Langkah Penertiban Ribuan Izin dan Amanat Memakmurkan Rakyat
Pencabutan izin-izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan negara yang tak dijalankan menjadi momentum perbaikan besar-besaran. Masih banyak problem yang jadi pekerjaan rumah pemerintah.

Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan terkait pencabutan izin usaha tambang, kehutanan, dan hak guna usaha di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/1/2022).
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 3 ini kembali dikutip Presiden Joko Widodo, di dalam dua kesempatan berbeda, saat menyampaikan pernyataan di pekan pertama Januari 2022.
Amanat konstitusi ini diungkapkan Presiden Jokowi saat memberikan pernyataan terkait pasokan batubara, LNG (gas alam cair), dan harga minyak goreng di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (3/1/2022) awal pekan lalu.
Di kesempatan tersebut Kepala Negara menuturkan bahwa pemerintah mewajibkan perusahaan swasta, badan usaha milik negara (BUMN), beserta anak perusahaannya yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, maupun pengolahan sumber daya alam lainnya untuk menyediakan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum mengekspor.
Berselang tiga hari, bertempat di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/1/2022), amanat itu kembali dikutip Kepala Negara saat menyampaikan keterangan pers terkait pencabutan izin-izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan negara yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukkan dan peraturan.

Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan terkait pencabutan izin usaha tambang, kehutanan, dan hak guna usaha di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/1/2022).
Di kesempatan tersebut, Presiden Jokowi mengatakan, 2.078 izin perusahaan penambangan mineral dan batubara dicabut karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja. Izin itu sudah bertahun-tahun diberikan, tetapi tidak dikerjakan. ”Ini mengakibatkan tersanderanya pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” katanya.
Pemerintah juga mencabut sebanyak 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektar (ha) karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan. Selanjutnya pemerintah pun mencabut hak guna usaha (HGU) perkebunan seluas 34.448 ha yang ditelantarkan. Perinciannya, seluas 25.128 ha adalah milik 12 badan hukum dan sisanya, yakni seluas 9.320 ha, merupakan bagian dari HGU yang telantar milik 24 badan hukum.
Baca Juga: Pencabutan Izin Usaha Bermasalah Dinilai Tepat
Pembenahan dan penertiban izin ini disebutkan merupakan bagian integral dari perbaikan tata kelola pemberian izin pertambangan, kehutanan, serta perizinan yang lain. Pemerintah terus melakukan pembenahan dengan memberikan kemudahan izin usaha yang transparan dan akuntabel.
”Tetapi, izin-izin yang disalahgunakan pasti akan kami cabut,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Pengunjuk rasa mengusung tulisan yang mendesak pemerintah mencabut izin usaha pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (14/3/2019). Desakan itu akhirnya diakomodasi oleh pemerintah dengan rencana akan mencabut izin tambang di kabupaten itu.
Presiden Jokowi menuturkan bahwa pemerintah harus memegang amanat konstitusi bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah akan memberikan kesempatan pemerataan dan pemanfaatan aset bagi kelompok-kelompok masyarakat serta organisasi-organisasi sosial keagamaan yang produktif.
Indonesia terbuka bagi investor yang kredibel, yang memiliki rekam jejak dan reputasi yang baik, serta memiliki komitmen untuk ikut menyejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam.
Kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan yang produktif dimaksud termasuk kelompok petani, pesantren, dan lain-lain yang bisa bermitra dengan perusahaan yang kredibel dan berpengalaman. ”Indonesia terbuka bagi investor yang kredibel, yang memiliki rekam jejak dan reputasi yang baik, serta memiliki komitmen untuk ikut menyejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam,” kata Presiden Jokowi.
Respons
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan mendukung langkah Presiden Jokowi tersebut. Pencabutan izin-izin usaha yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai peraturan tersebut dinilai sesuai prinsip keberimbangan.
”Pemerintah memberikan sanksi atau punishment bagi pelanggar aturan atau prinsip dan memberikan reward yang proporsional bagi perusahaan yang sudah menjalankan kewajibannya dengan baik,” kata Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid dalam keterangan resminya, Kamis (6/1/2022).

Kondisi areal pertambangan batubara di wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Rabu (18/2/2015). Kegiatan penambangan terbuka menjadi salah satu penyebab lahan kritis di Kalsel.
Menurut Arsjad, pengabaian begitu saja atau tidak dimanfaatkannya secara jelas ribuan izin pertambangan dan kehutanan yang diberikan pemerintah merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan serta menghambat pemerataan dan kemajuan ekonomi nasional.
Dia pun setuju jika pemerintah memberikan atau mendistribusikan lahan-lahan tersebut kepada investor yang serius berinvestasi atau kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan yang produktif.
Baca Juga: Baru 11 Persen, Distribusi Lahan Perhutanan Sosial di Sumut Perlu Dipercepat
Pemanfaatan lahan-lahan negara, baik itu bidang pertambangan atau kehutanan, oleh kelompok masyarakat produktif bekerja sama dengan perusahaan yang kredibel dan berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dinilainya akan menghasilkan dampak luar biasa bagi masyarakat sekitar lahan tersebut.
”Ada efek domino besar yang dihasilkan dari pemanfaatan lahan-lahan tersebut, mulai terbukanya lapangan pekerjaan yang secara otomatis mengurangi kemiskinan, membuat masyarakat memperbaiki taraf hidupnya, (serta) membantu bertumbuhnya ekosistem perdagangan di sekitar wilayah usaha itu mulai UMKM, usaha properti, jasa, dan lainnya,” kata Arsjad.

Warga memanen ketela pohon yang dijual Rp 1.600 per kilogram dari lahan yang berada di sekitar lereng Pegunungan Kendeng, Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (19/11/2015). Rencana pertambangan yang mengeksploitasi kawasan karst Kendeng menjadi salah satu ancaman lingkungan terutama bagi lahan pertanian dan sumber air.
Arsjad meyakini pemerintah akan memberikan kesempatan pemerataan pemanfaatan aset bagi investor kredibel, memiliki rekam jejak dan reputasi baik, memiliki komitmen ikut menyejahterakan dan memberdayakan rakyat untuk makmur dan naik kelas, serta berkomitmen pula dalam menjaga kelestarian alam.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengapresiasi penertiban izin-izin tambang yang melanggar serta pencabutan izin sektor kehutanan dan HGU yang ditelantarkan. Hal tersebut diakui ditunggu masyarakat.
Bahkan, pemerintah perlu memberikan sanksi untuk para pelanggar aturan, termasuk perusahaan-perusahaan tambang yang meninggalkan lahan dalam kondisi rusak akibat eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukannya.
Tujuan dan sasaran pencabutan (izin) tersebut dipertanyakan. Kalau untuk memperbaiki ketimpangan, jumlah yang ditertibkan terlalu sedikit.
Kendati demikian, Dewi mempertanyakan tujuan dan sasaran pencabutan tersebut. ”Kalau untuk memperbaiki ketimpangan, jumlah yang ditertibkan terlalu sedikit,” ujarnya, Senin (10/1/2022).

Petugas menunjukan dokumen yang dipalsukan yang digunakan untuk mendapatkan sertifikat hak milik di sebuah lahan HGU milik perusahaan perkebunan di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Senin (20/12/2021). Atas kasus ini delapan orang ditetapkan sebagai tersangka. Enam orang di antaranya ditetapkan untuk kasus kepemilikan senjata api.
Sebagai perbandingan, HGU perkebunan yang dicabut hanya 34.000 ha, sedangkan data potensi tanah telantar di sektor perkebunan mencapai tujuh juta ha. Luasan lahan yang dikuasai korporasi perkebunan sawit saja mencapai 16 juta ha.
Baca Juga: Menunggu Realisasi Komitmen Reforma Agraria Presiden Jokowi
Lahan perkebunan yang dikuasai BUMN seperti Perhutani dan PTPN pun banyak yang berkonflik dengan masyarakat. Namun, niatan pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria ini belum tampak. Selain itu, lanjut Dewi, hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanah yang dikuasai BUMN yang ditelantarkan atau sudah kadaluwarsa HGU-nya juga akan ditertibkan.
Kalau langkah ini dilakukan untuk mengatasi ketimpangan dan kemiskinan struktural, seharusnya masyarakat setempat, petani gurem, (serta) buruh tani yang berada di bawah garis kemiskinan yang mendapat akses lahan itu.
Subyek yang akan mendapat keuntungan dari penertiban tersebut juga dipertanyakan.
”Apakah lahan pertambangan, perkebunan, dan kehutanan itu akan bisa diakses masyarakat atau menjadi modus supaya perusahaan atau investor mendapat akses? Kalau langkah ini dilakukan untuk mengatasi ketimpangan dan kemiskinan struktural, seharusnya masyarakat setempat, petani gurem, (serta) buruh tani yang berada di bawah garis kemiskinan yang mendapat akses lahan itu,” tutur Dewi.

Suasana permukiman warga di salah satu kampung yang berada di Lembah Kebar, Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, Sabtu (17/4/2021). Selama ini hutan di Lembah Kebar menyediakan banyak sumber daya yang bisa digunakan masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Tak hanya itu, lahan-lahan tersebut bisa saja bagian dari hasil perampasan tanah adat di masa lalu. Oleh karena itu, lahan-lahan hasil penertiban itu perlu dikembalikan juga ke masyarakat adat.
Reforma agraria
Apabila pemerintah serius dengan upaya penertiban lahan dan berniat mengatasi kemiskinan, penyelesaian kebijakan tersebut harus dalam kerangka reforma agraria. Tanpa itu, menurut Dewi, langkah pemerintah hanya menjadi gula-gula untuk memulihkan ekonomi dan mengatasi ketimpangan tanpa menyelesaikan akar masalahnya.
Sementara itu Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov menuturkan, selain pencabutan izin, hal yang juga krusial adalah menyangkut transparansi, akuntabilitas, dan kredibilitas proses atau mekanisme distribusi atau pemberian izin kepada pemegang izin baru nantinya.
”Apalagi, kita khawatir di tengah situasi menuju tahun politik, walaupun relatif masih agak jauh, tetapi kan konsesi izin usaha sektor ini cukup strategis, sehingga – pasti akan banyak pihak yang ingin mendapatkan hak kelola,” katanya.

Presiden Joko Widodo berdialog dengan dua warga penerima lahan reforma agraria, Kamis (5/9/2019), di Taman Digulis Pontianak. Pemerintah menyerahkan lahan dari tanah obyek reforma agraria (TORA) seluas lebih dari 19.000 ha kepada 760 penerima di Kalimantan.
Terkait hal tersebut, menurut Abra, pemerintah mesti mendistribusikan atau memberikan izin tersebut setransparan mungkin. Artinya, jangan sampai nanti pemberian izin itu ujung-ujungnya hanya dinikmati atau didistribusikan kepada kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan dengan urusan politik.
Distribusi izin juga mesti proporsional dan afirmatif. Izin-izin semestinya bukan hanya diberikan kepada pemodal atau pemilik jaringan, tetapi juga bagi masyarakat lokal, badan usaha lokal, atau kelompok-kelompok yang selama ini dianggap marginal.
Distribusi izin mesti proporsional dan afirmatif. Izin-izin semestinya bukan hanya diberikan kepada pemodal atau pemilik jaringan, tetapi juga bagi masyarakat lokal, badan usaha lokal, atau kelompok-kelompok yang selama ini dianggap marginal.
Abra tidak menampik kemungkinan tak kunjung dikerjakannya izin yang telah diberikan bertahun-tahun bukan semata dari internal perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan kendala teknis di lapangan. Selain itu, kendala regulasi pun dimungkinkan menjadikan perusahaan belum dapat mengoptimalkan aset secara maksimal dalam beroperasi. Hal-hal seperti ini dipandang juga harus menjadi bagian evaluasi dari pemerintah.

Supriyanto
Pencabutan izin-izin menjadi momentum perbaikan besar-besaran untuk melakukan evaluasi menyeluruh bukan hanya ke perusahaan tetapi juga ke pemerintah di level pusat maupun daerah. Tanpa ada evaluasi menyeluruh dan penyelesaian masalah utamanya, maka ketika nanti konsesi diserahkan ke pemegang baru juga tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya.
Baca Juga: Memahami Inkonstitusional Bersyarat dan Konstitusional Bersyarat dalam Putusan MK
”Ini momentum besar-besaran. Apalagi, pascapemerintah waktu itu mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja kan salah satu semangatnya bisa melakukan reformasi birokrasi supaya mendorong iklim investasi yang lebih baik,” kata Abra.
Dalam konteks sistem pengelolaan sumber daya alam semestinya hal ini juga menjadi momentum perbaikan seiring langkah pemerintah yang sedang memperbaiki UU Cipta Kerja pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil, banyak pekerjaan yang mesti dilakukan agar upaya memakmurkan rakyat sesuai amanat konstitusi terealisasi dan tidak menjadi asa belaka.