Dari Guru Honorer, Sopir Angkot, hingga Pedagang Coba Peruntungan di MK
Mahkamah Konstitusi kini jauh dari kesan keramat, terbatas bagi pengacara dan begawan hukum. Rakyat dari berbagai profesi datang ke lembaga ini menguji berbagai produk perundang-undangan yang dinilai merugikan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
Mahkamah Konstitusi kini bukan lagi tempat yang demikian sakral, yang hanya ”disambangi” oleh para elite yang memiliki kepentingan atas kebijakan tertentu. MK kini terasa lebih dekat dengan masyarakat kebanyakan, menyusul kian banyaknya warga negara secara perorangan bolak-balik menguji sebuah produk perundang-undangan. MK bukan lagi ajang bagi para pengacara kondang atau para begawan hukum menjelaskan argumentasi yuridis, filosofis, ataupun sosiologis sebuah penerapan ketentuan.
Hal tersebut setidaknya terlihat dari beragamnya latar belakang profesi dan sosial para pemohon uji formal dan materiil undang-undang (judicial review) ke MK. Ada guru, pegawai negeri sipil, pensiunan, pedagang, sopir angkot, dan lainnya yang terkadang nekat maju tanpa didampingi pengacara. Mereka bersidang sembari ”belajar” beracara di MK.
Salah satu pemohon, Herifuddin Daulay, misalnya, mengaku telah tiga kali beracara di MK. Heri yang sehari-hari bekerja sebagai guru honorer di Dumai, Riau, saat ini tengah mengajukan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dengan perkara nomor 40/PUU-XX/2022. Sebelumnya, ia mempersoalkan konstitusionalitas UU MK dan UU Pemilu.
Dia punya alasan tersendiri mengapa ”gemar” mengajukan perkara PUU ke MK. Meski saat ini berprofesi sebagai guru, Herifuddin berpikiran untuk berkecimpung di dunia hukum sebagai advokat. Apalagi sejak kecil ia mengaku sudah terbiasa berargumen dalam kaidah hukum.
”Kenyataan bahwa, oleh mudahnya, transparannya, dan konektivitas yang baik oleh Panitera di lingkungan Mahkamah Konstitusi, dan izin yang luas oleh majelis hakim serta kebijaksanaannya yang kuat saat bersidang, maka saya melihat MK adalah tempat yang mudah dan murah untuk memulainya,” ujar Herifuddin yang bercita-cita menjadi advokat ini saat dihubungi Rabu (6/4/2022).
Tahun 2022 boleh dibilang musim semi pengujian undang-undang. Hingga awal April ini, terdapat 52 permohonan pengujian undang-undang yang sudah diregister oleh MK. Bandingkan dengan tahun 2021, MK menerima permohonan pengujian UU sebanyak 71 perkara. Dengan demikian, menginjak bulan ke-4 di tahun ini, jumlah perkara yang diregistrasi sudah lebih dari separuh jumlah perkara tahun lalu.
Beda lagi dengan Mulak Sihotang yang juga saat ini menguji formil UU IKN. Dalam berkas permohonan yang diregister MK dengan nomor perkara 47/PUU-XX/2022, ia mencantumkan profesinya sebagai seorang sopir angkot. Hingga kini, perkara tersebut belum disidangkan.
Ada lagi Sugeng, warga Cileduk, Kota Tangerang, Banten yang mempersoalkan UU IKN secara formil dan materiil hanya dalam empat lembar permohonan yang diregisterasi sebagai perkara nomor 39/PUU-XX/2022.
Dalam permohonannya, Mulak mempersoalkan tentang pembentukan UU IKN yang dinilainya tak berdasarkan kajian ilmiah akademik yang profesional serta independen. Ia pun mempermasalahkan lokasi pemilihan IKN baru yang seharusnya bisa mengakomodasi semua kepentingan mayoritas masyarakat, terutama masyarakat di bagian barat Indonesia. Pemilihan lokasi IKN membuat masyarakat secara psikologis mengalami keresahan dan juga menimbulkan pro-kontra.
Ada lagi Sugeng, warga Cileduk, Kota Tangerang, Banten yang mempersoalkan UU IKN secara formil dan materiil hanya dalam empat lembar permohonan yang diregisterasi sebagai perkara nomor 39/PUU-XX/2022. Sebagai seorang warga negara, ia mempersoalkan besarnya biaya pemindahan IKN yang mencapai triliunan rupiah di tengah beban negara yang berat. Beban itu di antaranya karena pandemi Covid-19 yang menghabiskan energi dan anggaran negara, serta masih adanya beban utang RI yang mencapai Rp 6.687 triliun.
Masih banyak lagi pemohon perorangan yang tidak didampingi advokat mengajukan uji konstitusionalitas undang-undang. Salah satu yang mendapat perhatian warga adalah Pasal 222 UU No 7/2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Pasal ini diuji hingga belasan kali, dan beberapa diantaranya adalah penguji perorangan, seperti Lius Sungkharisma, Jaya Suprana, dan lainnya.
Wiwik Budi Wasito, Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Indonesia yang juga pengajar Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, mengungkapkan, semakin banyaknya perorangan yang maju ke MK bisa jadi karena saat ini persidangan MK bisa diakses secara daring. Hal itu menjadi salah satu cara untuk menghemat biaya jika dibandingkan harus sidang secara langsung di Jakarta. Bagi masyarakat awam, hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri.
Sejak awal 2021, MK telah menerbitkan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Persidangan Jarak Jauh dan juga PMK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Kedua peraturan tersebut memungkinkan dilakukannya sidang secara luring dan daring. Dalam praktiknya selama masa pandemi Covid-19 ini, MK menyelenggarakan sidang secara hibrida, yaitu para hakim MK di ruang persidangan sedangkan para pemohon atau pihak-pihak yang memberikan keterangan hadir secara daring.
Selain itu, beracara di MK yang tanpa pungutan biaya alias gratis diperkirakan menjadi faktor yang turut menentukan. ”Jadi, kan, nol rupiah biaya permohonan di MK. Itu bisa jadi salah satu faktor yang mungkin menjadikan publik diberi kesempatan leluasa untuk mengajukan segala macam persoalan konstitusional ke MK,” ucap Wiwik.
Selain akses persidangan yang semakin mudah, Wiwik mencatat bahwa kian banyaknya perorangan warga negara yang mengajukan uji materi/formil, bahkan tanpa didampingi oleh pengacara, merupakan buah dari semakin baiknya kesadaran akan hak-hak konstitusional warga. Artinya, masyarakat dapat belajar mandiri, sampai akhirnya mereka ”notice” terhadap keberadaan MK.
”Dengan demikian, MK tidak melulu menjadi perhatian para ahli hukum, atau pengacara, atau orang-orang yang memiliki latar belakang hukum. Tapi siapa pun menjadi lebih aware terhadap keberadaan MK,” ungkap Wiwik.
Kian banyaknya perorangan warga negara yang mengajukan uji materi/formil, bahkan tanpa didampingi oleh pengacara, merupakan buah dari semakin baiknya kesadaran akan hak-hak konstitusional warga.
Ke depan, mantan panitera pengganti di MK tersebut menyarankan agar data permohonan, seperti latar belakang pemohon, alamat tempat tinggal, permohonan tanpa didampingi advokat, menjadi sebuah kesadaran bagi MK untuk membangun strategi pendidikan hak-hak konstitusional warga. MK tak hanya mengajarkan tentang hukum acara MK, tetapi juga mengajari publik untuk makin menyadari hak konstitusionalnya.
”Untuk MK, ini penting untuk mengetahui hal-hal yang belum disasar MK selama ini, dalam rangka membangun budaya sadar berkonstitusi,” kata Wiwik.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang dimintai pandangan secara terpisah mengungkapkan, dalam sistem peradilan dianut prinsip pengadilan atau hakim dilarang menolak perkara yang masuk. Ini sejalan dengan makna ius curia novit (hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan). Ini terlepas dari apakah pemohon berhasil mengonstruksikan permohonannya dengan jelas ataukah tidak.
”Kalau akhir-akhir ini banyak perkara terkait dengan Pemilu, in casu JR (judicial review) Pasal 222 UU No 7/2017, hal tersebut merupakan hak konstitusional pemohon yang tidak boleh dilarang oleh MK. Dalam konteks ini, jika seluruh prosedur terpenuhi dan pemohon diregistrasi maka panel hakim sesuai dengan Pasal 39 UU MK berkewajiban menasihati atau beri saran kepada pemohon agar dapat menyempurnakan atau melengkapi kekurangan permohonan,” ujar Enny.
Namun, Enny tak dapat memberikan jawaban soal maraknya pengujian yang masuk ke MK, termasuk pengujian Pasal 222 UU Pemilu, itu sebagai wujud meningkatnya kesadaran berkonstitusi. Menurut dia, dibutuhkan kajian khusus apakah kedua hal itu berkorelasi ataukah tidak.
”Namun, penting diketahui, MK berusaha maksimal untuk memperluas access to justice sejalan dengan visi MK sebagai peradilan modern dan tepercaya, yang diwujudkan salah satunya dengan kemudahan akses bagi siapa pun. Terlebih bagi pencari keadilan,” ujar Enny.