Jajak Pendapat ”Kompas”: Publik Berharap Pemilu Tetap Digelar 2024
Jajak pendapat ”Kompas” sepekan terakhir menunjukkan, sebagian besar responden setuju pemilu tetap digelar pada 2024. Ide penundaan pemilu diyakini sekadar kepentingan politik sesaat.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Pemilu diharapkan tetap digelar sesuai kesepakatan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu. Ide penundaan pemilu diyakini hanya sekadar ekspresi kepentingan politik sesaat. Publik meyakini pemilu tetap digelar dengan agenda pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Kesimpulan tersebut terekam dari hasil jajak pendapat Kompas satu pekan terakhir yang menyebutkan, sebagian besar responden (62,3 persen) menyatakan setuju pemilihan umum tetap digelar pada 14 Februari 2024 sesuai yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum pada pertengahan Februari lalu. Sikap ini menjawab wacana yang santer dibicarakan banyak orang, termasuk saat ini masih dikumandangkan oleh para politisi, yakni soal penundaan pemilu.
Mayoritas pertimbangan yang dikemukakan responden terkait pemilu harus tetap sesuai jadwal adalah untuk menjaga amanah konstitusi yang memang mengharuskan pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali. Hal ini tercantum dalam Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Selain itu, alasan pemilu harus dilaksanakan sesuai jadwal tidak lepas dari harapan untuk menghindari terjadinya persoalan atau pergolakan politik jika pemilu ditunda. Seperti yang sudah menjadi wacana banyak kalangan, secara regulasi tidak ada pintu untuk penundaan pemilu. Apalagi jika penundaan ini disertai dengan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Dalam konteks besarnya, harapan publik agar pelaksanaan pemilu tetap sesuai jadwal pada 2024 ini adalah demi menjamin demokrasi lebih sehat.
Sementara alasan yang dikemukakan oleh sejumlah ketua umum partai politik, yakni Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, bahwa menunda pemilu ini tidak lepas dari upaya menjaga momentum perbaikan ekonomi, dinilai responden tidak memiliki korelasi yang kuat.
Sebagian besar responden (66,7 persen) justru menilai usulan penundaan pemilu yang disampaikan ketiga ketua umum partai politik di atas, bahkan sebelumnya juga sempat diwacanakan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, tidak ubahnya sebagai akal-akalan para politisi untuk kepentingan politik semata. Hanya kurang dari seperempat responden yang yakin alasan pemulihan ekonomi ada di balik usulan penundaan pemilu tersebut.
Mayoritas responden (79,8 persen) justru meyakini agenda pemulihan ekonomi yang dilakukan bangsa Indonesia, terutama untuk bangkit dari dampak pandemi, tetap bisa dilakukan tanpa harus mengubah konstitusi hanya demi menampung usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan pemerintahan.
Bukan isu partisan
Menariknya, penolakan atas wacana penundaan pemilu ini cenderung bukan isu partisan. Penolakan usulan penundaan pemilu dan tetap memilih pemilu digelar pada 2024 cenderung menjadi isu yang lebih obyektif karena didukung semua kalangan. Hal ini berbeda dibandingkan isu soal kepuasan publik pada kinerja pemerintahan.
Survei Kompas akhir Januari lalu merekam, ada kecenderungan masih adanya gejala partisan ketika publik menilai kinerja pemerintahan. Kelompok responden pemilih Jokowi cenderung menilai lebih tinggi kinerja pemerintahan dibandingkan dengan kelompok responden yang bukan pemilih Jokowi.
Sebaliknya, isu penolakan penundaan pemilu lebih dilihat sebagai kesadaran bersama dan cenderung tidak diikuti dengan sikap yang partisan. Dari kelompok responden pemilih Jokowi, separuh lebih (54,7 persen) setuju pemilu tetap digelar 2024 dan menolak penundaan. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh pemilih Prabowo di Pemilu Presiden 2019. Tiga dari empat responden kelompok simpatisan Prabowo ini juga setuju pemilu tidak diundur, tetapi tetap dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Hal yang sama ditemukan pada sikap responden terkait isu penundaan pemilu ini dengan latar belakang pilihan partai politik pada 2019.
Seperti informasi yang berkembang, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Luhut juga mengklaim pemilih Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendukung wacana tersebut meski ketiga partai sudah menyatakan menolak usulan penundaan Pemilu 2024.
Hasil jajak pendapat Kompas ini cenderung bertolak belakang dengan klaim tersebut. Sebagian besar responden pemilih dari sembilan partai politik yang saat ini berada di kursi parlemen pusat menolak penundaan pemilu. Baik pemilih dari partai politik pendukung pemerintah maupun partai politik yang berada di luar pemerintahan lebih banyak menolak pemilu ditunda.
Memang penolakan responden dari partai politik yang memilih menjadi oposisi pemerintah cenderung lebih tinggi. Seperti halnya kelompok responden pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mayoritas (92,9 persen) responden pemilih PKS menolak pemilu ditunda. Hal yang sama juga dikemukakan oleh pemilih Partai Demokrat. Sebanyak 75,7 persen pemilih partai berlambang bintang segitiga ini lebih memilih pemilu tetap digelar pada 2024.
Dari kalangan partai yang berada di dalam pemerintahan, sebagian besar dari kelompok responden pemilih Partai Gerindra juga menunjukkan sikap serupa. Sebanyak 83,9 persen responden pemilih Gerindra menolak penundaan pemilu. Rata-rata memang penolakannya di atas lebih dari 50 persen dari setiap kelompok responden pemilih partai. Sementara penolakan paling rendah, yakni kurang dari 50 persen, ada di kelompok responden pemilih PDI-P, PKB, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Meskipun derajat penolakannya berbeda antarpemilih partai, kecenderungan sikap penolakan terhadap penundaan pemilu relatif seragam. Hal ini menegaskan, penolakan penundaan pemilu bukan isu partisan karena semua pemilih, baik berbeda pilihan presiden maupun partai politik, bersikap sama, yakni menolak penundaan pemilu.
Pernyataan Presiden
Penolakan terhadap wacana penundaan pemilu ini juga semakin kuat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 4 Maret lalu yang menyatakan bahwa dirinya akan tunduk, patuh, dan taat pada konstitusi. Pernyataan ini menegaskan bahwa Presiden menjamin dirinya akan tetap patuh pada konstitusi yang saat ini memang mengamanatkan masa jabatan presiden adalah dua periode dan pemilihan umum dilakukan setiap lima tahun.
Sebanyak 70,1 persen responden menyambut baik pernyataan Presiden ini dan menyatakan kepuasannya untuk mengakhiri wacana penundaan pemilu yang akhir-akhir ini menyita perhatian publik. Sikap responden ini juga dibarengi optimisme bahwa pemilihan umum akan tetap digelar sesuai jadwal yang sudah disepakati, yakni pada 2024.
Tentu optimisme ini adalah potret kepercayaan publik pada penyelenggara negara, terutama pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, untuk benar-benar menjalankan mandat yang sudah ditetapkan, yakni menggelar pemilihan umum pada 2024 demi menjamin sirkulasi politik yang sehat dan bermartabat.