Indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2020 ada di skor 37 atau turun tiga poin ketimbang pada 2019. Penurunan skor yang merupakan peristiwa kedua sejak 1999 ini menjadi peringatan pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai kelonggaran aturan terkait pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan anggaran di tengah upaya mengatasi pandemi Covid-19 beserta dampaknya ditengarai ikut memicu penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia. Namun, pandemi tak dapat sepenuhnya dijadikan alasan pembenaran penurunan skor tersebut.
Penurunan skor indeks persepsi korupsi (IPK), yang kali ini merupakan peristiwa kedua sejak 1999, menjadi alarm bagi pemberantasan korupsi di Tanah Air.
IPK 2020 yang diluncurkan Transparency International Indonesia (TII), Kamis (28/1/2021), di Jakarta, menunjukkan Indonesia mendapat skor 37, berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan bebas korupsi sebuah negara.
Skor IPK Indonesia pada tahun 2020 ini turun tiga poin dari IPK 2019. Sebelumnya, skor Indonesia turun dari 2,4 pada 2006 menjadi 2,3 pada 2007 (sebelum tahun 2012, rentang skor IPK berkisar 0-10).
Di IPK 2020, Indonesia turun satu peringkat ke posisi lima di Asia Tenggara, di bawah Singapura yang mempunyai skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Laode M Syarif menuturkan, penurunan IPK ini bukan lagi menjadi lampu kuning bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, melainkan lampu merah.
Sebab, sejak 2008, baru pada 2020 Indonesia mengalami penurunan skor. Artinya, lanjut Laode, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran. Jika melihat skor pada 2019 yang mencapai 40, seharusnya skor Indonesia bisa naik menjadi 42 atau bahkan lebih tinggi jika komponen penegakan hukum, demokrasi, dan politik diperbaiki.
Penyebab
Menanggapi turunnya IPK Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, kontroversi terkait revisi Undang-Undang KPK yang dianggap akan melemahkan pemberantasan korupsi bisa menimbulkan persepsi apa pun meskipun faktanya bisa benar dan tidak. Hal itu akan menimbulkan persepsi buruk di mata internasional.
Selain itu, menurut Mahfud, persepsi buruk itu juga disebabkan maraknya pemotongan hukuman oleh Mahkamah Agung terhadap para narapidana perkara korupsi. Bahkan, ada yang bebas di kasasi.
Wakil Ketua KPK Nurul Gufron menuturkan, turunnya IPK Indonesia bisa terjadi karena ada pandemi Covid-19. Dalam situasi pandemi, ada kelonggaran sejumlah ketentuan pengadaan barang dan jasa karena perlu adanya kecepatan untuk menyelamatkan masyarakat Indonesia.
”Tapi, faktanya, kelonggaran-kelonggaran itu selalu dijadikan kesempatan untuk melakukan korupsi,” kata Gufron.
Namun, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengingatkan, pandemi tidak boleh sepenuhnya dijadikan pembenaran karena di negara lain yang mengalami pandemi, mereka juga tidak mengalami penurunan IPK seperti di Indonesia.
”Soal korupsi ini, soal mengelola kekuasaan. Dalam kondisi pandemi, publik bisa melihat bagaimana pelaksanaan kekuasaan itu tidak sejalan dengan nilai-nilai akuntabilitas. Buktinya, ada pejabat negara tertangkap dalam kasus korupsi bantuan sosial pandemi. Ini menunjukkan problemnya bukan pada pandemi, melainkan pada pola pikir dan cara kekuasaan dikelola,” ucapnya.
Menurut Sigit, praktik legislasi yang buruk dan tak mendengarkan aspirasi publik juga menyumbang penurunan IPK 2020. Karena itu, perbaikan mesti dilakukan tidak hanya dengan meningkatkan akuntabilitas anggaran dan perubahan paradigma pengelolaan anggaran, tetapi juga memperbaiki kualitas legislasi dan menguatkan demokrasi.
Faktor integritas
Menurut Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko, turunnya IPK Indonesia tahun 2020 membuktikan sejumlah kebijakan yang bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan faktor integritas hanya akan memicu korupsi, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19.
Danang menjelaskan, penurunan terbesar indikator IPK Indonesia pada Global Insight dan PRS International Country Risk Guide dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan pebisnis pada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha.
”Dari sisi demokrasi, penurunan pada Varieties of Democracy Project menunjukkan korupsi politik masih terjadi secara mendalam pada sistem politik di Indonesia,” ujarnya.
Sementara kenaikan skor indikator Indonesia, lanjut Danang, terdapat pada sumber data World Justice Project-Rule of Law Index. Ini menunjukkan ada upaya perbaikan pada penegakan supremasi hukum.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, melalui keterangan tertulis, mengatakan, Presiden Joko Widodo tegas dalam menciptakan pemerintahan antikorupsi. ”Presiden selalu menekankan kepada kementerian dan lembaga serta seluruh pelaksana kebijakan dan program pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi,” ujarnya.
Presiden, kata Fadjroel, juga mendukung lembaga penegak hukum menindak pelaku korupsi sesuai regulasi dan tanpa pandang bulu. (PDS/REK/NTA)