Hasil Rule of Law Index World Justice Project 2021, sistem peradilan perdata dan pidana di Indonesia masih menyumbang skor paling kecil. Masih ada problem, termasuk korupsi, di dalamnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Baliho bertuliskan pesan untuk melawan korupsi terpasang di Kompleks Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Minggu (8/12/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Operasi tangkap tangan terhadap hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Itong Isnaeni Hidayat, dan panitera pengadilan negeri setempat, Hamdan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Hal tersebut seakan mengonfirmasi banyak survei yang menyatakan korupsi di peradilan masih parah terjadi.
Peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmal Oemar, yang menjadi salah satu expert Rule of Law Index, World Justice Program untuk Indonesia, Kamis (20/1/2021), mengungkapkan, hasil Rule of Law Index WJP 2021 menunjukkan isu korupsi menempatkan Indonesia di nomor dua paling buncit di Asia Pasifik (14/15 negara). Dilihat lebih dalam, salah satu faktor terendahnya adalah korupsi lembaga peradilan (judicial corruption).
Menurut Erwin, selama ini masalah korupsi peradilan tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Padahal, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terlihat bahwa masih cukup banyak hakim dan perangkat peradilan yang korupsi. Akan tetapi, hingga kini belum ada upaya struktural untuk merespons permasalahan ini secara serius.
”KY (Komisi Yudisial) pun tidak bisa masuk karena wewenangnya terbatas hanya mengawasi hakim. Padahal, ada aktor-aktor lain yang bermain, seperti panitera. Namun, kita tidak pernah serius mengevaluasi problem ini dengan tuntas. Akibatnya, reformasi peradilan jalan di tempat,” ujarnya.
Secara umum, skor Rule of Law Index Indonesia pada 2021 turun 0,01 poin, yaitu dari 0,53 pada tahun 2020 menjadi 0,052. Meskipun hanya turun sekian poin, hal tersebut membuat posisi Indonesia turun jauh di tingkat global, dari peringkat ke-59 pada 2020 menjadi ke-68 pada 2021.
Menurut Erwin, ada lima indikator yang mengalami penurunan pada 2021, yaitu pada sistem peradilan pidana, peradilan perdata, pembatasan kekuasaan, keterbukaan pemerintah, dan perlindungan hak-hak dasar (fundamental right).
Khusus dalam indikator sistem peradilan perdata (civil justice), Indonesia berada di peringkat ke-68 dengan skor 0,45. Indonesia berada di bawah Zimbabwe, Vietnam, Zambia, Burkina Faso, Filipina, Hongaria, Sri Lanka, dan Nigeria. Indikator ini merekam persepsi publik tentang peradilan yang antidiskriminasi, bebas dari korupsi, dan pengaruh-pengaruh tidak layak dari pejabat-pejabat publik.
Khusus sistem peradilan pidana, skor Indonesia tahun 2021 lebih rendah lagi dan menjadi yang terburuk, yaitu 0,38.
Amankan sejumlah uang
KPK mengamankan sejumlah uang dalam rangkaian operasi tangkap tangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Rabu (18/1/2022). Para pihak yang diamankan dibawa ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tiga di antaranya hakim, panitera, dan pengacara.
”Kami mempunyai waktu 1 × 24 jam untuk bisa segera menentukan sikap atas hasil tangkap tangan tersebut,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Peristiwa tangkap tangan hakim PN Surabaya ini merupakan yang keempat yang dilakukan KPK pada Januari 2022. Sebelumnya, KPK menangkap Wali Kota Bekasi, Jawa Barat, Rahmat Effendi; Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Abdul Gafur Mas’ud; dan Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-Angin.
Mengawali tahun 2022, KPK sangat aktif dalam melakukan tangkap tangan pelaku korupsi. Sebelumnya, pada 2021, KPK hanya melakukan 6 kali operasi tangkap tangan (OTT) dan pada 2020 sebanyak 7 kali OTT. Puncak OTT sepanjang KPK berdiri dilakukan pada tahun 2018 dengan 30 kali tangkap tangan, kemudian pada 2019 dengan 21 kali peristiwa tangkap tangan.