Jaksa Agung Perintahkan Ungkap Perkara Korupsi Berkualitas
Jaksa Agung ST Burhanuddin meyakini belum ada daerah yang bersih dari korupsi. Karena itu, tiap-tiap satuan kerja diminta menyelesaikan penanganan satu kasus korupsi hingga akhir tahun 2021.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memerintahkan jajaran kejaksaan di daerah memproses kasus korupsi yang berkualitas, seperti perkara-perkara dengan nilai kerugian yang relatif besar. Setiap satuan kerja yang saat ini tengah melakukan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi juga diminta segera menaikkan status ke tahap penuntutan.
Melalui keterangan tertulis, Jumat (5/11/2021), Jaksa Agung ST Burhanuddin, menjelaskan, penanganan perkana korupsi merupakan salah satu etalase kejaksaan. Oleh karena itu, setiap satuan kerja yang perkara korupsinya masih di tingkat penyidikan diminta segera ditingkatkan ke tahap penuntutan.
”Tolong saudara ingat bahwa tahun lalu saya telah mengevaluasi setiap kepala satuan kerja yang berkinerja kurang maksimal. Sekali lagi saya ingatkan bahwa ini bukan targeting! Tetapi saya yakin belum ada daerah yang bersih dari korupsi, kecuali saudara mampu membuktikan sebaliknya kepada saya,” kata Burhanuddin.
Secara khusus, Jaksa Agung berpesan kasus yang diangkat semestinya adalah korupsi yang berkualitas. Kualitas perkara korupsi bisa dilihat dari status sosial pelaku di masyarakat, nilai kerugian negara dan potensi pengembalian ke kas negara besar, kompleksitas perkara, serta memungkinkan untuk diangkat terkait tindak pidana pencucian uangnya.
Meski demikian, Burhanuddin meminta jajarannya agar lebih mengedepankan kearifan ketika menangani perkara yang disebabkan pengetahuan tata kelola administrasi dan keuangan yang lemah serta tingkat kerugian negara yang relatif kecil. Sementara, masyarakat lebih merasakan dampak pengembalian dibandingkan dengan pemidanaan.
Burhanuddin memberi contoh mengenai kesalahan kebijakan dalam pengelolaan keuangan desa oleh aparat desa karena pengetahuan terhadap aturan yang minim. Namun, kebijakan tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
”Jika kerugian negaranya relatif kecil dan dilakukan karena ketidakpahaman aturan, serta ternyata masyarakat merasakan manfaat dari kebijakan tersebut, maka penanganan perkaranya coba dipertimbangkan baik-baik,” ujar Burhanuddin.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, selama dua tahun sejak Oktober 2019 sampai September 2021, terdapat 2.855 perkara pidana khusus terkait korupsi yang dilakukan penyelidikan. Dari jumlah itu, 96,46 persen atau 2.754 perkara dinaikkan ke tahap penyidikan dan 2.772 kasus di antaranya diajukan ke penuntutan. Dari jumlah tersebut, 1.813 kasus atau 65,40 persennya telah dieksekusi.
Selama dua tahun, uang negara yang diselamatkan berjumlah Rp 35,6 triliun ditambah dengan mata uang asing, yakni 138.816,47 dollar AS, 1.532,30 dollar Singapura, 80 euro, dan 305 poundsterling. Adapun kasus dengan jumlah kerugian keuangan negara yang besar adalah kasus Asuransi Jiwasraya dengan kerugian sebesar Rp 16,8 triliun, kasus Asabri dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 22,78 triliun, dan kasus importasi tekstil pada Direktorat Jenderal Bea Cukai dengan kerugian negara sebesar Rp 1,6 triliun.
”Jaksa Agung mengeluarkan kebijakan, yang pertama adalah mendorong pada penindakan perkara korupsi yang memiliki kerugian yang besar atau big fish,” kata Leonard.
Dosen Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, berpandangan perintah atau arahan Jaksa Agung itu bukan hal yang baru. Namun, dulu penanganan kasus dugaan korupsi tidak diarahkan untuk kasus korupsi yang berkualitas, tetapi asal ada kasus. Selain itu, dulu kasus korupsi yang ditangani adalah kasus kecil, bukan kasus korupsi kakap.
Oleh karena itu, Agustinus mengapresiasi perintah Jaksa Agung tersebut karena dengan itu berarti ada unsur memaksa jajarannya agar mencari kasus korupsi. Namun, jajaran kejaksaan diingatkan agar tidak memaksakan penanganan kasus yang sebenarnya bukan tergolong kasus rasuah menjadi perkara korupsi.
”Harus diingat bahwa tipikor itu tujuannya bukan hanya membawa pelaku ke penjara, melainkan memulihkan kerugian negara. Maka sejak awal penyidik harus diperhitungkan, semisal terkait penyitaan aset agar tidak asal sita, sehingga ketika sudah inkrah, nilai aset masih bernilai,” katanya.
Salah satu indikator kasus korupsi adalah eksekusi putusan. Terkait hal ini, Agustinus mengapresiasi banyaknya perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi dibiarkan selama bertahun-tahun, kini dieksekusi. Sebab, tanpa eksekusi, biaya penegakan hukum yang dikeluarkan negara akan sia-sia.
Demikian pula untuk menjaga agar aset sitaan dalam kasus korupsi tidak turun nilainya, penyidik kejaksaan dapat melelang terlebih dahulu aset tersebut. Dengan demikian, ketika putusannya berkekuatan hukum tetap dan aset tersebut dirampas untuk negara, nilainya tidak turun dan pemulihan kerugian negara bisa maksimal.