Bangsa ini masih didominasi politikus haus kekuasaan yang pikirannya mungkin hanya bagaimana memperpanjang kekuasaan. Daripada energi dihabiskan untuk amendemen, bukankah lebih baik mengurusi minyak goreng.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Demokrasi memang identik dengan keriuhan, termasuk di negeri ini. Isu amendemen UUD kembali memantik keriuhan karena tidak tepat waktu.
Diskursus mengubah konstitusi kembali muncul menyusul pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Seperti dikutip Kompas (15/3/2022), Bambang meminta pembangunan Ibu Kota Nusantara berlanjut setelah Presiden Joko Widodo mengakhiri jabatan 20 Oktober 2024. Untuk memastikannya, MPR tengah menyusun Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang menjamin keberlangsungan pembangunan ibu kota negara. Untuk itu, perlu amendemen terbatas konstitusi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti mendukung ide perubahan konstitusi untuk penguatan peran DPD dan pemulihan hak konstitusional DPD. Gagasan PPHN adalah isu lama. Tuntutan DPD yang ingin menambah kewenangan juga lama disuarakan. Dipasarkan juga isu menunda Pemilu 2024 dan menambah masa jabatan Presiden Jokowi. Partai Solidaritas Indonesia yang tak punya kursi di DPR mengusulkan masa jabatan presiden tiga periode.
Di akar rumput, samar-samar atau terang benderang, aspirasi penundaan pemilu disuarakan tiga partai politik: Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan. Orang dekat Presiden Jokowi, seperti Menteri Investasi Bahlil Lahadalia serta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan, juga menyuarakan aspirasi yang meminta penundaan pemilu 14 Februari 2024.
Dinamika di bawah mengindikasikan ada yang menggerakkan kelompok warga untuk menambah masa jabatan presiden. Dalam politik, tidak pernah ada yang kebetulan. Presiden Jokowi memberikan tanggapan normatif: taat dan hormat pada konstitusi. Usulan mengubah konstitusi dianggap sebagai bagian dari demokrasi.
Penolakan ide amendemen konstitusi muncul di MPR. Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah menuturkan, perubahan konstitusi sebaiknya tidak dilakukan sekarang ini. Suara senada disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani dan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid.
Amendemen konstitusi tidak tepat dilakukan saat ini. Dalam situasi elemen bangsa yang sedang penuh saling curiga, langkah mengondisikan amendemen konstitusi tidak bijak. Di tengah politik jual-beli yang menggejala sekarang, amendemen konstitusi bisa menjadi bola liar. Usul pasal perubahan konstitusi berpotensi dipertukarkan dengan pasal yang bisa menggoyahkan sendi-sendi bernegara.
Sayang, bangsa besar yang akan menyongsong seabad Republik Indonesia tahun 2045 masih minim negarawan yang memikirkan nasib bangsa. Bangsa ini masih didominasi politikus haus kekuasaan yang pikirannya mungkin hanya bagaimana memperpanjang dan menambah kekuasaan. Daripada energi dihabiskan untuk amendemen, bukankah lebih baik mengurusi krisis minyak goreng.