Dongkrak Skor Indeks Persepsi Korupsi, Tak Cukup Bertumpu pada Penindakan
Penindakan koruptor harus pula disertai dengan perbaikan sistem pencegahan korupsi. Selain itu, penting pula membenahi regulasi untuk memperkuat pemberantasan korupsi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membaiknya skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2021 memperlihatkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tetap dijalankan. Namun, pemberantasan korupsi melalui penindakan mesti dibarengi dengan pencegahan korupsi di sisi hulu melalui perbaikan sistem.
Skor Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 tercatat 38,naik dibanding IPK 2020 dengan skor 37. Adapun skor pada 2020 turundari IPK 2019, yakni 40. Dari skala 0-100, semakin tinggi skorsatu negara, semakin dipersepsikan bebas korupsi negara itu. IPK merupakan komposit dari sejumlah indeks lain.
Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Yenti Garnasih ketika dihubungi, Rabu (26/1/2022), berpandangan, meski hanya satu angka, IPK Indonesia membaik. Sebab, upaya pemberantasan korupsi melalui penindakan masih berjalan meski di sisi lain, hal itu memperlihatkan kelemahan dalam hal pencegahan korupsi.
”Banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) jangan membuat bangga karena itu berarti pencegahan tidak terjadi. Mungkin publik suka dengan (OTT), tetapi setelah itu harus dipertanyakan, apakah sistemnya tidak jalan, tidak transparan,” kata Yenti.
Dalam paparan IPK 2021 disebutkan adanya perbaikan kondisikorupsi ekonomi melalui penanganan korupsi besar,seperti kasus korupsi bekas Menteri Sosial Juliari Batubara, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, serta dugaan suappengurusan perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh WakilKetua DPR Azis Syamsuddin. Penanganan megakorupsiJiwasraya dan Asabri serta capaian dari Satgas BLBI yang menyita aset dari debitor atau obligordianggap meningkatkan skor IPK di bidang korupsi ekonomi.
Namun, untuk meningkatkan skor IPK, lanjut Yenti, tidak cukup hanya dengan penindakan. Seiring dengan itu, yang mesti dilakukan adalah memperbaiki sistem pengawasan di institusi pemerintahan dan memperbaiki administrasi perizinan, termasuk menerapkan sistem lelang jabatan bagi penyelenggara negara. Sebab, penilaian IPK juga terkait hal itu.
Dalam pemberantasan korupsi, aparat penegak hukum diharapkan berani mengusut kasus-kasus lama atau kasus yang selama ini mandek karena diduga terkait pihak tertentu. Hal itu akan menjadi bukti bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum tidak tebang pilih dalam memberantas korupsi.
”Bersikap hati-hati itu bukan berarti lamban karena pelaku kejahatan dalam korupsi ini bergerak cepat. Menurut saya, selama ini gagaltotalnya pemberantasan korupsi itu di pencegahan,” ujar Yenti.
”Kalau KPK, baik kuantitas maupun kualitas,pemberantasan korupsinya bagus, demikian juga polisi dan kejaksaan berkinerja bagus, juga pemerintah memiliki satgas semacam Satgas BLBI, tentu angka IPK akan lebih baik,” kata Aan.
Meski demikian, masih ada kalangan masyarakat yang skeptis dengan arah pemberantasan korupsi di Indonesia karena melihat masalah yang terjadi di KPK yang berujung pada pemecatan pegawai KPK. Di sisi lain, kinerja kejaksaan dan Satgas BLBI yang sebelumnya diragukan ternyata dapat membongkar kasus yang melibatkan pihak-pihak yang selama ini tidak tersentuh.
Oleh karena itu, Aan berharap agar kinerja kejaksaan, termasuk kepolisian dan pemerintah sendiri, dalam memberantas korupsi dapat ditingkatkan. Sebab, upaya pemberantasan korupsi hanya bisa maksimal jika terjadi sinergi.
Jalan di tempat
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam keterangan tertulis yang disampaikan peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyatakan, peningkatan IPK menandakan bahwa pemberantasan korupsi hanya berjalan di tempat. ICW menilai, arah politik hukum pemberantasan korupsi justru mengalami kemunduran karena orientasi pemerintah dalam pemberantasan korupsi tidak jelas.
Menurut ICW, pemerintah hanya sibuk dengan agenda ekonomi untuk kepentingan investasi. Sementara agenda reformasi hukum tidak pernah diprioritaskan. Padahal, semua pimpinan aparat penegak hukum berada di bawah kekuasaan eksekutif. ”Dengan logika seperti ini semestinya Presiden bisa mendesak kepolisian, kejaksaan, dan KPK untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsinya,” sebagaimana dikutip dari ICW.
Berangkat dari hal itu, ICW lebih mendorong agar Presiden membenahi sektor penegakan hukum melalui pembenahan regulasi, antara lain Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ICW juga berharap Presiden memerintahkan lembaga penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar (grand corruption) dan mempersempit ruang terjadinya praktik tersebut. Selain itu, Presiden juga perlu menghentikan upaya pemberangusan partisipasi warga negara yang bergerak dalam isu antikorupsi.