JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo menyatakan, wacana seperti penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena hal itu bagian dari demokrasi. Namun, semua pihak, termasuk dirinya, harus tunduk, taat, dan patuh pada konstitusi.
”Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” ujar Presiden kepada Kompas di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/3/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi,” tambah Presiden.
Usulan penundaan Pemilu 2024 disuarakan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, awal Januari lalu. Usulan ini kembali menghangat sepekan terakhir atau setelah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menyampaikan usulan senada. Usulan itu lantas didukung Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.
Pada akhir 2019 juga muncul wacana presiden menjabat selama tiga periode. Saat itu, Jokowi menyatakan, ”Yang ngomong presiden itu tiga periode, artinya tiga. Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan.” Jokowi juga menyatakan tak berminat menjabat presiden selama tiga periode.
Tiap lima tahun
Di Makassar, Sulawesi Selatan, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla mengingatkan bahwa menunda pemilu bakal melanggar konstitusi. ”Konstitusinya, (pemilu) lima tahun sekali. Kalau tidak taat konstitusi, maka negeri ini akan ribut,” kata Kalla.
Sebelum pernyataan dari Jusuf Kalla, penolakan atas wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden disuarakan sejumlah kalangan, seperti sejumlah partai politik di parlemen dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Penolakan juga disuarakan tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi mahasiswa.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, setidaknya 64,1 persen responden menginginkan agar pemilu tetap digelar pada tahun 2024 (Kompas, 4/3/2022).
Hasil kajian International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), penundaan pemilu di negara lain banyak terjadi di awal masa pandemi Covid-19 pada 2020. Namun, setelah itu, jumlah negara yang menunda pemilu terus berkurang.
Senior Programme Manager IDEA Adhy Aman mengatakan, penyelenggara pemilu sudah menemukan cara meminimalkan risiko dampak pandemi sehingga pemilu bisa digelar tepat waktu.
Di Asia, menurut Sekretaris Jenderal Asia Democracy Network (ADN) Ichal Supriadi, bahkan belum pernah ada penundaan pemilu nasional saat pandemi Covid-19. Alasan penundaan pemilu untuk pemulihan ekonomi dan biaya pemilu yang besar juga dinilai tak mendasar. ”Kalau dari prinsip demokrasi itu tidak ada price tag atau nilai harga tertentu bagi demokrasi. Berapa pun mahalnya, itu harus dilaksanakan karena itu konsensus bersama yang sudah dituliskan di konstitusi,” ucapnya.
Merujuk pada kajian IDEA, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Saiful Mujani, menilai, pandemi tidak bisa lagi dijadikan alasan menunda pemilu. “Pandemi tidak bisa dijadikan alasan menunda pemilu, karena penanganannya ialah dari aspek kesehatan, sedangkan pemilu memiliki aspek yang berbeda, yakni dari sisi proses pemilu itu sendiri. Oleh karenanya, pandemi dan penyelenggaraan pemilu tidak bisa bertabrakan,” katanya.
Indonesia juga punya pengalaman menyelenggarakan Pilkada 2020 yang dinilai berhasil di tengah pandemi. Kekhawatiran pilkada menimbulkan kluster penularan Covid-19 tidak terjadi. Bahkan, partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2020 lebih tinggi daripada pilkada di situasi normal. Pada 2020, partisipasi masyarakat mencapai 76,09 persen, sedangkan pada Pilkada 2015 sebesar 69,35 persen.
Dia juga menegaskan, dalil pemulihan ekonomi untuk menunda pemilu tidak tepat. “Pada 2021 itu, banyak sekali pemilu yang diselenggarakan di dunia, dan pada saat bersamaan pemulihan ekonomi berlangsung positif. Artinya, pemulihan ekonomi dan pemilu itu berjalan beriringan, sehingga tidak banyak yang ditunda,” katanya.
“Rata-rata pertumbuhan ekonomi kita saat pemilu diselenggarakan juga ada di kisaran normal, yakni 5 persen. Ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi tidak terganggu oleh demokrasi yang diwujudkan melalui pemilu. Jadi, tidak benar jika dengan penyelenggaraan pemilu itu akan menghambat pemulihan ekonomi,” tambahnya.
Menurut Saiful, pengusaha di Tanah Air telah memiliki daya tahan masing-masing serta berpengalaman dalam menghadapi perubahan situasi politik. Pengalaman pemilu selama 20 tahun yang berlangsung damai membuktikan hal itu.
Selain itu, dia juga menilai tidak tepat jika tingginya biaya dijadikan alasan menunda pemilu. Pasalnya, pemerintah juga berencana mengeluarkan anggaran besar untuk kegiatan lain, seperti memindahkan ibu kota negara.
“Pemindahan ibu kota, sekalipun itu diperlukan, dan pembelian senjata, semuanya itu kan tidak ada di konstitusi, sehingga harus diterapkan skala prioritas penganggaran untuk kegiatan itu. Adapun, pemilu jelas disebutkan di dalam konstitusi, dan sifatnya tetap, sehingga seharusnya tidak ada alasan biaya untuk menunda pemilu. Kenapa tidak anggaran untuk kegiatan lain itu ditunda dan dialihkan untuk pemilu yang jelas diamanatkan konstitusi,” ucap Saiful. (HAR/REK/CAS/INA/WKM/PDS)