Memahami Inkonstitusional Bersyarat dan Konstitusional Bersyarat dalam Putusan MK
Keputusan MK yang menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja bukan kali ini saja. Sebelumnya, MK juga pernah memutuskan inkonstitusional dengan catatan terhadap Pasal 53 UU KPK.

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Minggu (20/12/2020). MK telah menerima 76 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sejak pengumuman hasil rapat pleno Pilkada 2020 oleh KPU di sejumlah daerah.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat atau bertentangan dengan konstitusi jika dalam waktu dua tahun (sejak 25 November 2021) tidak diperbaiki. Jika pembentuk undang-undang tidak memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja, undang-undang tersebut akan menjadi inkonstitusional secara permanen.
Selama kurun waktu yang ditetapkan, yaitu dua tahun, pemerintah diminta untuk menangguhkan pembuatan keputusan strategis dan berdampak luas terkait dengan UU Cipta Kerja.
Putusan tersebut oleh banyak kalangan dinilai tidak tegas, bahkan ambigu. Setidaknya hal itu yang diungkapkan pakar hukum tata negara yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana. Ia mencatat ada lima ambiguitas dalam putusan MK tersebut. Salah satu ambiguitas itu adalah UU Cipta Kerja secara tegas dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tetapi masih diberi ruang untuk berlaku selama dua tahun.
Menurut Denny, MK seharusnya tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja agar tidak ambigu. Jika ingin memberikan ruang perbaikan, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi sebuah undang-undang yang sudah dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku.
Baca juga : MK Menyatakan UU Cipta Kerja Cacat Formil

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam diskusi daring Pancasila 18 Agustus 1945, Minggu (22/8/2021) malam.
Namun, berbeda dengan Denny, mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqie justru menilai putusan MK tersebut moderat dan realistis. Para hakim MK dinilai telah mempertimbangkan berbagai dampak yang akan ditimbulkan. Bagi Jimly, hakim harus memutus dengan kearifan sehingga putusannya tidak menimbulkan masalah.
”Putusan itu tidak bisa kadang hitam putih. Jangan buat keputusan yang buat masalah, cabang kekuasaan kehakiman itu harus memberi solusi. Dengan keputusan yang solutif, bukan menciptakan masalah,” ujarnya.
Namun, di luar perdebatan di antara para pakar mengenai putusan MK tersebut, masyarakat terkadang bertanya-tanya mengenai apa sebenarnya putusan inkonstitusional bersyarat. Jika ada putusan inkonsitusional bersyarat, berarti ada putusan konstitusional bersyarat. Tulisan ini bermaksud menguraikan dua model putusan tersebut.
Jika ada putusan inkonsitusional bersyarat, berarti ada putusan konstitusional bersyarat.
Berkembang
Pada awal-awal tahun pertama keberadaannya, amar putusan MK terbatas pada dikabulkan (sebagian atau seluruhnya), ditolak, dan tidak dapat diterima. Pada tahun 2003, tidak satu pun perkara pengujian undang-undang yang dikabulkan oleh MK. Di tahun-tahun berikutnya, banyak putusan yang amar putusannya dikabulkan, misalnya pada 2004 ada 11 putusan dan pada 2005 sebanyak 10 putusan.
Baca juga : Airlangga: Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja yang Telah Terbit Tetap Berlaku

Mengacu pada penelitian berjudul ”Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)” yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan, dan Sekretariat Jenderal MK tahun 2013 disebutkan, ada sejumlah model putusan yang pernah diambil MK. Model-model tersebut di antaranya model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (legally null and void), model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), model putusan yang pemberlakuannya ditunda (limited constitutional), dan model putusan yang merumuskan norma baru.
Dalam putusan model pertama, yaitu membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, MK menyatakan, suatu UU yang diuji baik keseluruhan maupun sebagian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan diucapkan. MK tak membuat norma baru, tetapi hanya sebagai negative legislator.
Dalam perkembangannya, MK memperkenalkan konstitusional bersyarat yang pertama kali dimuat di bagian amar pada putusan nomor 10/PUU-VI/2008 yang dibacakan pada 1 Juli 2008. Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 12 Huruf c UU 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang diwakili.
Masih mengacu pada studi putusan yang sama, model putusan konstitusional bersyarat memiliki sejumlah karakteristik. Di antaranya, putusan dimaksudkan untuk mempertahankan konstitusionalitas suatu ketentukan dengan syarat-syarat atau catatan yang ditentukan MK, lalu syarat tersebut mengikat dalam proses pembentukan undang-undang, dan membuka peluang adanya pengujian kembali norma yang telah diuji apabila pembentukan undang-undang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan MK dalam putusannya.
Baca juga : DPR Abaikan Desakan Publik soal RUU Cipta Kerja

Selain itu, putusan konstitusional bersyarat itu juga menjadi acuan atau pedoman bagi MK dalam menilai konstitusionalitas norma yang sama. Menurut penelitian yang sama, putusan konstitusional bersyarat juga disebutkan dapat membuka peluang adanya pengujian norma yang secara tekstual tidak tercantum dalam suatu undang-undang, juga dapat digunakan untuk mengantisipasi kekosongan hukum. Oleh karena itu, putusan model konstitusional bersyarat ini menjadikan kedudukan MK yang pada dasarnya merupakan penafsir undang-undang sekaligus sebagai pembentuk undang-undang secara terbatas.
Sementara itu, model putusan inkonstitusional bersyarat, seperti diberlakukan MK dalam UU Cipta Kerja, sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Mengacu pada studi putusan di atas, model putusan tersebut sudah diberlakukan pada 24 Maret 2009 saat MK mengadili dan memeriksa pengujian pasal terkait larangan seseorang yang dijatuhi pidana dengan pasal yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan calon kepala daerah/wakil kepala daerah (Perkara 4/PUU-VII/2009).
Putusan inkonstitusional bersyarat kebalikan dari konstitusional bersyarat. Jadi, pasal yang diuji dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan konstitusi. Artinya, pasal itu inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan MK tidak dipenuhi.
Lahirnya model putusan inkonstitusional bersyarat tersebut akibat tidak efektifnya putusan konstitusional bersyarat. Pihak-pihak yang disebut MK untuk melaksanakan putusan sering kali mengabaikan bagian pertimbangan yang menjadi dasar atau alasan pengambilan putusan.
Menurut tim peneliti Kepaniteraan dan Kesekjenan MK, lahirnya model putusan inkonstitusional bersyarat tersebut akibat tidak efektifnya putusan konstitusional bersyarat. Pihak-pihak yang disebut MK untuk melaksanakan putusan sering kali mengabaikan bagian pertimbangan yang menjadi dasar atau alasan pengambilan putusan. Sebab, dalam amar putusan atau diktumnya, MK menyatakan permohonan ditolak sehingga pihak-pihak yang seharusnya menindaklanjuti atau mengimplementasi putusan itu mengabaikannya. Atau, mereka beranggapan tidak perlu ada yang ditindaklanjuti.
Jenis putusan selanjutnya adalah putusan yang pemberlakuannya ditunda. Model putusan ini pertama kali diberlakukan MK saat memutus uji materi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya Pasal 53 terkait pengadilan tipikor. MK menyatakan, ada kekeliruan landasan konstitusional pembentukan pengadilan tipikor yang seharusnya dibentuk dengan undang-undang tersendiri.
Baca juga : Beragam, Tafsir Ahli Hukum atas Putusan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat

Sidang terdakwa suap tiga hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Otto Cornelis Kaligis, berlangsung di Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (11/11/2015). Sidang ini mengagendakan pemeriksaan terdakwa. Selanjutnya, terdakwa OC Kaligis didakwa telah memberikan uang kepada hakim serta panitera PTUN Medan dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara.
Jimly masih mengingat dengan jelas putusan tersebut. MK memutuskan norma Pasal 53 UU KPK inkonstitusional, tetapi kemudian memberikan waktu tiga tahun bagi pembentuk undang-undang untuk memperbaiki hal tersebut.
”Seandainya ketika itu (Pasal 53) dihapus, atau jika seluruh UU dinyatakan tidak berlaku, seluruh sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi menjadi rusak. Oleh karena itu dinyatakan inkonstitusional, tapi dengan catatan. Bersyaratnya itu ya catatan itu, untuk diperbaiki dengan tenggang waktu tiga tahun,” katanya.
Bagi Jimly, putusan tersebut menjadi salah satu contoh putusan inkonstitusional bersyarat. Permohonan uji materi dikabulkan, tetapi dengan catatan.
Berbeda dengan Jimly, dalam studi yang dilakukan bagian Kepaniteraan dan Kesekjenan MK, putusan di atas dimasukkan dalam kategori limited constitusional atau yang pemberlakuannya ditunda. Putusan semacam itu dimaksudkan memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu atas dasar pertimbangan kemanfaatan.
Demikian sekelumit jenis-jenis putusan MK yang ada selama ini. Sejak didirikan pada 2003, MK telah berkembang sedemikian rupa dan menghasilkan ribuan putusan yang mengoreksi, mengawal, serta memastikan tercapainya kehidupan demokrasi konstitusional dan terjaminnya hak-hak warga yang dilindungi konstitusi.