Kejaksaan Diminta Selalu Terapkan Pasal Pencucian Uang untuk Kasus Korupsi
Pada 22 Juli 2021, kejaksaan akan memperingati Hari Bhakti Adhyaksa yang ke-61. Kejaksaan sejauh ini mendapat catatan positif dan negatif. Kejaksaan diminta terus menerapkan pasal pencucian uang pada kasus korupsi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memperingati Hari Bhakti Adhyaksa, kejaksaan diharapkan bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan publik dengan memperbaiki integritas dan profesionalitas para jaksa. Secara khusus, kejaksaan diharapkan terus berperan dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Yenti Garnasih, ketika dihubungi, Rabu (21/7/2021), mengatakan, peringatan Hari Bhakti Adhyaksa yang jatuh setiap 22 Juli menjadi momentum bagi kejaksaan untuk berbenah. Pencapaian yang telah diraih harus ditingkatkan, sementara catatan negatif mesti diperbaiki.
Hasil Survei Nasional Kompas pada April 2021 menunjukkan, citra positif kejaksaan berada di angka 74,2 persen. Citra positif tersebut lebih tinggi dibanding dengan pengumpulan pendapat serupa pada 2019 dengan hasil 57 persen. Meski demikian, citra positif kejaksaan masih di bawah lembaga Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Mahkamah Konstitusi.
”Salah satu hal yang positif dari kejaksaan adalah dalam penanganan tindak pidana korupsi atau kejahatan ekonomi sudah menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang. Ini tentu positif jika dibandingkan dengan penegak hukum lain. Selain itu, kejaksaan harus terus menangkap terpidana buron, seperti dilakukan akhir-akhir ini, dan ini harus terus didorong, tidak tebang pilih,” kata Yenti.
Menurut Yenti, penerapan pasal pencucian uang seharusnya telah menjadi paradigma penegak hukum di Indonesia. Sebab, pemidanaan berupa pidana penjara dan denda dinilai tidak memberikan efek jera ataupun mencegah berulangnya kejahatan korupsi. Dalam hal ini, kejaksaan dinilai melangkah lebih maju karena menerapkan pasal pencucian uang dalam beberapa kasus, seperti dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero).
Sepanjang tahun 2020, keuangan negara yang diselamatkan Kejaksaan Agung dan jajarannya di seluruh Indonesia mencapai Rp 19,2 triliun. Keberhasilan itu juga berkontribusi pada penerimaan negara bukan pajak (PNBB) tak kurang dari Rp 346,1 miliar.
Namun, lanjut Yenti, kejaksaan juga memiliki catatan serius untuk memperbaiki integritas jajarannya. Salah satu yang telah menyita perhatian publik adalah kasus yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dinilai mencederai rasa keadilan publik karena kejaksaan hanya menuntut pidana 4 tahun penjara.
”Karena, memang tidak masuk akal ketika dalam dakwaannya ada tindak pidana korupsi dan pencucian uang, tetapi tuntutannya hanya 4 tahun. Padahal, Pinangki sebagai jaksa seharusnya menjadi pemberatan,” kata Yenti.
Yenti berharap pimpinan di Kejaksaan Agung, khususnya bidang pembinaan dan pengawasan, turun dan mengunjungi aparat kejaksaan di daerah untuk memantau kinerja dan membina aparat kejaksaan di daerah. Yenti berharap agar jaksa berkelakuan baik dan berpenampilan berwibawa.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, pengusutan perkara korupsi dengan nilai kerugian negara yang besar, seperti Asuransi Jiwasraya dan Asabri, telah memberikan pandangan positif masyarakat terhadap kejaksaan. Terlebih nilai kerugian keuangan negara dari kasus yang ditangani kejaksaan jauh lebih besar dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam Laporan Kinerja Penindakan Kasus Korupsi 2020, ICW mencatat, kejaksaan menangani 259 kasus korupsi dengan 505 tersangka di seluruh Indonesia. Sebanyak 222 kasus adalah perkara baru. Kejaksaan tercatat paling sering menangani kasus korupsi yang terjadi di badan usaha milik negara (BUMN), yakni 16 kasus dari total 22 kasus yang disidik oleh semua institusi penegak hukum.
Dalam laporan itu, ICW menyimpulkan, penindakan kasus korupsi oleh kejaksaan cukup baik dalam aspek kuantitas. Namun, dalam aspek kualitas dan profesionalisme, penanganan kasus oleh kejaksaan cenderung buruk.
Di luar pencapaian penanganan perkara korupsi, lanjut Kurnia, perkara yang justru menyita perhatian publik adalah tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan Pinangki. Ketika penanganan perkara tersebut memperlihatkan konflik kepentingan kejaksaan dan malah bertentangan dengan upaya bersih-bersih Kejaksaan Agung, kepercayaan publik menjadi runtuh.
”Tidak tampak adanya upaya Jaksa Agung untuk mendukung pemberantasan korupsi di internal Kejagung sendiri,” kata Kurnia.
Kasus tersebut sekaligus menyingkap pekerjaan rumah kejaksaan untuk membina para jaksa serta tidak melindungi kejahatan yang dilakukan anggotanya. Kejaksaan mesti terbuka untuk menyerahkan perkara yang melibatkan jaksa agar ditangani penegak hukum lain.
Menurut Kurnia, pencapaian kejaksaan tidak cukup hanya dengan penanganan perkara-perkara dengan nilai kerugian negara yang fantastis. Kejaksaan diharapkan menuntaskan kasus-kasus tersebut secara transparan, yakni pelaksanaan eksekusi atas vonis yang dijatuhkan dan penyetoran uang pengganti kerugian negara kepada Kementerian Keuangan.
Selain perkara dengan nilai kerugian besar, Kurnia juga berharap kejaksaan juga memprioritaskan penanganan perkara yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil, seperti penyalahgunaan dana bantuan sosial. Sebab, kejaksaan memiliki perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten atau kota.
Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, salah satu catatan positif dari kejaksaan adalah penanganan perkara pidana umum dengan pendekatan keadilan restoratif. Penerapan pendekatan keadilan restoratif selama ini dimonitor Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejagung.
”Karena penyelesaian keadilan restoratif itu penyelesaiannya terukur, cepat, dan tujuan hukum untuk memelihara ketertiban dan menjaga nilai kerukunan dapat berjalan, khususnya kepada kelompok rentan, seperti anak, perempuan, dan masyarakat kecil,” kata Barita.
Barita juga mengapresiasi kejaksaan yang semakin matang dalam menangani perkara yang cukup rumit, seperti Asuransi Jiwasraya dan Asabri. Hal itu dinilai menandakan kemampuan kejaksaan semakin baik untuk mengungkap kejahatan ekonomi. Komisi Kejaksaan berharap kejaksaan terus menuntaskan kasus-kasus yang terkait dengan kejahatan ekonomi dan perpajakan.
Pekerjaan rumah kejaksaan, menurut Barita, adalah penyelesaian perkara peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang mestinya dapat diselesaikan kejaksaan. Penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat harus dilakukan agar Bangsa Indonesia terbebas dari utang masa lalu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, memperingati Hari Bhakti Adhyaksa yang ke-61, jajaran Kejaksaan Agung dan Pengurus Pusat Ikatan Adhyaksa Dharmakarini melaksanakan kegiatan Upacara Ziarah di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Upacara dipimpin Jaksa Agung Muda Intelijen Sunarta dan dihadiri peserta secara terbatas.