Menyoal Vonis Nihil, Hakim Semestinya Bersikap Progresif
Hakim dinilai tak semestinya jatuhkan hukuman nihil pada Heru. Apalagi perbuatan terdakwa menyebabkan PT Asabri merugi Rp 22,7 triliun. Namun, vonis nihil ini juga menunjukkan adanya kelemahan dalam hukum acara pidana.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dinilai semestinya dapat berpikir progresif dalam menangani kasus korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa. Bukan sebaliknya menjatuhkan hukum pidana nihil terhadap Heru Hidayat, terdakwa dalam perkara korupsi pengelolaan dana investasi PT Asabri (Persero). Apalagi, sebelumnya Heru juga terbukti bersalah dalam kasus hampir serupa di PT Jiwasraya dan telah dijatuhi hukuman seumur hidup.
Putusan nihil itu mencederai rasa keadilan publik. Akibat perbuatan Heru dan sejumlah terdakwa lainnya, PT Asabri dirugikan tak kurang dari Rp 22,7 triliun. Begitu pula PT Jiwasraya dirugikan Rp 16 triliun. Dengan hukuman seumur hidup dalam perkara korupsi di PT Jiwasraya, terdakwa masih memiliki kesempatan melakukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) untuk meringankan hukuman penjara seumur hidup.
Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho, ketika dihubungi, Kamis (20/1/2022), berpandangan, dalam kasus korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, hakim seharusnya tidak terikat dengan surat dakwaan. ”Sebaliknya, sebagai penjaga peradaban, hakim seharusnya berpikir progresif,” ucapnya.
Dalam putusannya, majelis hakim dengan ketua majelis hakim Ig Eko Purwanto dan didampingi hakim anggota Ali Muhtarom, Mulyono Dwi Purwanto, Rosmina, dan Saefudin Zuhri itu tak mengabulkan tuntutan jaksa agar Heru dipidana hukuman mati. Majelis hakim beralasan, Heru telah divonis penjara seumur hidup dalam perkara korupsi pengelolaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang kini telah berkekuatan hukum tetap. Sementara tuntutan pidana mati tidak ada dalam dakwaan. Meskipun hakim tetap menjatuhkan hukuman terhadap Heru dalam perkara korupsi di PT Asabri berupa membayar uang pengganti Rp 12,6 triliun.
Secara teoretis, surat dakwaan adalah bahan yang diuji dalam persidangan. Namun, ketika substansi kejahatan terbukti, maka hakim tidak harus mengikuti apa yang ada dalam surat dakwaan.
Majelis hakim berpandangan bahwa surat dakwaan merupakan landasan, rujukan, dan batasan dalam pembuktian, penuntutan, dan putusan dalam suatu perkara pidana. Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari surat dakwaan. Pasal yang mengatur tentang pidana mati adalah Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Hibnu, secara teoretis, surat dakwaan adalah bahan yang diuji dalam persidangan. Namun, ketika substansi kejahatan terbukti, maka hakim tidak harus mengikuti apa yang ada dalam surat dakwaan. Terlebih, akibat perbuatan Heru dan sejumlah terdakwa lainnya telah menyebabkan PT Asabri merugi Rp 22,7 triliun. Sudah semestinya kerugian yang ditimbulkan dari kasus tersebut menjadi pemberat dalam putusan.
”Maka putusan nihil ini menjadi tidak bermakna. Padahal, putusan pengadilan itu harus bermakna. Hakim seharusnya keluar dari surat dakwaan. Karena kasus Asuransi Jiwasraya dan Asabri adalah kejahatan yang terjadi beruntun, maka kalau sebelumnya dia dipidana penjara seumur hidup, maka yang kasus kedua ini bisa dipidana mati,” tutur Hibnu.
Menanggapi putusan nihil itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah memerintahkan jaksa penuntut umum melakukan upaya hukum banding terhadap putusan majelis hakim yang memvonis pidana nihil kepada Heru.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan bahwa pada dasarnya pihaknya menghormati putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Namun, Burhanuddin mengaku ada hal yang kurang karena putusan itu dinilai sedikit mengusik rasa keadilan masyarakat.
”Padahal, kita memperhitungkannya kasus Jiwasraya dengan kerugian Rp 16 triliun dihukum seumur hidup, kemudian kasus Asabri dengan kerugian Rp 22,7 triliun terbukti, hukumannya adalah nihil,” ujar Burhanuddin, Rabu (19/1/2022).
Menurut Burhanuddin, ia memahami putusan majelis hakim tersebut dari sisi yuridis. Namun, Burhanuddin menilai, dengan vonis nihil tersebut, rasa keadilan masyarakat terusik. Oleh karena itu, kejaksaan akan melakukan upaya hukum banding terhadap putusan tersebut.
Keputusan Kejagung mengajukan banding itu pun diapresiasi Hibnu. Terlebih jika pada kemudian hari Heru mengajukan permohonan peninjauan kembali dan mendapatkan pengurangan hukuman, maka sudah seharusnya jaksa melakukan upaya hukum banding.
Dakwaan jadi landasan
Namun, pandangan berbeda dikemukakan pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan. Menurut Agustinus, hukum pidana di Indonesia bersifat bukan pembalasan murni, melainkan memperbaiki dan mengembalikan ke tengah masyarakat.
Demikian pula dalam penjatuhan sanksi pun terdapat banyak pembatasan, atau disebut kumulasi yang dibatasi sebagaimana dianut oleh negara-negara Eropa yang menjadi akar hukum pidana di Indonesia. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat yang memungkinkan hukuman atau vonis diakumulasikan.
Terkait dengan tuntutan mati tersebut, Agustinus berpandangan, seharusnya sedari awal tuntutan itu ada dalam dakwaan. Sebab, surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan perkara yang nantinya dibuktikan di persidangan.
Demikian pula unsur-unsur tentang pidana mati, yakni negara dalam keadaan darurat atau merupakan kejahatan pengulangan, akan dibuktikan di persidangan. Jika tidak ada dalam dakwaan dan kemudian jaksa menuntut pidana mati, hal itu dinilai sebagai kekeliruan.
”Tidak bisa seseorang yang tidak didakwakan itu dihukum. Kan, seorang terdakwa harus melakukan pembelaan,” kata Agustinus.
Menurut Agustinus, jika jaksa memasukkan pasal hukuman mati dalam dakwaan, maka hal itu akan memberikan ruang bagi majelis hakim untuk mempertimbangkannya. Meskipun demikian, tentu hakim juga akan mempertimbangkan bahwa Heru telah dihukum maksimal dalam kasus Asuransi Jiwasraya.
Menurut Agustinus, vonis nihil terhadap Heru tersebut sebenarnya telah menunjukkan adanya kekosongan regulasi. Sebab, hukum acara pidana di Indonesia tidak mengatur jika pada kemudian hari Heru mendapat keringanan hukuman untuk perkara sebelumnya, dalam hal ini korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya.
Kekosongan regulasi
Di sisi lain, Agustinus tidak sependapat dengan alasan banding yang dikemukakan Jaksa Agung bahwa rasa keadilan masyarakat tercederai. Alasan tersebut dinilai kurang tepat karena seolah hendak mengatakan bahwa majelis hakim kurang peka. Padahal, aturan dalam penjatuhan vonis memang telah diatur demikian.
Meski begitu, menurut Agustinus, vonis nihil terhadap Heru tersebut sebenarnya telah menunjukkan adanya kekosongan regulasi. Sebab, hukum acara pidana di Indonesia tidak mengatur jika pada kemudian hari Heru mendapat keringanan hukuman untuk perkara sebelumnya, dalam hal ini korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya. Padahal, dalam perkara Asabri dia divonis nihil atau tidak dihukum penjara.
Menurut Agustinus, hingga saat ini tidak ada aturan yang mengatur tentang keadaan tersebut. Oleh karena itu, hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi Mahkamah Agung maupun para akademisi di bidang hukum untuk mengkaji dan memikirkan solusinya.
Terkait dengan upaya banding kejaksaan, penasihat hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk, mengatakan, hingga saat ini tim penasihat hukum masih belum menentukan langkah berikutnya. Untuk keputusan banding, tim penasihat hukum akan berkoordinasi dengan Heru Hidayat terlebih dahulu.
Penanganan korupsi di PT Asabri ini tentu belum tuntas. Publik tetap berharap rasa keadilan terpenuhi.