Indeks Persepsi Korupsi 2021, Skor Indonesia Membaik 1 Poin
Skor Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 tercatat 38, naik dibanding IPK 2020 yang mencapai 37. Adapun skor pada 2020 turun dari IPK 2019 yang mencapai 40.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 diluncurkan oleh Transparency International Indonesia secara daring di Jakarta, Selasa (25/1/2022).
JAKARTA, KOMPAS – Indeks Persepsi Korupsi Indonesia membaik satu poin, ditopang terutama oleh penilaian lembaga survei asing terhadap perbaikan kemudahan berbisnis karena risiko korupsi ekonomi turun. Namun, korupsi politik dan penegakan hukum dinilai masih stagnan.
Skor Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 tercatat 38, naik dibanding IPK 2020 yang mencapai 37. Adapun skor pada 2020 turun dari IPK 2019 yang mencapai 40. Dari skala 0-100, makin tinggi skor satu negara, semakin dipersepsikan bebas korupsi negara itu. IPK merupakan komposit dari sejumlah indeks lain.
Di IPK 2021, skor Indonesia lebih rendah dari rata-rata global, yakni 43. Adapun skor rata-rata di Asia-Pasifik 45. Dari 180 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat ke-96.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam acara ”Peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2021” secara daring, Selasa (25/1/2022), mengatakan, kenaikan signifikan skor IPK 2021 ditunjang oleh faktor risiko korupsi yang dihadapi oleh pelaku usaha pada sektor ekonomi menurun. Contohnya, seperti penyuapan pada area ekspor-impor, kelengkapan penunjang, pembayaran pajak, serta kontrak dan perizinan yang dinilai menurun.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Turun, Evaluasi Kebijakan dan Sistem Politik

Deputi Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko dalam acara “Peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2021” secara daring, Selasa (25/1/2022).
Selain itu, juga ada kenaikan tiga indikator ekonomi dari tiga survei internasional yang lain. Misalnya, peningkatan skor di survei yang menilai bagaimana pembayaran biaya ekstra atau suap dilakukan untuk memperlancar bisnisnya atau World Economic Forum EOS, Global Insight Country Risk Ratings yang menilai risiko individual maupun perusahaan saat menghadapi korupsi untuk memperlancar bisnisnya, dan survei yang menilai soal eksistensi suap dan korupsi, yaitu IMD World Competitiveness Yearbook.
”Sekitar dua dekade CPI (KPI) Indonesia mengalami dinamika. Di tahun 2020, Indonesia sempat drop dari angka 40 menjadi 37. Tetapi, kalau kita hitung regresi liniernya, ada kenaikan 0,9 per tahun sehingga masih jadi cita-cita panjang kita bersama terkait upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Wawan.
Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko menambahkan, perbaikan kondisi korupsi ekonomi juga dibuktikan dengan penanganan korupsi besar seperti kasus korupsi bekas Menteri Sosial Juliari Batubara, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, serta dugaan suap pengurusan perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin pada tahun 2021. Penanganan megakorupsi Jiwasraya dan Asabri yang merugikan negara triliunan rupiah, juga capaian dari Satgas BLBI yang menyita aset dari debitor atau obligor prioritas dianggap meningkatkan skor IPK di bidang korupsi ekonomi.
”Tentu, upaya penanganan sejumlah skandal korupsi besar sepanjang masa pandemi Covid-19 ini memberikan kontribusi pada kenaikan IPK tahun 2021. Namun, pesan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan harus tetap fokus pada upaya penegakan hukum yang lebih transparan dan akuntabel. Partisipasi publik untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan jangan sampai dibelenggu dan dibatasi,” tutur Danang.
Baca juga: Skor Turun, Alarm Pemberantasan Korupsi

Hasil survei dari sembilan lembaga survei internasional yang dirangkum menjadi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) oleh Transparency International Indonesia diluncurkan secara daring di Jakarta, Selasa (25/1/2022).
Stagnasi
Wawan dan Danang menyoroti skor penanganan korupsi politik dan penegakan hukum yang masih stagnan. Dari survei tentang korupsi dalam sistem politik atau PRS International Country Risk Guide, skor turun dua poin dari 50 menjadi 48 tahun 2021. Skor survei tentang korupsi di kalangan pejabat publik menggunakan kekuasaannya tidak benar dan relasinya terhadap korupsi, yakni Bertelsmann Foundation Transform Index juga turun dari 37 menjadi 33 poin pada tahun ini. Adapun skor indeks demokrasi dari Varieties of Democracy Project juga turun dari 26 menjadi 22 poin tahun ini.
Adapun survei lain, yaitu indeks demokrasi dari Economist Intelligence Unit Country Ratings, PERC Asia Risk Guide, dan Indeks Penegakan Hukum atau World Justice Project-Rule of Law Index, skornya masih stagnan.
Untuk memperbaiki aspek yang turun dan stagnan itu, Danang menyarankan agar pemerintah berkomitmen dan serius menegakkan demokrasi, menjamin hak asasi manusia, dan menjaga kebebasan sipil. Pembatasan yang tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul yang diterapkan sejak awal pandemi harus dievaluasi dan ditangguhkan secara proporsional. Selain itu, penegakan hukum terhadap pembela hak asasi manusia di ruang publik baik secara fisik maupun daring harus dilakukan dengan menjunjung prinsip keadilan dan proporsionalitas.
”Independensi dan kewenangan otoritas lembaga pengawas kekuasaan seperti lembaga antikorupsi, lembaga pemeriksa/pengawas, harus dikembalikan. Lembaga tersebut harus bebas dari intervensi kekuasaan mana pun, memiliki sumber daya yang baik, dan diberdayakan untuk mendeteksi dan memberikan hukuman atas pelanggaran. Parlemen dan pengadilan juga harus dapat menjalankan fungsinya sebagai pegawas dan penyeimbang kekuasaan dengan cara konsekuen dan mandiri,” tutur Danang.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengapresiasi meningkatnya IPK tahun 2021. KPK berharap data lebih detail dari TII bisa diserahkan kepada KPK sebagai bahan evaluasi penindakan dan penegakan hukum. Menurut Pahala, saat ini korupsi masih ditemukan dalam pelayanan publik. Bahkan, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa korupsi kecil (petty corruption) itu paling banyak ditemukan di pelayanan publik, seperti pelayanan terpadu satu pintu.
”Realitasnya di lapangan masih menunjukkan korupsi paling buruk di tingkat pelayanan publik. Orang sudah tahu kalau memberi pegawai kelurahan itu korup, tetapi terkadang orang kelurahan masih minta,” kata Pahala.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021).
Selain itu, hasil survei penilaian integritas dari BPS yang dilakukan di 640 kementerian/lembaga juga menyebutkan masih ada suap dalam proyek pengadaan barang dan jasa, promosi jual-beli jabatan, ataupun gratifikasi. Ada pengalaman dari responden yang menyebutkan, baik internal pegawai pemerintah maupun eksternal masyarakat harus merasakan pengadaan barang dan jasa.
”Ini bukan hanya persepsi, tetapi sudah berupa pengalaman,” kata Pahala.
Hasil dari IPK juga menyebutkan, penanganan korupsi politik dan penegakan hukum masih stagnan. Oleh karena itu, KPK mengusulkan agar ada perubahan substantif yang dilakukan di partai politik. Partai politik selaku aktor utama penyumbang calon-calon untuk sirkulasi elite politik harus bisa berbenah untuk mencegah korupsi politik. Misalnya, membenahi soal dana parpol yang saat ini hanya dibiayai kecil oleh negara. Harus bisa dipikirkan bagaimana membenahi permasalahan dana parpol agar tidak ada celah untuk politikus melakukan korupsi politik.
”Untuk memperbaiki korupsi politik, pertama harus membenahi parpol, pemilihan kepala daerah. Selain itu juga harus mendorong perbaikan teknologi agar pelayanan publik bisa semakin baik lagi,” ucap Pahala.
Tidak signifikan

Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenur Rohman memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019). Aksi itu dilakukan bersama Jaringan Anti Korupsi Yogyakarta.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menilai bahwa tidak ada perbaikan signifikan dalam IPK Indonesia yang naik satu poin dibandingkan tahun sebelumnya. Ia menilai, IPK Indonesia stagnan sebab meski naik dari skor 37 menjadi 38, hal tersebut baru menyamai skor yang pernah diperoleh pada tahun 2018.
Adapun skor IPK Indonesia tertinggi di angka 40 pada 2019. Indonesia masih gagal untuk rebound di angka tersebut.
”Perbaikan satu poin ini tetap kita apresiasi, tetapi tida cukup karena (skor) itu masih memosisikan Indonesia sebagai negara korup. Sebab, (skor) Indonesia masih di bawah rata-rata global (43) dan rata-rata negara Asia Pasifik (45), sedangkan Indonesia di 38,” ujar Zaenur.
Kenaikan satu skor tersebut disumbang dari kenaikan persepsi di kalangan eksekutif atau kalangan bisnis internasional di mana dianggap ada perbaikan dalam hal risiko usaha, competitiveness, dan lainnya. Namun, Zaenur mengingatkan tentang penurunan di bidang demokrasi dan hukum termasuk di dalam faktor transparansi.
”Kita bisa melihat regresi demokrasi terus berlangsung. Regresi demokrasi itu memiliki andil terhadap buruknya IPK. Karena buruknya demokrasi itu menyebabkan tumpulnya lembaga pengawasan, lembaga yang mengontrol terhadap kekuasaan. Nah, tumpulnya lembaga pengawasan itu mengakibatkan kekuasaan menjadi tidak cukup terawasi, tidak cukup terkontrol, sehingga secara konsep sudah sangat jelas. Kekuasaan yang tidak terkontrol cenderung akan korup,” kata Zaenur.

Tangkapan layar Konferensi Pers Kinerja KPK 2021 yang dilangsungkan pada Rabu (29/12/2021). Hadir Ketua KPK Firli Bahuri, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Hal tersebut, tambahnya, juga konsisten dengan kondisi bahwa lembaga-lembaga pengawas seperti KPK tidak cukup independen setelah revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Selain itu, menurut Zaenur, ada masalah dalam tubuh pimpinan KPK.
”Jadi, yang mau saya katakan, kinerja di bidang perekonomian itu memperbaiki IPK, tetapi di bidang hukum terjadi stagnasi dan di bidang demokrasi mengalami penurunan. Naiknya kinerja di bidang ekonomi menopang kenaikan IPK satu poin. Tetapi itu jelas tidak cukup karena itu masih sama dengan posisi Indonesia 2018,” tuturnya.
Menurut Zaenur, apabila pemerintah ingin menaikkan skor IPK, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memperbaiki iklim demokrasi, menjaga kebebasan berpendapat, menjaga hak-hak rakyat untuk mengawasi pemerintahan, dan juga menjamin independensi lembaga-lembaga pengawas seperti KPK agar tetap berjalan dengan baik. ”Intinya, demokrasi harus diperbaiki dan dijaga, lembaga pengawas dijamin independensinya, baru itu menyumbang perbaikan IPK secara signifikan,” ucapnya
Ia juga menyoroti kontribusi pemerintahan Joko Widodo yang sudah berjalan tujuh tahun, tetapi baru bisa menyumbang kenaikan 4 basis poin dari total 100 poin IPK yang ada. ”Ketika Jokowi masuk pemerintahan, skor IPK Indonesia 34. Angka itu naik hingga kini 38,” ujarnya.
Apabila dibandingkan dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode (10 tahun), kenaikan skor itu masih lebih rendah. Sebab, dalam kurun waktu tersebut, SBY dapat menaikkan 14 basis poin, yaitu skor IPK 20 pada 2004 menjadi 34 pada 2014.

Infografik Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Oleh karena itu, katanya, Presiden Jokowi perlu menunjukkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Di sisa masa jabatannya yang tinggal dua tahun, ia perlu memperbaiki demokrasi, menjamin independensi lembaga pengawas seperti KPK, membuat program yang jelas dan terukur serta dapat dinilai secara obyektif. Misalnya, reformasi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian, mendukung pengesahan RUU yang bisa menjadi game changer, seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Tunai, dan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Tanpa ada keberpihakan yang jelas, tanpa ada agenda yang terukur yang dipimpin oleh Presiden, maka kontribusi Jokowi dalam pemberantasan korupsi sangat minim. Itu menunjukkan rendahnya komitmen Presiden,” ungkapnya.