Divonis Penjara Seumur Hidup di Kasus Jiwasraya, Kini Heru Dituntut Hukuman Mati di Kasus Asabri
Dalam perkara korupsi Jiwasraya, Heru Hidayat divonis penjara seumur hidup dan wajib membayar pengganti Rp 10,7 triliun. Kini, dalam kasus Asabri, dia dituntut hukuman mati dan membayar uang pengganti Rp 12,6 triliun.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
Terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa. Sebab, ia dinilai bersama-sama terdakwa lain merugikan negara Rp 22,7 triliun dan menimbulkan korban baik langsung maupun tidak langsung yang sangat banyak. Sebelumnya, dalam perkara korupsi Asuransi Jiwasraya, Heru telah dijatuhi hukuman seumur hidup.
Dalam sidang kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) dengan agenda pembacaan tuntutan, Senin (6/12/2021) malam, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, jaksa juga menuntut Heru membayar uang pengganti Rp 12,6 triliun. Sebagai catatan, dalam perkara Jiwasraya, Heru juga dihukum membayar uang pengganti Rp 10,7 triliun.
Sidang malam itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Ig Eko Purwanto dengan didampingi hakim anggota Ali Mutharom dan Mulyono Dwi P. Adapun tuntutan dibacakan secara bergantian oleh tim jaksa penuntut umum.
”Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang,” kata jaksa.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai perbuatan Heru dan terdakwa lain telah menyebab kerugian negara Rp 22,7 triliun. Sementara, perbuatan tersebut dinilai telah memperkaya Heru maupun terdakwa lainnya. Heru disebut menikmati uang dari pengelolaan dana investasi Asabri Rp 12,6 triliun.
Pihak lain yang dinilai turut menerima aliran dana terkait Asabri adalah Sonny Widjaja (Dirut Asabri 2016-2020) yang disebut menerima uang Rp 64,5 miliar; Adam Rachmat Damiri (Dirut Asabri 2011-Maret 2016) yang disebut menerima beberapa kali aliran uang, yakni Rp 5,02 miliar, Rp 4,25 miliar, Rp 2,78 miliar, Rp 3 miliar, serta Rp 1,5 miliar.
Selain itu juga Bachtiar Effendi (Direktur Keuangan Asabri Oktober 2008-Juni 2014) yang disebut menerima Rp 500 juta; almarhum Ilham Wardhana Siregar (Kepala Divisi Investasi Asabri 2012-2017) yang disebut menerima Rp 238,8 miliar; serta Hari Setianto (Direktur Asabri 2013-2014 dan 2015-2019) yang disebut menerima uang Rp 873,8 juta.
Pihak lain yang disebutkan turut menerima aliran dana terkait Asabri adalah Benny Tjokrosaputro dan Jimmy Sutopo yang disebut menerima uang Rp 6,087 triliun; Lukman Purnomosidi dan Danny Boestami yang disebut menerima Rp 1,3 triliun, Bety dan Lim Angie Christina yang disebut menerima Rp 431,3 miliar; Edward Seky Soeryadjaya yang disebut menerima Rp 147,3 miliar; serta Rennier yang disebut menerima Rp 254 miliar.
”Berdasarkan keterangan saksi-saksi serta didukung laporan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan, terdapat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur penempatan dana dengan beberapa dan 13 perusahaan manajer investasi pada penempatan saham dan reksa dana tanpa mempertimbangkan risiko, padahal saham-saham tersebut merupakan saham berisiko sehingga pada akhirnya tidak memberikan keuntungan kepada PT Asabri,” tutur jaksa.
Terkait pencucian uang, jaksa menilai dari tahun 2016 sampai 2019, Heru telah menempatkan dana yang diperoleh terkait Asabri di perbankan, baik atas nama dirinya maupun atas nama orang lain atau perusahaan. Selain itu, uang hasil tindak pidana korupsi itu dibelanjakan dengan mengatasnamakan orang lain, antara lain untuk membeli apartemen, tanah dan bangunan, serta aset lainnya.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai nilai kerugian negara dan uang yang dinikmati Heru di luar nalar kemanusiaan dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Terlebih, Heru juga telah dinyatakan terbukti bersalah dalam perkara korupsi Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp 16,8 triliun. Dalam kasus Asuransi Jiwasraya, Heru dinilai menikmati uang Rp 10,7 triliun.
Selain itu, skema kejahatan yang dilakukan dinilai sebagai kejahatan yang rumit karena dilakukan dalam periode yang panjang dan dilakukan berulang serta melibatkan banyak skema. Perbuatan itu dinilai telah menimbulkan korban, baik langsung maupun tidak langsung, yang sangat banyak dan bersifat meluas.
Heru juga dinilai telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikasi kejahatan yang tidak pandang bulu. Sementara, Heru dinilai tidak memiliki empati dengan tidak mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela dan tidak pernah menunjukkan perbuatan yang dilakukannya itu salah, termasuk tidak menunjukkan rasa bersalah dalam persidangan.
”Agar menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati, membayar uang pengganti sebesar Rp 12,6 triliun dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,” papar jaksa.
Kuasa hukum menolak
Terhadap tuntutan mati tersebut, kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk, mengatakan, hal itu berlebihan dan menyalahi aturan. Sebab, hukuman mati dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diatur di Pasal 2 Ayat (2). Sementara, di dakwaan terhadap Heru Hidayat, jaksa tak menyertakan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor. Sebaliknya, jaksa hanya mendakwa Heru dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, serta Pasal 3 dan Pasal 4 UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang.
”Bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dakwaan. Tuntutan di luar dakwaan ini jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang jaksa penuntut umum atau bisa dianggap sebagai abuse of power,” kata Kresna.
Alasan lainnya, lanjut Kresna, syarat dari hukuman mati adalah ketika negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana. Di mana dalam perkara Heru Hidayat, kata dia, syarat dan kondisi itu tidak ada. Selain itu, perkara Asabri yang didakwakan penuntut umum diduga terjadi pada 2012-2019 atau sebelum Heru dihukum dalam kasus Asuransi Jiwasraya. Dengan demikian, alasan jaksa bahwa Heru melakukan pengulangan tindak pidana tak benar.
Menurut Kresna, tuntutan tersebut telah mencederai rasa keadilan, khususnya bagi Heru Hidayat. Oleh karena itu, pihaknya berharap agar majelis hakim tidak memutus di luar dakwaan.
Kasus Jiwasraya
Sebelumnya, dalam perkara Asuransi Jiwasraya, Heru dan Benny Tjokrosaputro juga dijerat dengan pasal korupsi dan pencucian uang. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kemudian menjatuhkan pidana seumur hidup kepada Benny dan Heru. Kepada mereka berdua, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti Rp 16,79 triliun secara tanggung renteng. Benny harus membayar uang pengganti Rp 6 triliun, sedangkan Heru Hidayat Rp 10,7 triliun.
Tidak terima dengan putusan tersebut, Heru mengajukan banding yang kemudian dilanjutkan dengan kasasi. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menolak kasasi Heru dan Benny Tjokrosaputro. Majelis kasasi justru menguatkan putusan pengadilan tingkat sebelumnya yang menjatuhkan pidana penjara seumur hidup kepada Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro.