Partai politik yang mendukung penundaan amendemen konstitusi terus bertambah. Setelah PDI-P, PPP, dan PKS, giliran Partai Nasdem dan Partai Demokrat mendukung usulan penundaan amendemen konstitusi.
Oleh
IQBAL BASYARI, RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peluang untuk melakukan amendemen konstitusi guna menindaklanjuti kajian tentang pokok-pokok haluan negara kian menipis. Setelah PDI-P, PPP, dan PKS, giliran Partai Nasdem dan Partai Demokrat mendukung usulan penundaan amendemen kelima UUD 1945. Namun, publik mesti tetap waspada karena peta politik masih dinamis.
”Sejak awal Fraksi Partai Demokrat menyatakan bahwa PPHN (Pokok-pokok Haluan Negara) diperlukan oleh bangsa. Namun, payung hukumnya cukup dengan undang-undang seperti yang selama ini dilaksanakan dan berhasil,” kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan, dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Menurut dia, amendemen konstitusi dalam situasi sekarang rentan mengubah sistem ketatanegaraan karena muncul wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden. Oleh sebab itu, PPHN yang kini masih dikaji cukup ditindaklanjuti melalui undang-undang sehingga tak perlu mengubah konstitusi.
Ketua Fraksi Nasdem di MPR Taufik Basari juga menyampaikan bahwa sejak awal periode MPR 2019-2024, Fraksi Nasdem telah mengkritisi gagasan amendemen konstitusi. Fraksi Nasdem berpandangan, harus ada alasan fundamental untuk kembali mengubah konstitusi. Selain itu, amendemen juga mesti didasarkan pada kebutuhan rakyat dan bangsa.
”Saat ini belum terdapat kebutuhan mendesak untuk melakukan amendemen, baik untuk mengakomodasi PPHN, apalagi untuk membuka peluang masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perpanjangan jabatan melalui penundaan pemilu,” tuturnya.
Nasdem menilai, usulan amendemen terkait PPHN masih merupakan gagasan elite dan belum menjadi kebutuhan publik. Meskipun tidak dilarang, amendemen UUD 1945 harus dilakukan secara hati-hati, penuh pertimbangan, dan didasarkan atas kebutuhan fundamental demi kepentingan bangsa.
Saat ini belum terdapat kebutuhan mendesak untuk melakukan amendemen, baik untuk mengakomodasi PPHN, apalagi untuk membuka peluang masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perpanjangan jabatan melalui penundaan pemilu.
Untuk meneropong pandangan masyarakat terkait PPHN dan isu amendemen, lanjut Taufik, Fraksi Nasdem telah melakukan survei bekerja sama dengan lembaga survei Indikator Politik Indonesia pada September 2021 lalu. ”Hasilnya, mayoritas publik, para tokoh yang berpengaruh, tidak setuju amendemen dilakukan saat ini, baik untuk PPHN maupun untuk isu lainnya,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Fraksi Nasdem sejak awal wacana ini bergulir terus mengingatkan bahwa amendemen untuk PPHN akan membuka kotak pandora karena ada kemungkinan dorongan untuk mengubah masa jabatan presiden. Penundaan ini sekaligus untuk mencegah gagasan amendemen konstitusi terkait PPHN tidak meluas dengan memasukkan usulan lain yang dikhawatirkan masyarakat.
”Karena itu, sudah tepat jika Fraksi PDI-P MPR sebagai salah satu pengusung amendemen konstitusi demi memasukkan PPHN memutuskan untuk menunda usulan amendemen. Hal ini sejalan dengan sikap Nasdem yang sejak awal mengusulkan agar usulan amendemen ini dikaji ulang dan tidak dipaksakan untuk dilaksanakan saat ini,” kata Taufik.
Sebelumnya, usulan penundaan rencana amendemen UUD 1945 untuk mengakomodasi kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN disuarakan oleh PDI-P. Usulan itu mendapat respons serupa dari PPP dan PKS. Selain dapat menimbulkan kegaduhan baru, amendemen terbatas UUD 1945 di tengah isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden juga rawan dibajak oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Kajian yang dilakukan Badan Pengkajian MPR tentang haluan negara juga mengerucut pada dua opsi, yakni penetapan PPHN melalui UU atau ketetapan MPR. Pembentukan undang-undang tidak membutuhkan amendemen konstitusi. Begitu pula, ketetapan MPR dimungkinkan tanpa melalui amendemen.
Dengan adanya lima fraksi di MPR yang meminta penundaan amendemen terkait PPHN, kalkulasi politik pendukung penundaan terus berubah. Lima fraksi tersebut memiliki 310 kursi atau 43 persen dari jumlah total 711 kursi di MPR. Dengan demikian, tersisa 401 kursi yang terdiri dari Golkar (85 kursi), Gerindra (78 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (58 kursi), Partai Amanat Nasional (44 kursi), serta Dewan Perwakilan Daerah yang berjumlah 136 orang.
Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, perubahan konstitusi dapat dibahas jika diajukan oleh sekurang-kurangnya satu pertiga atau 237 anggota MPR. Namun, usulan itu baru bisa dibahas dalam Sidang MPR yang dihadiri dua pertiga atau 474 anggota. Dari persyaratan ini, jika semua anggota fraksi yang menginginkan penundaan amendemen saat ini tidak hadir, usulan amendemen tidak dibahas dalam Sidang MPR.
Secara terpisah, peneliti pada Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan, dalam kondisi politik saat ini, ditambah adanya lima fraksi yang menginginkan penundaan amendemen, peluang untuk amendemen sudah tipis. Namun, publik tetap perlu waspada karena dinamika politik parlemen selalu dinamis.
”Dalam isu ini, PDI-P menjadi parpol yang berpengaruh dalam mengubah peta politik parpol dalam menentukan sikap di rencana amendemen konstitusi. Kebijakan PDI-P sebagai pemenang Pemilu 2019 sangat berpengaruh pada partai-partai lain, baik koalisi maupun oposisi,” ujarnya.
Selain faktor PDI-P, lanjutnya, kalkulasi parpol dalam menentukan sikap amat tergantung pada isu dan permasalahan nasional yang berkembang ke depan. Apalagi jika dampak dan rehabilitasi berbagai sikap parpol terus dipolitisasi, kemungkinan parpol pendukung penundaan amendemen bisa bertambah. Sebab, sikap mereka akan diingat pemilih sehingga berdampak pada elektabilitas saat Pemilu 2024.
”Parpol pendukung penundaan amendemen mencerminkan mereka masih berkomitmen pada demokrasi. Apalagi, tanpa PPHN di konstitusi, rencana pembangunan yang diatur dalam UU tetap bisa dijalankan pemerintah,” ujar Wasisto.