DPR Minta Kejaksaan Tingkatkan Pendapatan Negara dari Kasus Korupsi
Target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kejaksaan Agung sebesar Rp 362 miliar pada 2021 dipertanyakan. Sebab, menurut anggota DPR, tahun 2017 saja target PNBP Kejaksaan sudah mencapai triliunan rupiah.
JAKARTA, KOMPAS
—
Sepanjang 2021, Kejagung berhasil meraih penerimaan negara bukan pajak dari kasus korupsi Rp 714 miliar. Namun, Komisi III DPR meminta Kejaksaan Agung untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak dari hasil penyitaan atau perampasan aset serta pengembalian uang negara dalam penanganan kasus korupsi.
Saat menyampaikan paparan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, Rabu (23/3/2022), di Jakarta, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah mengatakan, pihaknya berhasil mendapatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp 714 miliar dari target Rp 362 miliar dari target pada 2021. Pendapatan diperoleh dari sejumlah penanganan kasus korupsi, terutama dari penyitaan aset dan pengembalian kerugian keuangan negara serta dari tindak pidana ekonomi lainnya.
Dalam penjelasannya, Febrie mengungkapkan, ada pergeseran paradigma dalam penanganan kasus korupsi, yakni dari yang semula represif, kini menjadi preventif. ”Bukan seberapa banyak kasus yang ditangani dan pelaku yang dihukum, tetapi jaminan satu wilayah bebas korupsi, dan bagaimana kerugian negara dipulihkan dengan follow the money,” katanya.
Untuk optimalisasi pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi dan tindak pidana ekonomi lainnya, Jampidsus membentuk satuan tugas (satgas) penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. Satgas dibentuk agar penanganan tindak pidana korupsi memiliki dampak besar terhadap perekonomian negara dengan pemulihan keuangan negara melalui PNBP.
Baca juga : Jaksa Agung Perintahkan Ungkap Perkara Korupsi Berkualitas
Lebih jauh, Kejagung juga menyasar pertanggungjawaban pidana bukan hanya kepada perseorangan, melainkan juga korporasi. Tindakan ini diharapkan bisa menimbulkan efek jera sekaligus menghasilkan pendapatan negara melalui pembayaran denda.
Kejaksaan juga akan memperkuat penerapan pasal dengan unsur merugikan keuangan negara. Selain itu, kejaksaan juga akan mengaitkan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tindak pidana asal. Dengan penerapan secara konsisten, selain memberikan efek jera, pasal-pasal itu juga dapat memastikan penyelamatan keuangan negara dan PNBP.
Sekalipun capaian Jampidsus Kejagung di atas target, jumlahnya masih relatif kecil dari potensi PNBP.
”Tujuannya ialah timbul penjeraaan tindak pidana korupsi sehingga tidak lagi melakukan tindak pidana korupsi serta optimalisasi asset recovery (pemulihan aset),” katanya.
Menanggapi paparan itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, sekalipun capaian Jampidsus Kejagung di atas target, jumlahnya masih relatif kecil dari potensi PNBP. ”Pada saat saya dulu duduk di pimpinan Komisi III, 2017, saat itu saja sudah Rp 20 triliun. Kenapa, kok, tiba-tiba sekarang diamputasi sekian ratus miliar. Untuk PNBP ini, saya meminta agar ada audit lebih lanjut,” katanya.
Benny juga mempertanyakan target PNBP Rp 362 miliar yang dinilai terlalu rendah. Target itu pun belum pernah dibahas sebelumnya dengan DPR sehingga belum menjadi kesepakatan bersama.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, mengatakan mendukung orientasi kejaksaan untuk mengembalikan kerugian negara daripada sekadar memenjarakan orang. Dari beberapa informasi yang diperolehnya di lapangan, kerap kali kerugian negara sekitar Rp 15 juta atau Rp 20 juta, tetapi biaya penanganan perkara besar sekali.
”Kami sangat mendukung kejaksaan agar memberikan tuntutan yang tinggi pada kasus-kasus tipikor yang nilainya besar. Mungkin perlu ada kategorisasi agar misalnya kalau kerugian di atas Rp 100 miliar, dapat dituntut hukuman mati atau seumur hidup,” tuturnya.
Baca juga : Refleksi Dua Tahun Kejagung, Mendorong Penindakan Perkara Korupsi ”Big Fish”
Kategorisasi penjatuhan tuntutan itu, menurut Habiburokhman, dapat memberikan efek jera sekaligus menyelamatkan uang negara.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan, roh dalam penanganan kasus korupsi ialah pada pengembalian aset negara. Oleh karena itu, penyitaan dan perampasan aset menjadi penting. ”Selama ini ada kesulitan karena ketika aset disita atau dirampas, nilainya semakin turun karena aset itu tidak dirawat. Hal itu harus menjadi perhatian agar optimalisasi penyelamatan aset negara dapat dilakukan,” ujarnya.
Selain itu, penegak hukum juga harus tetap menjaga keseimbangan antara pencegahan dan penindakan. Penindakan tegas bagaimanapun diperlukan sebagai efek penjeraan kepada tipikor.