Hentikan Kekerasan di Papua, Buka Dialog dengan KKB
Kekerasan dengan korban jiwa yang kembali terjadi di Papua perlu segera diatasi dengan komunikasi antara semua pemangku kepentingan dan kelompok kriminal bersenjata.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM meminta semua pelaku kekerasan di Papua diproses secara hukum. Tak hanya itu, untuk menghentikan kekerasan terus berulang, semua pemangku kepentingan diminta duduk bersama untuk berdialog dengan kelompok kriminal bersenjata di Papua.
Penembakan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) terjadi di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Rabu lalu. Serangan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka tersebut menewaskan delapan warga sipil. Mereka adalah pekerja PT Palapa Timur Telematika (PTT), pemenang tender proyek Palapa Ring, yang sedang memperbaiki fasilitas menara base transceiver station (BTS) untuk jaringan telekomunikasi 4G.
Sehari kemudian, KKB menyerang 11 petugas Pos Koramil Dambet yang sedang berpatroli. Seorang prajurit TNI, Prajurit Satu (Pratu) Heriyanto, mengalami luka tembak di bagian leher (Kompas, 5/3/2022).
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (5/3/2022), menyampaikan, sejak Jumat, Komnas HAM telah mencoba berkomunikasi dengan beberapa pihak di Beoga agar evakuasi terhadap korban bisa dilakukan. Komunikasi tersebut langsung dilakukan oleh Kepala Perwakilan Komnas HAM di Jayapura.
Komnas HAM merasa prihatin atas jatuhnya korban yang terjadi berulang kali akibat kekerasan bersenjata di Papua. Amiruddin menegaskan, siapa pun pelakunya harus diproses hukum.
”Saya langsung berkomunikasi dengan Wakil Kepala Polda Papua untuk memberikan masukan agar proses penegakan hukum kepada pelaku pembunuhan terhadap warga sipil bisa berjalan secara tepat dan sesuai koridor hukum,” kata Amiruddin.
Sebagai langkah jangka panjang, semua instansi perlu duduk bersama mencari jalan keluar yang tepat dan mengedepankan peran pemerintah daerah untuk berkomunikasi dengan kelompok bersenjata tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengutuk semua serangan terhadap warga sipil di Papua, termasuk penembakan terhadap delapan pekerja jaringan telekomunikasi yang diklaim dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM).
”Pembunuhan yang tidak sah oleh siapa pun dan terhadap siapa pun tidak pernah dapat dibenarkan dan jelas merupakan penghinaan atas prinsip-prinsip hak asasi manusia, baik dilakukan oleh kelompok bersenjata maupun oleh aparat keamanan,” kata Usman.
Kekerasan sudah terlalu sering terjadi di Papua. Pada akhir bulan lalu, ia menyebut ada seorang anak yang meninggal dunia setelah diduga ditembak oleh anggota TNI di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak. Kekerasan ini sudah mendapatkan perhatian dari ahli HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetapi pemerintah masih menyangkal terhadap pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh aktor negara. Menurut Usman, seharusnya dugaan tersebut diinvestigasi.
Wakil Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan, Amnesty mendesak pemerintah segera membentuk tim independen untuk menginvestigasi insiden yang terjadi di Papua secara menyeluruh, transparan, dan tidak berpihak. Terduga pelaku, baik itu anggota OPM, aparat keamanan, maupun siapa pun, harus dibawa ke pengadilan umum dalam proses yang adil dan tidak berakhir dengan hukuman mati.
”Kami juga kembali mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pendekatan keamanan yang digunakan untuk merespons masalah di Papua. Jumlah korban yang terus bertambah menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak berhasil dan tidak bisa terus dipertahankan,” kata Wirya.