Menunggu Realisasi Komitmen Reforma Agraria Presiden Jokowi
Penguasaan kawasan hutan oleh pengusaha besar mencapai 95,74 persen, sedangkan oleh masyarakat hanya 4,14 persen. Selain itu, terjadi sejumlah ketimpangan lain. Hal ini, antara lain, disebabkan penerbitan HGU.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
KOMPAS/NINA SUSILO
Presiden Joko Widodo menanam pohon durian serumbut (Durio zibethinus var serumbut) asal Kabupaten Sanggau di Taman Digulis, Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (5/9/2019). Durian ini adalah satu dari sepuluh jenis durian unggul. Penanaman pohon dilakukan sebelum Presiden menghadiri penyerahan tanah obyek reforma agraria.
Berkali-kali, Presiden Joko Widodo mengatakan tak ingin ada sengketa lahan lagi. Bahkan, menjelang peringatan Hari Tani Nasional 2021, saat membagikan 124.120 sertifikat, Rabu (22/9/2021), Presiden kembali menegaskan harapannya itu.
Sengketa lahan hampir selalu diadukan warga dalam kunjungan kerja Presiden ke sejumlah daerah. Ada sengketa antara warga dan perusahaan, antara warga dan warga, ataupun antara warga dan BUMN.
Sumbernya, menurut Presiden Jokowi, adalah administrasi kepemilikan lahan yang tidak benar. Oleh karena itu, penerbitan sertifikat dikebut sejak 2017 meski agak melempem pada tahun 2020.
Pemikiran tersebut tentu tak salah. Namun, itu bukan jawaban atas segala konflik tanah yang berlangsung menahun dan terus bertambah setiap tahun.
Saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria disahkan, reforma agraria dimandatkan untuk mengembalikan hak-hak warga yang tercerabut akibat kolonialisme. Namun, belum sempat diimplementasikan, perubahan rezim ke Orde Baru melahirkan aturan perundang-undangan sektoral yang memberikan akses penguasaan tanah kepada para investor. Perampasan tanah kembali terjadi atas nama investasi.
Reformasi 1998 pun belum sempat mengembalikan reforma agraria pada jalurnya. Sementara izin-izin penggunaan lahan lewat hak guna usaha (HGU) terus diterbitkan atau diperpanjang.
Kendati demikian, 5.512 sertifikat lahan yang pernah berkonflik telah dibagikan Presiden. Lahan sengketa yang telah diselesaikan dan diterbitkan sertifikatnya itu, menurut Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang Andi Tenrisau, mencapai luasan 2.420 hektar untuk 5.512 bidang lahan. Sertifikat diterima 4.037 keluarga di delapan kabupaten/kota di enam provinsi, yakni Bali, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Jambi, dan Jawa Timur.
Perkembangan program tanah obyek reforma agraria (TORA) yang disampaikan Direktorat Jenderal Planologi, Kehutanan, dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jumat (5/4/2019).
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengapresiasi upaya yang ditempuh pemerintah tersebut. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pemerintah tetap perlu melakukan terobosan supaya penyelesaian sengketa lahan bisa lebih sistematis. Penanganan yang kasuistis dan hanya memilih menyelesaikan kasus yang mudah saja akan membuat reforma agraria semakin jauh dari kenyataan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) saja, menurut Dewi, mengusulkan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) di 532 desa/kampung seluas lebih dari 654.854 hektar yang mewakili 201.000 keluarga. Sebanyak 333 desa berkonflik dengan perkebunan, sedangkan 199 lainnya dengan klaim-klaim kawasan hutan.
Pemerintah tetap perlu melakukan terobosan supaya penyelesaian sengketa lahan bisa lebih sistematis. Penanganan yang kasuistis dan hanya memilih menyelesaikan kasus yang mudah saja akan membuat reforma agraria semakin jauh dari kenyataan.
Namun, konflik agraria yang dihimpun KPA dari anggota-anggotanya sudah mencapai 1,1 juta hektar. ”Karenanya, kalau penanganan kasuistis dan hanya mencari yang clean and clear, apalagi menghindari kasus besar seperti yang berhadapan dengan PTPN (PT Perkebunan Nusantara) dan Perhutani, kita harus menunggu ratusan tahun untuk selesai,” kata Dewi.
Saat bertemu organisasi masyarakat sipil pada Desember 2020, selain telah melakukan diskresi hukum untuk mempercepat penanganan konflik agraria, Presiden Jokowi pun berjanji merevisi Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Janji itu diharapkan dapat diwujudkan.
Warga mengikuti penyerahan sertifikat redistribusi obyek reforma agraria tahun 2021 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/9/2021).
Revisi ini diperlukan untuk memperkuat kelembagaan pelaksana reforma agraria. Sebab, konflik agraria terjadi lintas sektor. Untuk itu, diharapkan kelembagaan ini dipimpin langsung oleh Presiden. Payung hukumnya pun diharapkan berbentuk peraturan pemerintah.
”Kita perlu lembaga eksekutorial. Berapa kali petani jalan kaki ketemu Presiden, tetapi enggak kelar-kelar. Sebab, lahannya berkonflik dengan institusi di bawah (Kementerian) BUMN, misalnya,” tambah Dewi.
Dalam diskusi bertajuk ”Kemunduran Demokrasi dan Gagalnya Reforma Agraria” yang diselenggarakan LP3ES, Kamis (23/9/2021), Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary juga menilai reforma agraria di Indonesia masih jauh panggang dari api.
Hal ini ditandai dengan timpangnya penguasaan lahan. Kendati mandat reforma agraria adalah setiap orang memiliki 2 hektar, kata Rakhma, Data Sains 2019 menunjukkan bahwa 54,29 persen lahan pertanian rakyat dikuasai 12,37 persen golongan petani yang menguasai lahan 2 hektar ke atas. Sementara 45,71 persen lahan pertanian menampung 87,63 persen petani yang memiliki lahan di bawah batas minimum.
Penguasaan lahan untuk sawit melalui hak guna usaha (HGU) mencapai 15 juta hektar. Lebih dari 2,5 juta hektar dikuasai sepuluh grup usaha atau rata-rata setiap grup menguasai lahan lebih dari 253.000 hektar. Penguasaan lahan sawit ini berbanding terbalik dengan lahan sawah yang dicatat Kementerian Agraria dan Tata Ruang hanya seluas 7,4 juta hektar.
Presiden Joko Widodo menyerahkan sertifikat redistribusi obyek reforma agraria tahun 2021 untuk 124.120 bidang lahan secara daring dan luring dari Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (22/9/2021).
Penguasaan kawasan hutan juga timpang. Hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam KPK pada 2018 menyebutkan, 40,46 juta hektar lahan kawasan hutan dikuasai usaha besar. Sebaliknya, masyarakat hanya menguasai 1,74 juta hektar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata Rakhma, juga menyebutkan hal serupa. Penguasaan kawasan hutan oleh pengusaha besar mencapai 95,74 persen, sedangkan oleh masyarakat hanya 4,14 persen.
Ketimpangan-ketimpangan ini terus terjadi karena penerbitan surat keputusan HGU dan izin-izin kehutanan, pertambangan, dan lainnya tanpa izin masyarakat. Selain itu, proyek-proyek infrastruktur yang mulai massif pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan semakin kuat pada masa Presiden Jokowi semakin menggerus lahan rakyat. Konversi lahan pertanian untuk kepentingan infrastruktur dan invetasi mencapai 200.000 hektar sawah per tahun.
Perlu ada pendekatan sosiokultural historis dalam penanganan berbagai konflik lahan. Dengan demikian, dinamika masyarakat lebih komprehensif.
Pada kesempatan yang sama dalam diskusi LP3ES, Umar Sholahudin, sosiolog konflik agraria Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, mengingatkan, perlu ada pendekatan sosiokultural historis dalam penanganan berbagai konflik lahan. Dengan demikian, dinamika masyarakat lebih komprehensif. ”Ini tampaknya absen dalam pendekatan penyelesaian konflik agraria,” ujarnya.
Reforma agraria yang sesungguhnya, dalam artian penyelesaian sengketa lahan dan mengembalikan lahan yang dirampas dari masyarakat, juga perlu segera diselesaikan pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi. Tanpa hal itu, pemiskinan sosial ekonomi secara struktural akan berlanjut. Kekerasan demi kekerasan muncul. Kriminalisasi masyarakat adat dan petani berlanjut.
Masyarakat tentu berharap Presiden Jokowi betul-betul bisa mewujudkan harapan mereka agar tak ada lagi sengketa lahan dan reforma agraria bukan sekadar jargon.