Antara Survei, Mahadata, dan Wacana Penundaan Pemilu
Adu argumen antara kelompok yang pro dan kontra penundaan Pemilu 2024 masih bergulir meski Presiden Jokowi telah menegaskan taat, patuh, dan tunduk pada konstitusi. Survei dan mahadata menjadi landasan argumen keduanya.
Publik selalu diseret-seret dalam wacana penundaan Pemilu 2024 serta penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang muncul beberapa pekan belakangan. Setiap kekuatan politik, baik yang pro maupun kontra penundaan pemilu, sama-sama mengklaim sikap dan pandangannya didukung mayoritas publik. Perdebatan kemudian berujung saling adu angka survei dan mahadata dari media sosial.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar—yang pertama kali melontarkan usulan penundaan pemilu—juga menjadikan suara publik dari mahadata di media sosial sebagai landasan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu mengklaim banyak orang setuju dengan usulannya agar pemilu yang ditetapkan digelar pada 14 Februari 2024 ditunda.
Setelah menganalisis mahadata perbincangan di media sosial, Muhaimin menyampaikan bahwa dari 100 juta subyek akun, 60 persen mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
Temuan dari mahadata itu memang berbeda dengan hasil survei sejumlah lembaga yang menyatakan bahwa publik tidak setuju dengan wacana penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan presiden. Namun, menurut Muhaimin, mahadata lebih memotret suara publik dibandingkan survei. Alasannya, survei hanya memotret suara responden pada kisaran 1.200-1.500 orang, sedangkan responden mahadata bisa mencapai 100 juta orang.
”Big data mulai menjadi referensi kebijakan dalam mengambil keputusan. Pengambilan sikap bergeser dari sebelumnya mengacu pada survei beralih pada big data,” kata Muhaimin, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Kompas, akhir Februari lalu.
Tak hanya Muhaimin, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga menggunakan mahadata sebagai dasar argumentasinya. Dalam sebuah perbincangan di Podcast, Deddy Corbuzier yang diunggah, Jumat (11/3/2022), Luhut mengklaim telah menangkap suara publik yang meminta penundaan pemilu.
Suara itu berasal dari 110 juta akun di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, yang disebutnya merupakan warga kelas menengah ke bawah. Mahadata dari media sosial itu bahkan diklaim lebih akurat dibandingkan survei, tetapi tak dijelaskan metode pengambilannya.
Kelompok publik itu, lanjut Luhut, disebut menginginkan penundaan pemilu karena tidak mau ada lagi keterbelahan masyarakat seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya. Selain itu, anggaran lebih dari Rp 100 triliun sebaiknya tidak digunakan untuk membiayai Pemilu dan Pilkada 2024 di saat kondisi pandemi. ”Orang-orang ini ada di Partai Demokrat, Gerindra, PDI-P, Golkar, ada di mana-mana,” kata Luhut.
Ia pun menyadari wacana mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden akan menimbulkan keributan di masyarakat. Namun, ia tak bisa melarang jika wacana itu kemudian berkembang di masyarakat, DPR, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
”Kalau enggak setuju ramai-ramai, ya enggak ada masalah,” ucap Luhut.
Jika Muhaimin dan Luhut menggunakan mahadata sebagai dasar argumentasi menunda pemilu, sejumlah pihak lain menjadikan hasil survei sebagai dasar untuk mengambil sikap terkait wacana tersebut. Salah satunya Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani.
Dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu malam, ia menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo mendengarkan aspirasi masyarakat yang tecermin dalam hasil survei penundaan pemilu. Salah satunya hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) di mana 82,5 persen publik menolak penundaan pemilu. Selain itu juga hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan 71 persen publik menolak perpanjangan masa jabatan dan Lab45 yang hasilnya 87,18 persen publik kontra terhadap penundaan pemilu.
Hasil survei LSI selama 25 Februari-1 Maret 2022 memang menunjukkan, 70,7 persen responden lebih menyetujui Presiden Jokowi mengakhiri masa jabatan pada 2024 meski pandemi belum berakhir. Begitu pula ketika dihadapkan dengan alasan pemulihan ekonomi, 68,1 persen responden menolak perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027.
Survei tersebut melibatkan 1.197 responden yang dipilih secara acak dari 34 provinsi. Metodologi yang digunakan adalah random sampling dengan toleransi kesalahan lebih kurang 2,89 persen pada tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA bahkan memotret, para pendukung Jokowi dan konstituen partai politik yang inginkan penundaan pemilu justru menolak gagasan itu. Setidaknya 65,1 persen responden yang merasa puas dengan kinerja Presiden menentang penundaan pemilu. Pemilih PKB yang tidak setuju penundaan pemilu sebanyak 66,2 persen, pemilih PAN 93,7 persen, dan pemilih Golkar 71,6 persen.
Tak hanya Jaleswari, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto juga menjadikan hasil survei untuk memperkuat pandangan serta sikap partai. Sejak awal, PDI-P memang menolak penundaan pemilu karena inkonstitusional dan dapat merusak demokrasi.
”Dari survei LSI sangat jelas dan tidak perlu diragukan, PDI-P kukuh bersikap tidak ada ruang untuk penundaan pemilu. Baik dengan alasan ekonomi, pandemi, maupun pembangunan ibu kota negara,” kata Hasto dalam sebuah diskusi daring, pekan lalu.
Tak wakili publik
Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, justru mempertanyakan klaim Luhut dan Muhaimin. Dari hasil penelusurannya di Twitter, percakapan mengenai isu penundaan pemilu hanya dilakukan sekitar 10.000 akun hingga 20.000 akun. Mayoritas pun menolak penundaan pemilu. Hasil ini bahkan cenderung sama dengan analisis Lab45 yang dilakukan pada Juni 2021.
”Artinya, sejak Juni 2021 hingga sekarang tidak banyak berubah, yang tertarik bicara hanya segitu dan hasilnya sama- sama menolak,” katanya, Sabtu (12/3).
Menurut Ismail, wacana mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden-wapres saat ini belum begitu banyak dicampuri oleh pendengung atau buzzer. Akun- akun yang mulai membicarakan hal itu cenderung dalam tahap ingin membuat wacana yang melanggar konstitusi tersebut menjadi pembicaraan yang normal di ruang publik.
Menurut Ismail, wacana mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden saat ini belum begitu banyak dicapuri oleh pendengung atau buzzer. Akun-akun yang mulai membicarakan hal itu cenderung dalam tahap ingin membuat wacana yang melanggar konstitusi tersebut menjadi pembicaraan yang normal di ruang publik.
Hasil mahadata dari percakapan di media sosial, lanjutnya, tidak bisa sepenuhnya mewakili suara publik. Selain satu orang bisa punya lebih dari satu akun, cara untuk mendapatkan percakapan di Facebook dan Instagram cenderung lebih sulit dibandingkan di Twitter. Selain itu, ada kemungkinan campur tangan pendengung untuk memanipulasi suara publik di media sosial.
"Kalau ingin klaim suara publik di media sosial, mestinya dipisahkan percakapan yang murni dengan yang diunggah oleh robot atau pendenggung," tutur Ismail.
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, mengingatkan, publik mesti bersikap kritis dan jangan mudah tergiring opini dari elite politik yang masing- masing mengklaim kebenaran datanya. Bahkan lebih baik jika elite bisa menjelaskan metode dan pengolahan data sehingga bisa memiliki kesimpulan itu.
Kalau ingin klaim suara publik di media sosial, mestinya dipisahkan percakapan yang murni dengan yang diunggah oleh robot atau pendenggung
Sebab, setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan. Data yang berasal dari mahadata percakapan di media sosial unggul karena lebih bisa mengetahui persepsi publik secara kekinian atau real time dan lebih tepercaya. Sebab, mahadata berasal langsung dari ekspresi publik di media sosial. Dari situ kemudian bisa dilacak jejaring aspirasi yang sama antarpengguna sehingga bisa terlihat jelas mana kelompok yang pro dan kontra. Adapun kelemahan mahadata adalah persepsi itu bisa menjadi artifisial karena disrupsi dari pendengung sebagai bagian dari pasukan siber. Dengan demikian, bisa jadi kesimpulan persepsi tersebut tidak benar secara langsung dari publik.
Sementara klaim dari metode survei unggul dalam hal bisa memetakan persepsi publik secara longitudinal atau dalam periode tertentu sehingga bisa terpetakan perbedaan persepsi publik dari waktu ke waktu. Adapun kelemahannya, terkadang jumlah populasi yang menjadi responden survei bisa jadi adalah basis kelompok pemilih tertentu sehingga tidak bisa menggeneralisasi persepsi publik secara keseluruhan.
”Ada baiknya, masing-masing pihak berani membuka cara penarikan sampel dari data yang mereka klaim secara terang benderang. Hal itu penting bagi publik agar bisa berpikir kritis dan independen sehingga tidak terbelah preferensinya,” kata Wasisto.
Terus bergulir
Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan pemimpin negeri terus bergulir meski Presiden Jokowi sudah menegaskan akan tunduk pada konstitusi. Tak hanya ”serangan udara”, ”serangan darat” juga mulai dilancarkan.
Hal itu setidaknya tertangkap dengan adanya pertemuan antara Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Kamis lalu. Apalagi pada hari yang sama Presiden Jokowi bersama dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri meninjau persemaian modern di Rumpin, Bogor, Jawa Barat.
Baik Golkar maupun PDI-P menampik pertemuan untuk membahas penundaan pemilu. Namun, pertemuan para elite politik di tengah hangatnya isu penundaan pemilu tentu menimbulkan banyak spekulasi. Terlebih lagi, wacana penundaan pemilu juga terus diperbincangan di media sosial.
Bukan hanya itu, Airlangga Hartarto juga pernah menyatakan akan membicarakan aspirasi para petani Siak, Riau, dengan para petinggi partai. Sehari setelah Muhaimin melontarkan usulan penundaan pemilu, Airlangga menerima aspirasi dari para petani yang menginginkan adanya keberlanjutan kepemimpinan Presiden Jokowi.
Rakyat selalu dijadikan dalih oleh para elite demi meraih kepentingan mereka, termasuk menunda pemilu. Namun pertanyaannya kemudian adalah rakyat yang mana?