Hasil survei terbaru LSI kian mengukuhkan sikap mayoritas publik yang menolak usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Jika tetap dipaksakan, Indonesia bisa menjadi negara gagal.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, DIAN DEWI PURNAMASARI, NINA SUSILO
·5 menit baca
Pandangan publik yang terekam dalam survei terbaru oleh Lembaga Survei Indonesia kian mengukuhkan sikap publik yang menolak usulan penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024. Dengan mayoritas publik tak menghendaki penundaan, ditambah lagi mayoritas partai politik juga menolaknya, seharusnya ide menunda pemilu segera diakhiri.
Dalam survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Kamis (3/3/2022), sebanyak 1.197 responden yang dipilih secara acak di 34 provinsi ditanyai mengenai tiga alasan perpanjangan masa jabatan presiden yang selama ini mencuat di publik. Tiga alasan dimaksud adalah pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi akibat pandemi, serta pembangunan ibu kota negara baru.
Untuk alasan pandemi, sebesar 70,7 persen responden menilai Presiden Jokowi tetap harus mengakhiri masa jabatan pada 2024 meski pandemi belum berakhir. Begitu pula ketika dihadapkan pada alasan pemulihan ekonomi. Sebesar 68,1 persen responden menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Tidak jauh berbeda saat responden dihadapkan pada alasan pembangunan ibu kota negara baru. Sebanyak 69,6 persen responden menolak ide perpanjangan masa jabatan.
Survei digelar pada 25 Februari hingga 1 Maret 2022. Metodologi yang digunakan ialah random sampling dengan toleransi kesalahan lebih kurang 2,89 persen pada tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.
Hasil survei juga menunjukkan setidaknya 64,1 persen responden menginginkan agar pemilu tetap digelar pada 2024 meski dalam kondisi pandemi dibandingkan harus ditunda. Pendapat ini bahkan lebih kuat pada mereka yang mengetahui soal usulan penundaan pemilu (sebanyak 67,7 persen).
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, mayoritas warga menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden serta penundaan Pemilu 2024, entah apa pun alasannya. Mereka cenderung lebih sepakat dengan UUD 1945 di mana presiden hanya dibatasi dua masa jabatan masing-masing selama lima tahun.
Lebih dari itu, lanjut Djayadi, dari survei didapati bahwa semakin tahu masyarakat dengan usulan perpanjangan masa jabatan dan penundaan Pemilu 2024 ini, semakin mereka menolak usulan tersebut. Artinya, semakin gencar wacana-wacana tersebut disuarakan oleh elite, semakin kuat pula penolakan masyarakat terhadap perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu ini.
”Temuan survei ini menunjukkan bahwa sebaiknya wacana penundaan Pemilu 2024 itu diakhiri dan kita kembali ke jadwal yang sudah disepakati partai politik dan pemerintah, pemilu dilaksanakan pada 14 Februari 2024,” ujar Djayadi.
Sikap mayoritas publik yang menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, seperti terlihat dari hasil survei LSI, bukan pertama kalinya. Setelah isu itu muncul pada akhir 2019, hasil survei sejumlah lembaga survei lainnya menunjukkan hal yang sama. Survei Indikator Politik Indonesia, akhir Desember 2021, misalnya, menunjukkan mayoritas publik (67,2 persen) setuju pemilu tetap digelar pada 2024. Sebanyak 58 persen publik juga tak setuju masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.
Di antara sembilan partai politik yang punya kursi di MPR/DPR, suara penolakan pun terus menguat. Yang terbaru Partai Gerindra, setelah PDI-P, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan menyuarakan lebih dulu penolakan mereka. Maka, tersisa Partai Kebangkitan Bangsa yang pertama kali melontarkan isu penundaan pemilu, kemudian Partai Amanat Nasional yang mendukungnya. Khusus Golkar, ketua umumnya, Airlangga Hartarto, menyatakan akan membicarakan usulan tersebut dengan pimpinan parpol lain.
Namun, dengan penolakan kuat dari publik dan parpol lain, pembicaraan itu seharusnya tak perlu dilanjutkan. Ide penundaan pemilu yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden harus diakhiri.
Dalam acara diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Usulan Tunda Pemilu, Demokrasi Mundur?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (2/3/2022) malam, pengamat politik Mochtar Pabottingi bahkan menyebut usulan tersebut sebagai bentuk kemahapandiran politik atau irasionalitas politik pada tingkat terburuk.
”Manakala konstitusi diubah untuk kepentingan picik dan sesaat, kita akan segera masuk ke jalan tol menuju negara gagal,” ujar Mochtar. Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir pula tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat, Wakil Ketua Umum Demokrat Benny Kabur Harman, dan Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda.
Djarot pun heran dengan kemunculan usulan itu. Motif kemunculannya dipertanyakan. Kalaupun motifnya karena ada kekhawatiran bahwa kebijakan pemerintah akan berganti setelah Presiden Jokowi tak lagi menjabat, PDI-P lebih mengusulkan adanya haluan negara. PDI-P, menurut dia, bersikap tegas menolak usulan penundaan pemilu apalagi perpanjangan masa jabatan presiden karena partai patuh pada konstitusi negara dan Pancasila.
Adapun Benny menilai usulan penundaan pemilu yang disampaikan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan pernah pula disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, awal Januari lalu, sebatas ”panggung depan”. Di balik panggung depan, diduga kuat ada kepentingan orang-orang di Istana. ”Tentu ada yang berkepentingan. Bisa saja orang yang ada di belakang Pak Jokowi, bisa cukong-cukong yang berada di belakang Pak Jokowi,” ujarnya.
Namun, Ngabalin membantahnya. Pemerintah, DPR, bersama penyelenggara pemilu telah menetapkan jadwal Pemilu 2024, yakni 14 Februari 2024. Persiapan pun sudah dilakukan. Presiden juga patuh pada Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, dia meminta isu ini tidak menyeret Presiden. Cukup dibahas di parlemen. ”Pak Jokowi sedang konsentrasi menjalankan agenda-agenda strategis nasional. Jangan diganggu,” ujarnya.
Terkait dengan usulan yang dilontarkan oleh Muhaimin, Syaiful menjelaskan, usulan itu bentuk respons atas suara-suara yang meminta penambahan masa jabatan Presiden Jokowi. ”Kami dengar semuanya di level masyarakat maupun di elite. Terakhir disampaikan salah satu menteri,” katanya.
Usulan itu disebutnya sepenuhnya gagasan Muhaimin. Tidak ada arahan dari pemerintah, lebih spesifik lagi menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Jika pemilu ditunda, menurut Mochtar Pabottingi, yang akan diuntungkan adalah pihak yang berkuasa ataupun semua di dekatnya. Kekuasaan memang menggoda, tetapi ia mengingatkan kewarasan politik masyarakat bisa bangkit dan menggulung semua irasionalitas tersebut. Karena itu, para pemimpin bangsa diminta memahami ada rambu-rambu yang tak boleh dilanggar.
Kemunculan terus-menerus usulan perpanjangan masa jabatan presiden ini pun semestinya tak dibiarkan. Penting bagi Presiden menyampaikan ulang sikap penolakannya atas usulan itu.