Pembelian puluhan senjata dari Perancis harus melalui pengadaan yang transparan dan akuntabel. Pembelian juga seharusnya langsung ke produsen atau Pemerintah Perancis.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelian puluhan alat utama sistem persenjataan dari Perancis mesti diikuti dengan pengadaan yang transparan dan akuntabel. Pembelian semestinya langsung ke produsen atau Pemerintah Perancis, bukan melalui pihak ketiga atau broker.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, Jumat (11/2/2022), mengatakan, pembelian puluhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Perancis harus dibarengi dengan pengadaan yang transparan dan akuntabel. Pembelian harus dilakukan langsung kepada produsen atau Pemerintah Perancis, tidak melalui pihak ketiga atau broker. Hal ini penting mengingat dalam pembelian alutsista sebelumnya selalu dihantui dengan isu penggelembungan harga (mark up) dan korupsi.
”Tidak boleh lagi ada broker yang bermain mengambil keuntungan. Pembelian pesawat tempur ini haruslah semata untuk memperkuat kekuatan TNI dan bukan proyek untuk memperkaya diri,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Araf, dibutuhkan peran lembaga pengawas yang kuat seperti Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemberantasan Korupsi agar pembelian alutsista ini tepat dan bebas dari korupsi. Jangan sampai TNI mendapatkan pesawat tempur berkualitas buruk akibat mark up dan korupsi yang dilakukan oknum tidak bertanggung jawab.
Pada Kamis (10/2/2022), Indonesia memperkuat kerja sama militer dengan Perancis yang akan diwujudkan dalam pembelian 42 pesawat tempur Rafale buatan Dassault Aviation. Kontrak pertama untuk enam pesawat sudah ditandatangai dan 36 lainnya menyusul dalam waktu dekat. Indonesia menjajaki pula pembelian dua kapal selam Scorpene buatan Naval Group.
Dalam kesempatan konferensi pers Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Republik Perancis Florence Parly, tidak ada sesi tanya jawab. Prabowo juga tidak menyebut nilai kontrak pembelian pesawat tempur dan jangka waktu pengadaan alutsista tersebut.
Menurut Araf, pembelian pesawat tempur canggih tersebut di tengah kebutuhan modernisasi alutsista yang mendesak merupakan hal yang baik. Namun, ada beberapa catatan yang harus diperjelas dan dipastikan dalam pembelian alutsista ini. Pertama, tipe pesawat yang dibeli memang cocok untuk memperkuat Angkatan Udara TNI, tetapi pemerintah, khususnya menteri pertahanan, harus menjelaskan apa kelebihannya dari produk lain.
”Pembelian pesawat tempur ini juga harus menjawab kebutuhan TNI dalam menjawab tantangan perang di masa datang. Artinya, pembelian Rafale ini tidak boleh underspec dan harus berteknologi mutakhir, yakni Rafale generasi terkahir (F4),” ujarnya.
Kedua, lanjut Araf, pembelian pesawat tempur Rafale merupakan langkah berani yang dilakukan oleh pemerintah mengingat Indonesia belum pernah membeli pesawat dari Perancis. Ini merupakan hal yang akan menjadi tantangan bagi TNI dalam hal mengintegrasikan pesawat tempur baru ini ke dalam sistem pertahanan Indonesia, khususnya dalam hal konektivitasnya dengan alutsista yang berasal dari negara lain.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Dave Laksono menambahkan, pembelian alutsista itu jangan sampai menyulitkan perekonomian Indonesia. Sebab, pembelian pesawat harus diikuti oleh biaya-biaya lain, seperti operasional dan perawatan pesawat. Selain itu, perlu anggaran untuk pengembangan sumber daya manusia yang andal dalam mengoperasikan pesawat tersebut.
Hal lain yang penting, pesawat tempur bisa dilengkapi dengan persenjataan terkini yang mampu menandingi kekuatan udara negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia.
”Apa pun pilihan pemerintah, harus dipastikan alutsista baru, bukan bekas atau retrofit. Bukan bekas seperti pembelian Rafale oleh Kroasia ataupun campuran Rafale baru dan bekas seperti yang dibeli Yunani," ucap Bobby.