Suap Pengurusan Perkara Rp 3,6 Miliar, Azis Syamsuddin Dituntut 4 Tahun 2 Bulan Penjara
Uang suap bagi bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, dan pengacara Maskur Husain digunakan untuk pengurusan perkara kasus DAK Lampung Tengah 2017 di KPK yang melibatkan Azis Syamsuddin.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dituntut 4 tahun 2 bulan penjara serta denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi. Jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak Azis selesai menjalani pidana pokok.
Tuntutan itu dibacakan secara bergantian oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Heradian Salipi, Lie Putra Setiawan, Yoga Pratomo, Wahyu Dwi Oktafianto, dan Rio Frandy, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (24/1/2022). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis dengan hakim anggota Fahzal Hendri dan Jaini Bashir.
Wahyu Dwi Oktavianto saat membacakan berkas tuntutan mengatakan, terdakwa Azis terbukti telah memberi uang secara bertahap yang seluruhnya mencapai Rp 3,09 miliar serta 36.000 dollar Amerika Serikat (AS) kepada bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, dan pengacara Maskur Husain.
Rinciannya, pada awal Agustus 2020, Azis menyerahkan uang Rp 100 juta kepada Robin. Lalu, pada tanggal 2, 3, 4, dan 5 Agustus 2020, Azis mentransfer uang total Rp 200 juta melalui rekening pribadinya kepada Maskur Husain. Pada 5 Agustus 2020, terdakwa juga menyerahkan mata uang asing 100.000 dollar AS kepada Robin dan Maskur. Dalam periode Agustus 2020-Maret 2021, Azis juga beberapa kali memberikan uang dengan jumlah keseluruhan 171.900 dollar Singapura kepada Robin dan Maskur.
”Terdakwa dan Stepanus Robin Pattuju mengingkari adanya pemberian uang 100.000 dollar AS dan 171.900 dollar Singapura secara tunai dari terdakwa kepada Robin dan Maskur Husain. Namun, keterangan terdakwa dan saksi bertentangan dengan bukti-bukti dan keterangan dari saksi yang hadir di persidangan,” ujar Wahyu.
Dengan beralihnya penguasaan uang senilai Rp 3,09 miliar dan 36.000 dollar AS dari Azis ke Robin dan Maskur, menurut jaksa, unsur delik kejahatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara itu berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya telah terbukti.
Berdasarkan uraian fakta di atas, jaksa berkesimpulan perbuatan terdakwa memberikan uang Rp 3,09 miliar dan 36.000 dollar AS (sekitar Rp 515 miliar) kepada Robin dan Maskur agar mereka membantu mengurus kasus yang melibatkan terdakwa dan orang kepercayaannya, Aliza Gunado, terkait penyelidikan KPK dalam kasus dugaan korupsi dana alokasi khusus (DAK) di Lampung Tengah tahun 2017. Padahal, hal itu jelas-jelas bertentangan dengan kewajiban Robin selaku penyelenggara negara untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Atas perbuatannya itu, Azis disebut telah melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Jaksa Lie Putra Setiawan menambahkan, hal-hal yang memberatkan terdakwa dalam perkara itu adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Perbuatan Azis juga merusak citra dan kepercayaan masyarakat kepada DPR serta dalam persidangan terdakwa tidak mengakui kesalahannya dan berbelit-belit saat memberikan keterangan.
”Adapun hal yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dituntut sebelumnya,” ujar Lie.
Terhadap tuntutan itu, Azis Syamsuddin akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi dalam persidangan berikutnya pekan depan, Senin (31/1/2022).
Secara terpisah, peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai tuntutan terhadap Azis sangat rendah. Ini karena Azis menyuap aparat penegak hukum yang bertugas untuk memberantas korupsi. Seharusnya, tuntutan bisa diperberat dengan alasan suap diberikan kepada aparat penegak hukum di KPK. Menurut dia, tuntutan rendah ini menunjukkan tidak ada komitmen dari KPK untuk memberikan efek jera dalam kasus-kasus mafia perkara di KPK.
”Ini adalah suap terhadap penegak hukum yang bekerja di KPK. Seharusnya, tuntutan bisa lebih berat sebagai bentuk dari kegelisahan KPK atas fenomena mafia perkara di KPK. Tuntutan empat tahun dua bulan tentu tidak memuaskan publik,” ucap Kurnia.
Namun, ia tidak heran dengan tuntutan rendah itu. Tak hanya kali ini, penanganan kasus politisi yang terlibat korupsi sering kali berujung pada tuntutan yang ringan. Sebagai contoh, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang dituntut lima tahun penjara.
”Namun, titik tekan di sini bukan pada penuntut umum karena perumusan tuntutan tidak semata ada di tangan JPU. Mereka harus berkoordinasi dan menunggu kebijakan dari pimpinan KPK. Artinya, ini menunjukkan tidak ada komitmen serius dari pimpinan KPK untuk memberantas mafia perkara di KPK,” tambahnya.