Perubahan pendekatan operasi keamanan menjadi kesejahteraan belum efektif menyelesaikan persoalan di Papua. Kekerasan bersenjata masih terjadi dengan korban masyarakat sipil dan aparat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Belum berakhirnya kekerasan, meski pemerintah dan aparat telah mengubah pendekatan operasi keamanan menjadi kesejahteraan, menunjukkan bahwa solusi utuh untuk menjawab persoalan Papua belum ditemukan. Ini karena sebenarnya persoalan di Papua tidak hanya terkait ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan faktor historis yang belum tuntas, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tak kunjung selesai.
Penembakan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) kembali terjadi di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Rabu lalu. Serangan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka itu menewaskan delapan warga sipil. Mereka adalah pekerja PT Palapa Timur Telematika (PTT), pemenang tender proyek Palapa Ring, yang sedang memperbaiki fasilitas menara base transceiver station (BTS) untuk jaringan telekomunikasi 4G. Para pekerja yang meninggal dalam insiden itu berinisial B, R, BN, BT, J, E, S, dan PD.
Sehari kemudian, KKB menyerang 11 petugas Pos Koramil Dambet yang tengah berpatroli. Seorang prajurit TNI, Prajurit Satu (Pratu) Heriyanto, terluka tembak di bagian leher.
Hingga Jumat (4/3/2021), baru Pratu Heriyanto yang dapat dievakuasi menggunakan pesawat Asian-One bernomor penerbangan PK-LTF pada pukul 06.52 WIT ke Timika, ibu kota Kabupaten Mimika. Adapun delapan pekerja yang meninggal belum bisa dievakuasi karena cuaca dan faktor keamanan yang belum mendukung.
Ketua Centra Initiative dan Peneliti Senior Imparsial Al Araf mengungkapkan keprihatinan atas kembali jatuhnya korban, baik warga sipil maupun aparat, di Papua. Masih terjadinya konflik kekerasan meski pemerintah dan aparat telah mengubah pendekatan operasi keamanan menjadi kesejahteraan menunjukkan negara belum bisa menemukan solusi yang utuh untuk menjawab akar masalah Papua.
Menurut dia, persoalan di Papua tak hanya terkait ekonomi, tetapi juga faktor historis yang belum tuntas, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tak kunjung selesai, serta ketidakpercayaan (distrust) yang masih terbangun. ”Penggunaan pendekatan ekonomi kesejahteraan itu baik, tetapi tidak menjawab akar konflik karena tidak semua hal bisa dijawab dengan uang,” tuturnya.
Keadilan
Untuk menyelesaikan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, menurut Al Araf, dibutuhkan keadilan. Selama ini, sejumlah kasus yang terjadi tidak pernah diproses hukum hingga tuntas dan ada kecenderungan impunitas bagi pelaku. Hal itu dinilai menjadi pemicu terus terjadinya perlawanan, baik dengan aksi damai menuntut referendum, diplomasi di luar negeri, maupun aksi bersenjata.
Semestinya pemerintah bisa menuntaskan persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua telah menyediakan mekanisme penyelesaiannya. Mulai dari proses pengadilan hingga pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi
Padahal, semestinya pemerintah bisa menuntaskan persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua telah menyediakan mekanisme penyelesaiannya. Mulai dari proses pengadilan hingga pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
”Walaupun mekanisme itu tersedia, hal itu tidak pernah terwujud sehingga ini membangun distrust Papua terhadap Pemerintah Indonesia,” tuturnya.
Selama ini pemerintah sudah mengupayakan berbagai pendekatan, tetapi konflik tidak kunjung berakhir. Al Araf melihat hal itu terjadi lantaran kebijakan yang dibuat pemerintah bersifat top down dan cenderung tidak didasarkan pada aspirasi masyarakat.
Berkaca dari hal itu, seharusnya ada komitmen untuk membangun kebijakan yang setara. Kedua pihak perlu duduk bersama membangun dialog dan kesepakatan bersama. ”Hal yang dibutuhkan hari ini bukan kebijakan-kebijakan yang top down lagi, melainkan kebijakan yang setara, yang dihasilkan dari kesepakatan bersama antarmereka yang berkonflik,” ujarnya.
Kerahkan 100 personel
Dalam keterangannya, Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri mengatakan, satu kompi pasukan atau sekitar 100 personel dikerahkan ke lokasi kejadian di Beoga. Tim gabungan TNI dan Polri berupaya memukul mundur KKB sebelum mengevakuasi korban. Sebab, disinyalir kelompok ini masih bersembunyi di lokasi kejadian untuk menanti kedatangan aparat.
”Kami tidak mau ada korban baru dalam upaya evakuasi delapan pekerja ini. Dengan menyerang aparat keamanan, kelompok ini bisa mendapatkan tambahan amunisi dan senjata,” tutur Mathius.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua Komisaris Besar Faizal Ramadhani menambahkan, hasil pemetaan sementara bersama PT PTT diketahui, lokasi penyerangan delapan pekerja menara B3 berada di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan rawan cuaca berkabut. Tidak ada akses untuk kendaraan bermotor ke lokasi kejadian.
Upaya tercepat ke lokasi kejadian hanya dengan menggunakan helikopter. Apabila berjalan kaki ke lokasi kejadian, tim membutuhkan waktu minimal 10 jam karena harus mendaki gunung.
”Kami belum dapat mengevakuasi jenazah para pekerja pada Jumat (4/3) ini karena sejumlah masalah teknis. Diperlukan rencana yang matang untuk mengevakuasi dengan aman,” papar Faizal.