Pemohon Uji Formil UU IKN Minta Ketua MK Tak Ikut Tangani Perkara
Permintaan terkait banyaknya pertanyaan yang muncul mengenai independensi Ketua MK dalam menangani perkara uji formil UU IKN. Ini mengingat Ketua MK Anwar Usman akan menjadi saudara ipar Presiden Joko Widodo.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Poros Nasional Kedaulatan Negara atau PNKN meminta Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman untuk tidak turut memeriksa, mengadili, dan memutus perkara uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Hal ini terkait dengan banyaknya pertanyaan yang muncul dan disampaikan kepada pemohon mengenai independensi Ketua MK dalam menangani perkara tersebut mengingat Ketua MK Anwar Usman dalam waktu tidak lama lagi akan menjadi saudara ipar Presiden Joko Widodo.
PNKN akan segera melayangkan surat ke MK untuk menyampaikan permohonan tersebut. ”Kami akan menyurati (MK) dan nanti kalau masuk pada sidang ketiga kita juga akan meminta,” ujar Victor Tandiasas Santoso, kuasa hukum PNKN, saat dihubungi Selasa (5/4/2022).
Seperti diketahui, Anwar Usman telah melamar Idayati, adik kandung dari Presiden Jokowi, awal Maret lalu. Menurut rencana, keduanya akan menikah setelah Lebaran yang perayaannya akan dilakukan pada 26 Mei di Solo dan 28 Mei di Sumbawa.
Sebenarnya, para pemohon hendak menyampaikan persoalan tersebut pada sidang kedua (dengan agenda perbaikan permohonan), Selasa. Namun, sebelum para pemohon sempat menyampaikan aspirasinya, Ketua MK sudah mengetuk palu tiga kali tanda persidangan berakhir.
”Para pemohon mengajukan bukti P1 sampai dengan P43, benar?” tanya Usman.
”Benar, Yang Mulia,” kata Victor.
”Sudah diverifikasi dan dinyatakan sah. (ketuk palu satu kali). Baik untuk kelanjutan perkara ini, nanti majelis panel akan melaporkan hasil persidangan ini ke rapat pleno hakim. Bagaimana hasilnya nanti diberitahukan melalui surat. Sekali lagi tinggal tunggu pemberitahuan dari kepaniteraan. Dengan demikian, sidang ditutup,” kata Anwar sembari mengetukkan palu tiga kali. Hakim pun berdiri.
Sesaat setelah palu diketuk, Viktor pun mengungkapkan, ”Bisa menyampaikan sesuatu Yang Mulia. Yang Mulia….”
Namun, majelis panel yang terdiri dari Anwar Usman (ketua panel), hakim konstitusi Arief Hidayat, dan Manahan MP Sitompul selaku anggota panel, sudah berdiri dan hendak meninggalkan ruang sidang.
Dalam perbaikan permohonan yang disampaikan, PNKN menyampaikan adanya penambahan jumlah pemohon yang semula 12 orang menjadi 24 orang. Adapun sebagai pemohon baru, di antaranya Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto, Letnan Jenderal (Purn) Yayat Sudrajad, Mayor Jenderal (Purn) Prijanto, dan Kol (Purn) Sugeng Waras. Ketiganya menambahkan dua purnawirawan TNI yang sudah turut menjadi pemohon sebelumnya, yaitu Mayjen (Purn) Soenarko MD dan Letjen (Purn) Suharto. Ada pula Mudrich Setiawan M Sangidu, Daniel M Rosyid (Guru Besar ITS Surabaya) dan lainnya, menambahkan yang sudah terdaftar sebelumnya, seperti Abdullah Hehamahua (mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Marwan Batubara.
Terhadap adanya keraguan publik dan permintaan mundur dari sejumlah pihak, Ketua MK Anwar Usman sebenarnya sudah menyampaikan pandangannya saat acara di Fakultas Syariah IAIN Pekalongan, beberapa waktu lalu. Ketika itu, Anwar mengatakan, menikah adalah melaksanakan perintah agama dan hak konstitusional setiap warga yang dijamin oleh UUD 1945.
”Semua warga negara punya hak yang sama termasuk saya. Lalu apakah saya menikah seseorang tertentu, lalu integritas saya sebagai hakim konstitusi atau sebagai Ketua MK akan berubah? Sampai kiamat Anwar Usman tetap taat pada perintah Allah,” ujarnya.
Viktor mengungkapkan, posisi Ketua MK sangat strategis.
Ia mencontohkan, saat MK memutus perpanjangan usia pensiun TNI, hanya delapan hakim yang membuat putusan. Salah satu hakim, yaitu Saldi Isra, disebutnya tak membuat putusan. Dengan kondisi empat menolak dan empat mengabulkan permohonan, suara Ketua MK-lah yang menentukan. Sebab, putusan diambil di mana suara Ketua MK ada.
”Yang ini (UU IKN) kita khawatirkan seperti itu. Nanti di putusan IKN, nah kalau salah satu itu enggak ikut lagi saat RPH, nanti suara akan genap. Nah, kalau genap suara hakim yang tidak ikut itu akan diambil oleh ketua. Kan berarti kita bisa kalah suara,” ujarnya.
Waktu 60 hari
Dalam permohonannya, PNKN juga meminta MK untuk menjatuhkan putusan sela atau putusan provisi. ”Untuk mencegah dampak yang lebih besar, pemohon minta agar MK memerintahkan kepada pemerintah untuk menunda segala tindakan dan kebijakan dan menunda penerbitan segala aturan turunan in casu peraturan pelaksana UU No 3/2022,” ujarnya.
MK memiliki waktu 60 hari untuk memutus perkara pengujian formil. Penghitungan waktu dimulai saat perkara diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Permohonan PNKN didaftarkan pada 2 Februari lalu, kemudian baru diregistrasi pada 23 Februari. Dengan demikian, MK memiliki waktu hingga awal Juni untuk memeriksa dan memutus perkara uji formil UU IKN.
Dalam putusan 79/PUU-XVII/2019, MK juga membuka kemungkinan dijatuhkannya putusan sela dalam perkara pengujian formil. MK memandang perlu untuk menunda pemberlakuan suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian formil atas nama untuk kepastian atau karena suatu kondisi tertentu.
Berkaca pada putusan di atas, menurut Viktor, telah terbentuk praktik ketatanegaraan yang seharusnya diterapkan sebagai bentuk good will dan political will dari pemerintah. Praktik tersebut adalah masa tunggu konstitusionalitas pembentukan undang-undang selama 45 hari untuk melihat apakah UU yang dihasilkan diajukan uji formil ataukah tidak. Jika tak ada pengujian formil, maka undang-undang tersebut dapat dilaksanakan karena dianggap pembentukannya sudah konstitusional.
Namun, apabila ada pengujian formil, masa tunggu tersebut diperpanjang menjadi 60 hari sejak perkara dicatat di BRPK. Lamanya waktu ini sama dengan waktu MK memutus pengujian formil.
”Masa tunggu konstitusionalitas formal suatu undang-undang tersebut menjadi sangat penting selain untuk memberikan kepastian hukum, juga menghindari terjadinya dampak negatif yang lebih besar yang ditimbulkan putusan pengujian formil oleh MK, serta untuk meminimalkan terjadinya pembangkangan terhadap konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah,” kata Viktor.
Ia mencontohkan terjadinya pembangkangan konstitusi akibat tidak ditundanya pelaksanaan UU yang diuji formil di MK, yaitu terkait UU Cipta Kerja. Meski MK menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang strategis dan aturan baru terkait UU Cipta Kerja yang harus diperbaiki dalam waktu dua tahun, pada praktiknya pemerintah tetap melaksanakan proyek strategis dan menerbitkan peraturan pelaksana baru.