Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati, Enam Terdakwa Lain Dituntut Penjara 10-15 Tahun
Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa terkait dugaan korupsi Asabri. Sementara itu, enam terdakwa lain dituntut 10-15 tahun penjara. Satu terdakwa lagi, Benny Tjokrosaputro, masih menjalani sidang pemeriksaan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi PT Asabri (Persero), jaksa penuntut umum membacakan lima tuntutan terhadap lima terdakwa, yakni Adam Rachmat Damiri, Hari Setianto, Lukman Purnomosidi, Jimmy Sutopo, dan Bachtiar Effendi. Mereka dituntut pidana penjara 10-15 tahun.
Dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi PT Asabri (Persero) yang dimulai Senin (6/12/2021), menjelang tengah malam, jaksa penuntut umum membacakan tuntutan terhadap lima terdakwa kasus tersebut secara berurutan. Pada sidang sebelum kelima terdakwa tersebut, jaksa penuntut umum telah membacakan tuntutan kepada Sonny Widjaja dan Heru Hidayat.
Sonny Widjaja dituntut pidana penjara selama 10 tahun. Bekas Direktur Utama Asabri 2016-2020 tersebut juga dituntut membayar uang pengganti Rp 64,5 miliar. Sementara itu, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut hukuman mati. Jaksa juga menuntut Heru membayar uang pengganti Rp 12,6 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulis, Selasa (7/12/2021), mengatakan, tuntutan dibacakan secara berurutan mulai dari Lukman Purnomosidi (Direktur Utama PT Prima Jaringan). Lukman dituntut pidana 13 tahun penjara dan pidana denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Lukman juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,3 triliun.
Kemudian, terhadap Jimmy Sutopo (Direktur Jakarta Emiten Investor Relation), jaksa menuntutnya dengan pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Jimmy juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 314,8 miliar.
Terhadap Bachtiar Effendi (Direktur Keuangan Asabri Oktober 2008-Juni 2014), jaksa menuntutnya dengan pidana 12 tahun penjara dan pidana denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Bachtiar dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 453,7 juta.
Kemudian, terhadap Hari Setianto (Direktur Asabri 2013-2014 dan 2015-2019), jaksa menuntutnya dengan pidana 14 tahun penjara dan pidana denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Hari juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 873,8 juta.
Terakhir, jaksa membacakan tuntutan terhadap Adam Rachmat Damiri (Dirut Asabri 2011-Maret 2016). Adam dituntut pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Sama dengan terdakwa yang lain, Adam juga dituntut membayar pengganti sebesar Rp 17,9 miliar.
Namun, dari ketujuh terdakwa yang dibacakan tuntutan pidananya tersebut, tuntutan terberat adalah terhadap Heru Hidayat (Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT Maxima Integra). Heru dituntut dengan pidana mati dan membayar uang pengganti sebesar Rp 12,6 triliun. Adapun tuntutan terhadap terdakwa Benny Tjokrosaputro belum dilakukan karena yang bersangkutan masih dalam proses pemeriksaan di persidangan.
Hukuman mati
Terkait dengan tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang mengancam pidana mati pelaku korupsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tersebut adalah dalam keadaan bencana alam nasional, krisis ekonomi atau keuangan, dan pengulangan tindak pidana atau residivis.
Dalam situasi masyarakat yang sudah marah terhadap korupsi, tuntutan pidana mati dalam kasus korupsi akan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Namun, pihaknya mengingatkan bahwa penerapan pidana mati untuk kasus korupsi memiliki kelebihan dan kelemahan.
”Masyarakat justru harus kritis untuk mengawasi penerapannya. Jangan sampai dengan menuntut pidana mati seakan-akan sudah menunjukkan itikad baik pemerintah dalam perang melawan korupsi,” kata Zaenur.
Zaenur mengatakan, argumentasi pendukung pidana mati untuk kasus korupsi antara lain bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat serius yang mengakibatkan rakyat sengsara. Sementara, selama ini para koruptor tidak pernah jera atas pidana yang dijatuhkan karena vonis ringan dan adanya fasilitas seperti remisi atau pembebasan bersyarat.
Bagi mereka yang menolak hukuman mati, lanjut Zaenur, biasanya berargumentasi pada hak asasi manusia, yakni hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Terlebih, penegakan hukum yang dijalankan negara masih belum sepenuhnya terbebas dari kesalahan. Selain itu, tidak ada bukti ilmiah bahwa hukuman mati akan membuat efek jera dalam korupsi.
Terhadap kasus Asabri, menurut Zaenur, penuntut umum berpendapat terdakwa telah berulang kali korupsi karena sebelumnya ia telah menjadi terpidana dalam perkara Asuransi Jiwasraya. Padahal, menurut Zaenur, pengulangan pidana terjadi ketika seseorang yang telah dijatuhi pidana kembali mengulangi perbuatan pidana. Sementara, jika terpidana melakukan beberapa kali perbuatan sebelum diadili, hal itu bukan pengulangan pidana, melainkan perbarengan (concursus).
"Terlepas dari pro kontra pidana mati, korupsi sebagai kejahatan bermotif ekonomi maka bentuk pemidanaannya harus dapat memiskinkan melalui perampasan aset hasil kejahatan. RUU Perampasan Aset inilah salah satu indikator keseriusan negara dalam melawan korupsi. Namun sayangnya terus ditolak DPR dan pemerintah," ujar Zaenur.