Audit Distribusi Minyak Goreng Hasil DMO CPO, Revisi Regulasi Penimbunan
Komisi VI DPR meminta Kemendag mengaudit distribusi minyak goreng hasil kebijakan DMO. Selain itu, Komisi VI juga meminta regulasi tentang penimbunan direvisi karena sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan diminta mengaudit distribusi minyak goreng hasil kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik atau DMO minyak kelapa sawit mentah dan olein. Audit itu perlu guna mengetahui ketertelusuran dan pembuktian realisasinya secara konkret, bukan hanya berdasarkan dokumen.
Selain itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta mengusulkan revisi Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Hal ini penting lantaran periode penyimpanan di luar batas kewajaran yang ditentukan selama tiga bulan dari kebutuhan pasar sudah tidak relevan.
Poin-poin itu menjadi kesimpulan dalam rapat dengar pendapat Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan tiga direktur jenderal di Kemendag yang digelar secara hibrida, Rabu (30/3/2022). Rapat itu berlangsung selama 2 jam 30 menit, mulai pukul 16.00 hingga 18.30.
Anggota Komisi VI DPR, Andre Rosiade, mengatakan, Kemendag perlu melakukan audit investigasi terkait dengan harga pokok produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan minyak goreng. Hal ini penting untuk mengetahui selisih harga tersebut dengan harga jual yang terbentuk di pasar.
Audit investigasi juga diperlukan terhadap kebijakan DMO CPO dan olein untuk mengetahui secara riil manfaat kebijakan itu. Kemendag pernah melaporkan hasil DMO CPO dan olein berlimpah, begitu juga dengan hasil distribusinya.
”Namun ke mana larinya minyak goreng hasil kebijakan DMO itu? Katanya distribusi berlimpah, tapi di pasar justru langka. Menjelang sehari hingga dua hari kebijakan DMO dicabut dan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana dan premium dilepas ke mekanisme pasar, mendadak minyak goreng itu bermunculan ke pasar,” ujarnya.
Ke mana larinya minyak goreng hasil kebijakan DMO itu? Katanya distribusi berlimpah, tapi di pasar justru langka?
Andre berharap, Kemendag melakukan ketiga audit investigasi itu bersama dengan Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Pada 17 Februari 2022, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan, kebijakan DMO sebenarnya sudah berjalan baik karena sudah terkumpul 720.612 ton CPO dan olein. Dari jumlah itu, 76,4 persen atau 551.069 ton CPO dan olein atau setara 570 juta liter minyak goreng sudah didistribusikan (Kompas, 17/8/2022).
Anggota Komisi VI lain, Darmadi Durinato, juga berpendapat serupa. Ia menilai, saat kebijakan DMO dan HET ketiga jenis minyak goreng diterapkan, persoalan minyak goreng curah mulai terurai dan harganya relatif turun.
”Yang belum terurai sampai saat ini adalah hilangnya minyak goreng kemasan ketika kebijakan DMO itu digulirkan. Ke mana hilangnya minyak goreng itu perlu ditelusuri. Dugaan macetnya penyaluran minyak goreng di jaringan rantai distributor juga belum terdeteksi,” katanya.
Yang belum terurai sampai saat ini adalah hilangnya minyak goreng kemasan ketika kebijakan DMO itu digulirkan. Ke mana hilangnya minyak goreng itu perlu ditelusuri.
Revisi ketentuan penyimpanan
Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohammad Hekal menambahkan, pembuktian realisasi kebijakan DMO itu tidak cukup hanya sebatas dokumen. Kemendag harus memastikan dan membuktikan realisasi fisik minyak goreng hasil DMO tersebut.
Hekal juga menyinggung tentang sulitnya membuktikan kasus dugaan penimbunan bahan pangan pokok dan penting, termasuk minyak goreng. Hal ini terjadi lantaran aturan dalam jumlah dan waktu tertentu, yaitu tiga bulan dari kebutuhan pasar, sudah tidak relevan.
”Ini membuat Kemendag dan penegak hukum kesulitan membuktikan dugaan penimbunan minyak goreng. Kami berharap agar Kemendag mengusulkan revisi regulasi tersebut,” ujarnya.
Kasus dugaan penimbunan bahan pangan pokok dan penting, termasuk minyak goreng, sulit dibuktikan lantaran aturan penimbunan dalam jumlah dan waktu tertentu, yaitu tiga bulan dari kebutuhan pasar, sudah tidak relevan.
Regulasi tentang penimbunan itu diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Disebutkan, dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau penting dilarang disimpan di gudang dalam di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau kebutuhan pasar paling lama tiga bulan.
Pada 2016, Kemendag yang saat ini dipimpin oleh Thomas Lembong pernah mengusulkan revisi ketentuan periode penimbunan. Penyimpanan di luar batas kewajaran yang semula ditentukan tiga bulan akan diperpendek menjadi 1,5 bulan. Namun hingga kini, revisi itu belum terealisasi.
Dalam kesempatan itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan sepakat dengan masukan dan usulan Komisi VI tersebut. Ia juga menyebutkan, prioritas pemerintah saat ini adalah menjamin ketersediaan minyak goreng curah dengan harga terjangkau.
Kemendag akan bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Satuan Tugas Pangan untuk menstabilkan stok dan harga minyak goreng itu. Tugas Kementerian Perindustrian adalah memastikan produksi minyak goreng curah bersubsidi berjalan baik melalui pengawasan terhadap produsen.
”Kepastian produksi minyak goreng curah itu sangat krusial dan perlu dikawal. Harga minyak goreng kemasan sudah dilepas ke mekanisme pasar, bisa saja mereka beralih memproduksi minyak goreng kemasan itu,” katanya.
Sementara Kemendag, lanjut Oke, akan membantu pengawasan distribusinya agar lancar dan tidak disalahgunakan. Pengawasan tersebut juga akan melibatkan Satgas Pangan.