Ironi ”Digugu lan Ditiru” dari KPK
Alumni Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi 2020 mengadukan Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas KPK. Mars dan himne KPK dari istri Firli dianggap bertabrakan dengan nilai antikorupsi yang diajarkan KPK dalam akademi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran etik. Kali ini, Firli dilaporkan oleh ”anak didik” KPK sendiri. Mereka menilai, mars dan himne yang dicipta oleh istri Firli bertentangan dengan ajaran integritas yang pernah diajarkan selama pendidikan.
Korneles Materay masih ingat betul berbagai materi nilai-nilai antikorupsi beserta implementasinya, yang diajarkan oleh para pemateri dan pimpinan KPK, dalam kelas intensif Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) 2020. Ia mengikuti kelas demi kelas selama 40 jam, bersama 35 peserta lain, dalam wadah belajar isu antikorupsi milik KPK tersebut.
Namun, Korneles tak menyangka, nilai-nilai antikorupsi yang diajarkan justru bertolak belakang dengan tindakan Firli. Ini terutama saat lagu buatan istri Firli, Ardina Safitri, dipilih sebagai mars dan himne KPK, pertengahan Februari 2022. Tak hanya itu, Ardina diberikan penghargaan atas lagunya itu. Kedua hal tersebut dipandang oleh Korneles sebagai bentuk konflik kepentingan yang dalam kelas-kelas AJLK selalu diingatkan oleh pemateri, termasuk pimpinan KPK, harus dihindari.
”Bertentangan sekali dengan nilai-nilai yang diajarkan kepada kami. Kami diajarkan untuk menghindari konflik kepentingan dalam hal apa pun, apalagi kalau mau jadi penegak hukum. Zero tolerance. Sekarang contoh pertentangan itu datang dari pucuk pimpinan. Ini benar-benar sebuah ironi,” ujar Korneles di Gedung Dewan Pengawas KPK, Jakarta, Rabu (9/3/2022).
Baca juga: KPK Bukan Perusahaan Keluarga
Korneles lantas melaporkan yang dilihatnya sebagai konflik kepentingan itu, sebagai bentuk dugaan pelanggaran etik Firli itu ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Menurut dia, penunjukan dan pemberian penghargaan dari KPK ke Ardina sebagai pencipta lagu KPK sangat kental dengan nuansa konflik kepentingan. Tak hanya itu, proses penerimaan himne KPK sebagai hibah juga berpotensi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan benturan konflik kepentingan, hal ini sebenarnya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan KPK Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di KPK. Dua regulasi itu menjelaskan bahwa konflik kepentingan terjadi saat keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berkaitan erat dengan kepentingan pribadi atau kelompok sehingga berpengaruh terhadap netralitas keputusan tersebut.
”Penjelasan ini membuat pelanggaran yang dilakukan Firli semakin terang. Sebab, pihak yang ditunjuk dan diberikan penghargaan merupakan istrinya sendiri. Sebenarnya, kalau pembuatan lagu KPK itu dilakukan dengan metode yang kompetitif, obyektif, semua orang bisa berkompetisi di dalamnya secara sehat dan adil, tak jadi masalah. Sayangnya, proses ini, kan, enggak (dilakukan),” tutur Korneles.
Selain itu, Firli diduga tidak mendeklarasikan konflik kepentingan dalam pembuatan mars dan himne KPK tersebut. Padahal, deklarasi ini diatur dalam Peraturan KPK No 5/2019, yang isinya mewajibkan setiap insan KPK untuk memberitahukan kepada atasannya. Dalam konteks ini, seharusnya Firli mendeklarasikannya kepada komisioner lain dan Dewas. Peristiwa ini juga menggambarkan ketiadaan mekanisme saling kontrol (check and balances) di internal KPK.
Kesalahan berulang
Saat melapor ke Dewas, Korneles menyerahkan satu bundel dokumen. Isinya berupa kronologis, analisis dugaan pelanggaran etik dan aturan yang diduga dilanggar, lampiran bukti tentang pendaftaran hak cipta kedua lagu KPK, serta bukti foto kegiatan saat Firli memberikan penghargaan kepada Ardina.
Dalam analisis yang disampaikan ke Dewas tersebut, tindakan Firli diduga melanggar Pasal 4 Ayat 1 Huruf b, Pasal 4 Ayat 1 Huruf d, Pasal 4 Ayat 2 Huruf b, Pasal 6 Ayat 1 Huruf e, Pasal 6 Ayat 2 Huruf a, Pasal 7 Ayat 2 Huruf a, dan Pasal 8 Ayat 1 Huruf f Peraturan Dewas KPK No 2/2020.
Oleh karena itu, Korneles mewakili AJLK 2020 mendesak Dewas agar segera memanggil, memeriksa, dan menjatuhkan sanksi berat kepada Firli. Desakan penjatuhan sanksi berat karena pada September 2020, Firli sudah pernah dijatuhi sanksi oleh Dewas. Kala itu, Dewas menghukum dengan sanksi teguran tertulis karena terbukti melanggar etik, yakni menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi.
”Jadi, jika ini terbukti, maka Firli telah melakukan pengulangan dan layak untuk diminta mengundurkan diri oleh Dewan Pengawas. Kami ingin Dewas bisa menggunakan momentum ini untuk memperbaiki secara keseluruhan sistem integritas di KPK,” kata Korneles.
Baca juga: Naik Helikopter untuk Perjalanan Pribadi, Dewan Pengawas Nilai Ketua KPK Langgar Etik
Menurut Korneles, sebagai alumni angkatan pertama AJLK, dirinya dan teman-teman lain merasa mempunyai kewajiban untuk menjaga KPK dari pelemahan yang datangnya justru dari internal KPK sendiri. Mereka ingin menunjukkan bahwa kepentingan pemberantasan korupsi itu adalah kepentingan bersama. Mereka ingin memastikan pula bahwa KPK yang selama ini menjadi tumpuan dan harapan seluruh anak bangsa setidaknya dipimpin oleh sosok-sosok yang berintegritas.
”Kami bukan haters, bukan lovers. Kami punya kewajiban moral dan keprihatinan. KPK adalah lembaga yang mendorong transparansi dan integritas di berbagai sektor, maka dia seharusnya yang terlebih dahulu memberikan contoh, istilah kata, digugu lan ditiru (akronim Jawa dari guru yang berarti orang yang dipercaya dan diikuti),” ujar Korneles.
Manifestasi kegelisahan publik
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengapresiasi dan mendukung sikap alumni AJLK. Ini menandakan apa yang diajarkan oleh para mentor diimplementasikan secara langsung oleh mereka, yang kali ini diwakilkan oleh Korneles sebagai pelapor.
Kurnia sangat menyesalkan pelaporan pelanggaran etik Firli ke Dewas bukan datang dari internal KPK sendiri. Ia menduga, hal itu diakibatkan peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara sehingga sifat kekritisannya pun ikut memudar. Padahal, dahulu, wadah pegawai KPK cukup sering memprotes kebijakan di KPK yang dinilai keluar dari koridor atau nilai-nilai pemberantasan korupsi.
”Sejak mereka (pegawai KPK) sekarang berubah status menjadi aparatur sipil negara, sifat kritis itu hilang. Ada upaya untuk mengintervensi pelaporan etik, bahkan terkesan ingin melindungi pimpinan KPK,” kata Kurnia.
Kurnia melanjutkan, sebenarnya laporan AJLK ini merupakan manifestasi dari kegelisahan publik beberapa pekan ini. Dugaan pelanggaran etik Firli ini sempat ramai di publik tetapi tak pernah ada pelaporan ke Dewas KPK. Namun, AJLK yang merupakan anak binaan KPK justru berani melaporkannya.
”Itu sudah jelas sekali, dia (Firli) tidak mampu mencontohkan hal yang baik. Padahal, keteladanan itu penting. Pimpinan harus merepresentasikan sikap yang baik agar bisa ditiru oleh para pegawainya. Apalagi, ini adalah KPK yang menuntut pimpinan itu sempurna karena dia mengajarkan, mencontohkan kepada publik agar menghindari perilaku korup, mengampanyekan integritas,” ujar Kurnia.
Sesuai prosedur
KPK menyerahkan sepenuhnya proses pemeriksaan laporan dugaan pelanggaran etik Firli tersebut kepada Dewas sesuai tugas dan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 37B UU KPK. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Dewas tentu telah memiliki mekanisme dan standar operasional prosedur untuk menindaklanjuti setiap aduan yang diterima.
”Kami yakin, setiap pemeriksaannya pun akan dilakukan sesuai fakta dan penilaian profesionalnya,” tutur Ali.
Adapun hasil dari laporan itu nanti juga akan disampaikan kepada masyarakat sebagai prinsip akuntabilitas dan transparansi. Karena itu, KPK menghormati proses yang sedang berlangsung tersebut dengan tidak mendahului untuk menyimpulkan secara dini, terlebih hanya berdasar asumsi ataupun opini.
Ali menjelaskan, mars dan himne KPK dihibahkan oleh penciptanya kepada KPK, bukan kepada perseorangan di KPK. Hibah tersebut juga gratis dan tidak ada penggantian biaya penciptaan lagu yang harus dibayarkan KPK kepada penciptanya.
KPK melalui Biro Hukum dan Inspektorat juga telah memvalidasi dan memeriksa, di antaranya kepada pihak pencipta lagu, untuk memastikan bahwa proses ini sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.
Selanjutnya, sebagai bentuk perlindungan karya, mars dan himne KPK telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, kemudian diserahkan kepada KPK sebagai pemilik hak ciptanya. Lagu mars dan himne tersebut kini telah dimanfaatkan dan diperdengarkan pada setiap acara resmi kelembagaan KPK.
”Sebagaimana lazim juga dimiliki oleh kementerian dan lembaga lainnya, lagu mars dan himne, mengusung value dan spirit sesuai tugas dan fungsi lembaga tersebut,” ujar Ali.
Baca juga: MA Pangkas Hukuman Edhy Prabowo
Ia pun membenarkan bahwa pihak pelapor merupakan salah satu alumni AJLK tahun 2020. AJLK merupakan program milik KPK di mana para peserta mendapatkan pembelajaran tentang isu antikorupsi dan materi jurnalistik.
Program AJLK bertujuan untuk meningkatkan kompetensi jurnalis dalam meliput isu korupsi yang aspeknya sangat luas, meliputi hukum, ekonomi, sosial, dan jender. Ini bertujuan agar peliputan tersebut menghasilkan karya-karya jurnalistik yang mumpuni dan memberikan pemahaman utuh bagi masyarakat.
”Harapannya, terbangun optimisme publik dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Ali.
Namun, bagaimana mungkin optimisme itu bisa dibangun jurnalis ketika dari rahim KPK, instansi yang dilahirkan untuk menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, justru muncul hal-hal yang bertentangan dengan nilai antikorupsi?