Baru 11 Persen, Distribusi Lahan Perhutanan Sosial di Sumut Perlu Dipercepat
Dari total 574.845 hektar target dalam peta indikatif, baru 68.157 atau 11 persen izin perhutanan sosial yang didistribusikan di Sumut. Upaya untuk mempercepat pendistribusiannya perlu dilakukan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Kongres Kehutanan Daerah Ke-2 Sumatera Utara diselenggarakan di Medan, Sumatera Utara, Kamis (30/9/2021). Kongres tersebut meminta percepatan distribusi lahan perhutanan sosial.
MEDAN, KOMPAS — Distribusi lahan perhutanan sosial di Sumatera Utara masih lambat. Dari total 574.845 hektar target dalam peta indikatif, baru 68.157 atau 11 persen izin perhutanan sosial yang didistribusikan di Sumut.
Lambatnya distribusi perhutanan sosial membuat konflik tenurial, ketidakadilan pemanfaatan hutan, kemiskinan di desa penyangga, dan kriminalisasi masyarakat adat masih terjadi. Meski demikian, sebagian masyarakat yang sudah menerima lahan perhutanan sosial dan sudah mulai menikmati manfaatnya. Oleh karena itu, percepatan pendistribusian perlu dilakukan.
Hal itu mengemuka dalam dialog pada Kongres Kehutanan Sumatera Utara ke-II 2021 di Santika Premiere Dyandra Hotel and Convention, Medan, Sumatera Utara, Kamis (30/9/2021).
Ketua Kelompok Kajian Ekologi dan Konservasi Hutan Tropika Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara Onrizal mengatakan, berbagai persoalan dalam distribusi lahan perhutanan sosial masih belum terselesaikan.
Permasalahan itu di antaranya minimnya informasi dan sosialisasi kepada masyarakat, minimnya pendamping, rumitnya administrasi dan verifikasi, konflik horizontal, dan tenaga dari balai perhutanan sosial yang tidak mencukupi.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Mandiri Lestari KPH Batu Tegi Kabupaten Tanggamus, Lampung, Eko P Juliana menyiapkan bibit pohon jengkol untuk ditanam di dalam kawasan Hutan Lindung Batu Tegi, Tanggamus, Rabu (19/2/2020).
”Itu harus diselesaikan agar target distribusi perhutanan sosial bisa dicapai,” kata Onrizal.
Onrizal menyebutkan, perspektif terhadap hutan hingga kini masih diwarnai pandangan bahwa nilai ekonomi hutan itu hanya dari industri yang bersifat ekstraktif, seperti penebangan hutan dan konversi hutan. Padahal, perhutanan sosial membuktikan nilai ekonomi hutan justru jauh lebih tinggi jika tetap mempertahankan ekologinya.
”Di Sumut, ada kelompok perhutanan sosial yang mengelola ekowisata dengan omzet Rp 2,5 miliar per tahun. Itu jauh lebih besar dibandingkan jika hutan dikonversi menjadi sawit,” kata Onrizal.
Perhutanan sosial membuktikan nilai ekonomi hutan justru jauh lebih tinggi jika tetap mempertahankan ekologinya. (Onrizal)
Kepala Dinas Kehutanan Sumut Herianto mengatakan, tantangan utama distribusi perhutanan sosial adalah memastikan lahan yang didistribusikan berguna bagi kelompok masyarakat. Karena itu, distribusi lahan harus memastikan bahwa kelompok masyarakat yang menerimanya benar-benar yang berhak.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Warga Desa Tambak melakukan monitoring di Hutan Desa Tambak,Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Jumat (23/10/2020). Kawasan itu merupakan salah satu usaha perhutanan sosial.
Ada lima skema distribusi perhutanan sosial, yakni hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.
Dalam waktu dekat, kata Herianto, pemerintah akan memberikan izin 25.000 hektar hutan adat untuk 20 kelompok masyarakat adat di kawasan Danau Toba. Sebanyak 10.000 hektar akan dikeluarkan dari konsesi PT Toba Pulp Lestari.
”Di sana masyarakat adat sudah bermukim. Kawasan itu bagian dari hidup masyarakat adat,” kata Herianto.
Herianto mengatakan, sejumlah kelompok masyarakat sudah mulai menikmati kesejahteraan dari program perhutanan sosial dengan tetap menjaga fungsi konservasi. Di Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan, misalnya, masyarakat mendapat izin pengelolaan perhutanan sosial seluas 200 hektar di kawasan hutan lindung.
”Mereka menanam kopi arabika di bawah tegakan hutan tanpa sedikit pun merusak fungsi hutannya. Ini merupakan kearifan lokal masyarakat adat sejak dulu. Hasilnya cukup baik secara ekonomi dan memberikan penghasilan bagi 100 keluarga,” kata Herianto.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Sejumlah produk hasil perhutanan sosial yang dipamerkan dalam Sarasehan Masyarakat Perhutanan Sosial dan Rapat Koordinasi Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumatera Selatan di Palembang, Senin (1/4/2019). Keberadaan perhutanan sosial diharapkan dapat mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat dan mereka tidak lagi dianggap sebagai perambah.
Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Sumatera Apri Dwi Sumarah mengatakan, program perhutanan sosial lahir karena ketidakadilan pemanfaatan hutan. ”Total pemanfaatan hutan 42 juta hektar secara nasional, 96 persen dimanfaatkan swasta dan hanya empat persen untuk masyarakat,” katanya.
Apri mengatakan, penduduk miskin di area hutan 10,2 juta jiwa atau 36,7 persen dari seluruh penduduk miskin di Indonesia. Mereka tersebar di 25.863 desa penyangga hutan. Konflik tenurial dan kriminalisasi masyarakat adat pun terjadi. ”Perhutanan sosial diharapkan bisa mengatasi persoalan ini,” katanya.
Ketua Hutan Rakyat Institute (HaRI) Saurlin Siagian mengatakan, penebangan tegakan dan degradasi hutan masih terus terjadi di Sumut. ”Ini bisa kita lihat secara langsung dari banyaknya truk-truk pembawa kayu hutan yang setiap hari lalu-lalang di Sumut,” katanya.
Menurut Ketua Panitia Kongres Kehutanan Daerah Sumut Panut Hadisiswoyo, program perhutanan sosial menjadi isu penting dalam tata kelola kehutanan di Sumut. Dewan Kehutanan Daerah Sumut pun diharapkan bisa memberikan rekomendasi untuk percepatan distribusi perhutanan sosial.