselesaikan. Intinya, minyak goreng langka karena pasokan CPO tersendat. ”Kenapa? Karena kalau CPO saya jual ke pabrik minyak goreng, harganya lebih rendah daripada kalau saya jual ke pabrik biodiesel. Karena kalau jual ke pabrik biodiesel harganya saya dapat harga ekspor, jadi lebih tinggi. Jadi, sumber masalahnya adalah ada dua harga CPO; yang membuat langkanya minyak goreng,” ujarnya.
Proses pengambilan keputusan atau kebijakan pun dinilainya dilandasi kesalahan diagnosis. Ada pandangan harga minyak goreng tinggi karena CPO diekspor. ”Padahal, ekspor turun dari 30 sekian juta ton menjadi 29 juta ton. Jadi, tidak (benar) kelangkaan karena diekspor. Itu satu. Kemudian, di dalam negeri cukup CPO-nya. Meningkat penggunaan CPO di dalam negeri, tapi, bagi-bagi CPO-nya berubah drastis dari tadinya tidak ada untuk biodiesel sekarang ada untuk biodiesel sehingga pengadaan untuk minyak gorengnya terbatas,” kata Faisal.
Baca juga: Audit Distribusi Minyak Goreng Hasil DMO CPO, Revisi Regulasi Penimbunan
Pemerintah pun kemudian membuat kebijakan DMO-DPO (domestic market obligation/domestic price obligation atau kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik/kewajiban harga domestik). Hal yang menjadi pertanyaan ketika pengusaha yang ongkos produksinya Rp 20.000 disuruh menjual produknya dengan Rp 14.000.
”Logikanya, kan, ada subsidi di APBN-nya. Tidak ada subsidi di APBN. Mana ada pengusaha mau jual rugi? Nah, inilah, jadi kacau. Pemerintah membuat aturan, tapi tidak konsisten untuk menerapkan itu. Muncullah oleh karena itu, mencari celah kan pengusaha ini, (mereka) cari celah, cari apa segala macam, yang dalam praktiknya itu ada gesekan atau hubungan, kongkalikong, dengan pengambil keputusan,” kata Faisal.
Ketika ditanya apakah konstruksi hukum pelanggaran terhadap empat orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka cukup kuat, Faisal menuturkan ada beban dalam pembuktiannya. ”Saya akan optimistis kalau ada tangkap tangan. Ini kelihatannya, kan, tidak ada tangkap tangan. Jadi, lebih berat untuk membuktikannya. Kalau boleh saya komentar, yang dikatakan Pak Lutfi (soal mafia) tadi itu case-nya penimbunan, udah ditemukan siapa penimbunnya, berton-ton. Kalau kasus (yang diungkap Kejaksaan Agung) ini, kan, izin ekspor. Memang agak berbeda,” katanya.
Sementara itu, Hariyadi Sukamdani menuturkan hal yang dimasalahkan sekarang seolah-olah ada perusahaan yang belum melaksanakan DMO, tapi mendapat izin ekspor. Saat ini proses masih berlangsung dan hal yang mesti didalami sekarang adalah menyangkut data. Mereka yang menjadi tersangka pasti mempunyai bukti yang nanti akan dibuka semua di pengadilan.
”Jangan sampai saja, saya khawatir, nanti ternyata memang move ini ’asal ada korban’ atau ’(asal) ada kambing hitam’ karena telanjur dibicarakan ini (ada) mafia segala macam. Karena menurut saya, dari perspektif obyektif, kebijakan DMO dan DPO itu, kan, jelas jadi bermasalah. Dan, karena bermasalah, maka kemarin dibatalkan. Nah, jadi sebetulnya dari awal memang sudah salah juga ini (kebijakannya). Karena sudah jelas-jelas, secara dunia terjadi kelangkaan dari minyak nabati, pasti harga itu akan naik,” kata Hariyadi.
Serampangan
Hariyadi menilai kebijakan DMO/DPO yang diambil pemerintah serampangan ketika dipikir akan mampu mengendalikan persoalan minyak goreng. Akibat kebijakan tersebut, perusahaan di dalam negeri yang tidak mengekspor produknya menjadi tidak mau jualan ketika pasti rugi saat menjualnya di pasar dalam negeri.
”Kalau (perusahaan) yang ekspor, kan, (bisa) cross subsidi. Hasil ekspornya bisa cross subsidi dengan pabrik minyak goreng dalam negerinya. (Tapi perusahaan yang tidak ekspor) Ini kan enggak bisa. Akhirnya semua stuck, enggak mau lepas barangnya ke pasar. Setelah dibatalkan DMO-DPO-nya baru jalan. Kan, perkara masalahnya di sini,” ujar Hariyadi.
Hariyadi menilai tepat pernyataan Presiden Jokowi agar urusan minyak goreng diusut tuntas karena dapat membuat hal ini jadi terang benderang, entah apakah nantinya itu dapat menemukan mafianya atau dapat melihat letak permasalahan secara lebih jernih. ”Apakah regulasinya yang kurang pas atau ada mekanisme pasar yang juga tidak bisa dikendalikan karena mengikuti harga pasar. Saya rasa nanti akan terlihat di sana,” kata Hariyadi.
Edy Priyono menuturkan hal penting adalah proses terus berjalan. ”Sekarang ada indikasi pelanggaran, ya, ditangani. Kalau tidak ada bukti, ya, tidak usah diteruskan. Kalau ada bukti, ya, ditangani. Enggak usahdiada-adain dan ditutup-tutupi,” katanya.
Baca juga: Kongkalikong Pejabat Kemendag dan Tiga Petinggi Perusahaan CPO Terkuak
Berkenaan dengan kemungkinan bahwa publik dapat membaca macam-macam terkait peristiwa ketika Mendag menyatakan sudah melaporkan data kepada polisi, tetapi kemudian justru Kejaksaan Agung yang mengumumkan empat tersangka, Edy menuturkan bahwa belum tentu dua peristiwa itu berkaitan. Belum ada kejelasan terkait hal ini. ”Maka, arahan dari Presiden (Jokowi) usut tuntas supaya kita tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita ikuti saja prosesnya,” katanya.
Edy menegaskan, KSP akan mengawal kebijakan sekarang, yakni HET minyak goreng curah Rp 14.000 per liter, apakah berjalan dengan baik atau tidak. KSP memonitor persoalan tersebut dan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian yang memegang peranan besar dalam hal ini. KSP juga bekerja sama dengan Satgas Pangan Polri dan mendatangi daerah untuk mengawal kebijakan tersebut.
Terkait pandangan bahwa dalam persoalan minyak goreng ini kesalahan justru ada pada kebijakan, Edy mengatakan bahwa pada desain kebijakan sekarang pemerintah ingin supaya ada alternatif buat masyarakat karena harga minyak goreng kemasan dilepas ke harga keekonomian. Pemerintah ingin masyarakat punya alternatif, yaitu dapat membeli minyak goreng curah dengan harga Rp 14.000 per liter atau lebih murah dari harga keekonomian yang mungkin sudah Rp 19.000-Rp 20.000 per liter.
”Nah, supaya produsen tidak rugi karena ’dipaksa’ menjual dengan harga Rp 14.000 maka diberikan subsidi. Dananya diambil dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Ini berjalan dengan baik atau tidak? Ini yang kita monitor,” kata Edy.
Baca juga: Ketentuan DMO CPO Dicabut, Pungutan Ekspor Dinaikkan
Edy menuturkan, kebijakan DMO dan DPO sudah dihapus. Kemudian, HET yang tadinya semua untuk minyak goreng, sekarang hanya diterapkan untuk minyak curah. KSP mengawal dan mengevaluasi kebijakan tersebut. Koreksi pun akan dilakukan ketika dipandang perlu.
”Seperti disampaikan Presiden, Presiden tahu juga ini belum berjalan seperti diharapkan. Kadang migor langka di pasar tradisional, kadang ada barangnya tapi harganya bukan seperti ditetapkan pemerintah yakni Rp 14.000. Kita evaluasi dan kalau memang perlu dikoreksi, ya, dikoreksi,” kata Edy.