Kesulitan Hasan Basri (30), pedagang pecel lele, memperoleh minyak goreng sebulan terakhir, membuatnya memberanikan diri untuk membawa persoalan itu ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu pasal di UU Perdagangan digugatnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
Sudah sebulan lebih Hasan Basri (30), pedagang pecel lele di Probolinggo, Jawa Timur, kesulitan memperoleh minyak goreng. Kalaupun ada yang dijual, harganya sudah melonjak dua hingga tiga kali lipat. Padahal, minyak goreng adalah bahan utama untuknya berjualan.
”Biasanya harganya hanya Rp 25.000 per kemasan 2 liter, sekarang menjadi Rp 50.000-Rp 75.000 per kemasan. Ini menambah beban pengeluaran harian usaha pecel lele yang saya rintis sejak tahun 2016,” ujar Hasan, Selasa (29/3/2022).
Tak sebatas itu, sejak minyak goreng langka di pasaran, ia melihat daya beli masyarakat ikut menurun. Jika biasanya omzetnya per hari mencapai Rp 15 juta, sekarang dia hanya bisa mengantongi maksimal Rp 7 juta per hari.
Kesulitan itulah yang kemudian membuat Hasan memberanikan diri mengajukan uji materi atas Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Maret lalu. Batu uji yang digunakan ialah Pasal 27 Ayat (2), 28A, 28C, dan 28D Ayat (1) UUD 1945. Dari sudut pandangnya, kesulitannya memperoleh minyak goreng sebagai imbas dari keberadaan pasal di UU Perdagangan tersebut.
Pasal 29 Ayat (1) UU No 7/2014 mengatur tentang pelaku usaha yang dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Dalam penafsiran dan praktiknya, pelaku usaha saat terjadi kelangkaan dan gejolak harga masih bisa menyimpan minyak goreng dalam jumlah dan waktu tertentu. Seharusnya, tindakan penyimpanan yang dilakukan pelaku usaha dilarang sama sekali.
Kuasa hukum pemohon, Ahmad Irawan, menjelaskan, kelangkaan minyak goreng menjadi situasi yang merugikan pemohon secara konstitusional.
”Minyak goreng sebagai kebutuhan pokok hasil industri menyangkut hajat hidup orang banyak. Apabila pelaku usaha menjadikannya sebagai tempat mencari keuntungan secara berlebihan, akan merugikan orang lain, termasuk pedagang pecel lele,” ucap Ahmad.
Mafia minyak goreng
Tak hanya di MK, persoalan minyak goreng juga dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada Selasa (29/3), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan permohonan praperadilan terhadap Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi.
”Melalui praperadilan ini, pemohon meminta hakim tunggal pemeriksa perkara agar menyatakan tidak sahnya penghentian penyidikan dugaan mafia minyak goreng oleh PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) Kemendag. Pemohon juga meminta Mendag dan jajarannya segera menetapkan tersangka mafia minyak goreng,” tutur Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Praperadilan ini dia ajukan dengan dasar, pada 18 Maret lalu, Lutfi menyampaikan sudah mengantongi nama calon tersangka pelaku penimbunan minyak goreng. Penyidik dalam kasus ini adalah PPNS di bawah Kemendag. Namun, hingga kini, Kemendag belum menyampaikan nama tersangka. MAKI pun menganggap Kemendag telah melakukan penghentian penyidikan yang tidak sah.
Isu minyak goreng yang berujung di meja pengadilan ini setidaknya memperlihatkan masih banyak problem yang belum tuntas meski telah ada kebijakan yang diambil pemerintah guna mengatasi kelangkaan minyak goreng.