Bentuk Pemerintahan Ibu Kota Negara Jangan Menabrak Konstitusi
Di dalam pembahasan sementara RUU IKN, bentuk pemerintahan disepakati sebagai pemerintahan daerah khusus IKN. Berbeda dengan usulan pemerintah, yakni dengan bentuk pemerintahan khusus.
JAKARTA, KOMPAS — Pembentuk undang-undang diharapkan memperhatikan bentuk pemerintahan di ibu kota negara yang baru agar tidak bertentangan dengan makna kekhususan daerah sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Kekhususan suatu daerah haruslah memperhatikan rambu-rambu pemerintahan daerah serta struktur pemerintahannya yang telah diatur di dalam konstitusi.
Oleh karena itu, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) sebaiknya tidak terburu-buru atau seolah dikejar waktu. Sampai saat ini pun masih ada perdebatan mengenai bentuk pemerintahan IKN dan kepemimpinan di pemerintahan ibu kota.
Di dalam pembahasan sementara RUU IKN, bentuk pemerintahan disepakati sebagai pemerintahan daerah khusus IKN. Berbeda dengan usulan semula yang diajukan melalui draf pemerintah, yakni dengan bentuk pemerintahan khusus.
Hanya saja, pemerintah dan DPR harus menyeimbangkan kesepakatan ini dengan model kepemimpinan daerah IKN, lantaran dengan bentuk pemerintahan daerah berarti harus ada kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dipilih langsung oleh rakyat, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Baca juga : Dudukkan Format Pemerintahan Ibu Kota Negara dengan Tepat di RUU IKN
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, Senin (10/1/2022), di Jakarta, mengatakan, dalam merumuskan RUU IKN, seharusnya pembentuk UU mempelajari dan melengkapi secara detail dan rinci wilayah yang menjadi calon IKN.
”Yang paling utama di dalam perumusan RUU IKN ini ialah perlunya simulasi atau exercise yang detail dan rinci dalam penyelenggaraan pemerintahan IKN. Kalau hanya main membuat formula rumusan atau teori tanpa dasar terhadap situasi pemerintahan daerah yang eksisting sekarang di calon IKN, UU ini berpotensi melanggar UUD 1945,” katanya.
Tanpa simulasi detail bagaimana penyelenggaraan pemerintahan IKN itu dilakukan, menurut Djohermasnyah, juga bisa membuat pemerintahan di IKN nantinya tidak berjalan efektif. ”Kenapa harus buru-buru. Dalami dan pelajari, serta lengkapi dengan detail dan rinci, baru diketok palu. Jangan seolah dikejar deadline. Risikonya jika nanti digugat ke MK dan ternyata kalah,” ucapnya.
Jika mengikuti keinginan pemerintah, yakni kepala pemerintahan IKN ditunjuk oleh presiden, menurut Djohermansyah, bentuk pemerintahan yang lebih tepat ialah Pemerintahan Khusus IKN, bukan Pemda Khusus IKN. Sebaliknya, jika ingin bentuknya adalah pemda khusus, harus ada gubernur dan DPRD yang dipilih rakyat.
”Kalau pemda khusus, itu ada hukum besinya, yakni ada kepala daerah yang dipilih, dan DPRD. Adapun maunya pemerintah dalam draf RUU ini kan kepala pemerintahan di IKN ini ditunjuk langsung presiden. Jika maunya begitu, bentuknya pemerintahan khusus,” katanya.
Pemerintahan khusus itu dapat dipimpin oleh seorang gubernur administratif. Gubernur tersebut setingkat menteri dan ditunjuk oleh presiden. Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahannya, gubernur dapat menunjuk wali kota administratif, hingga kecamatan dan kelurahan.
”Kita kan sudah mengenal wali kota administratif, seperti di Jakarta. Sekalipun memang belum pernah ada gubernur administratif. Tetapi pola ini dapat dipakai dan tidak bertentangan dengan konstitusi,” ucapnya.
Model kekhususan semacam ini, lanjut Djohermansyah, masih sesuai dengan Pasal 18 B UUD 1945. Sebab, MK dalam putusan perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 dan Nomor 81/PUU-VIII/2010, memberikan penafsiran lebih luas mengenai kekhususan yang diatur di dalam konstitusi. MK menyatakan kekhususan itu tidak semata-mata pengakuan kepada kekhususan tatanan, dan struktur pemerintahan yang hidup di daerah tersebut, tetapi juga kenyataan kebutuhan terkait dengan kepentingan politik strategis atau politik nasional.
Kekhususan pemerintahan IKN merujuk pada pertimbangan kepentingan politik strategis atau politik nasional. Implikasi dari bentuk pemerintahan khusus itu sepenuhnya ibu kota akan dibiayai oleh APBN, karena bukan merupakan daerah otonom.
Perdebatan alot
Di dalam pembahasan tim perumus dan tim sinkronisasi, perdebatan pun muncul mengenai bentuk pemerintahan di IKN. Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Suryadi Jaya Purnama mengatakan, fraksinya di dalam pembahasan mengusulkan agar bentuk pemerintahan yang berlaku di IKN nantinya ialah Pemerintahan Provinsi Khusus IKN.
“Pada tahap awal, tidak masalah jika kepala pemerintahannya itu ditunjuk oleh Presiden saat persiapan ibu kota. Tetapi, setelah resmi berpindah, kepala pemerintahannya itu harus dipilih supaya tidak menghilangkan hak konstitusi warga negara calon IKN sesuai dengan UUD 1945,” ucap Suryadi.
Dengan bentuk pemerintahan itu, IKN akan menjadi daerah otonom seperti Provinsi DKI Jakarta saat ini. ”Tetapi detail mengenai hal itu sedang dibahas oleh tim perumus dan tim sinkronisasi,” kata Suryadi.
Anggota Pansus RUU IKN dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menambahkan, perdebatan mengenai bentuk pemerintahan ini memang cukup pelik. Jika mengikuti usulan pemerintah, kepala otorita yang dibentuk untuk menyiapkan dan memindahkan IKN itu sekaligus akan memimpin IKN dalam penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, kepala pemerintahan yang diusulkan di dalam draf RUU IKN itu ditunjuk oleh presiden sepenuhnya dan tidak melalui pilkada, serta tidak memiliki DPRD sebagaimana daerah otonom umumnya.
”UU yang mengatur khusus soal ibu kota ini kan belum ada sehingga belum ada rujukan yang valid apakah memungkinkan membentuk pemda khusus ibu kota tetapi tidak ada pilkada, dan DPRD seperti daerah lainnya. Ini yang masih sulit dirumuskan,” katanya.
Guspardi sendiri lebih menyetujui otorita itu sifatnya ad hoc atau sementara, dan tidak sekaligus merangkap kepala pemerintahan di IKN. ”Lebih tepatnya kepala pemerintahan di IKN adalah gubernur, karena dia nanti itu setingkat menteri. Gubernur Jakarta dulu kan juga setingkat menteri,” ujarnya.
Tim perumus dan tim sinkronisasi, lanjut Guspardi, berada di dalam dilema karena mesti mempertimbangkan makna Pasal 18 huruf B UUD 1945 yang mengatur kekhususan pemda, tetapi juga memikirkan konsekuensi apabila bentuk pemerintahan dan struktur pemerintahan IKN itu tetap mengikuti keinginan pemerintah, yakni tidak seperti yang diatur di dalam UU Pemda.
”Pertimbangan yang mengemuka di dalam pembahasan kenapa kepala pemerintahannya ditunjuk presiden ialah agar prosesnya cepat dan dana dari APBN bisa membiayai pembangunan dan pemindahan IKN. Kalau ada DPRD, dikhawatirkan birokrasinya berbelit-belit,” kata Guspardi.
Taati konstitusi
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, persoalan bentuk pemerintahan itu tidak akan rumit seandainya dikembalikan kepada konstitusi. Konstitusi hanya mengatur pemerintahan daerah, pemerintahan daerah khusus, dan pemerintahan daerah istimewa. Dengan konsep itu, bentuk pemerintahan di IKN seharusnya pemerintahan daerah khusus.
”Kalau mau dibuat gubernur administratif yang ditunjuk oleh presiden, landasan hukumnya apa. Konstitusi hanya mengenal tiga jenis pemda itu. Kenapa tidak menerapkan bentuk pemerintahan daerah khusus ibu kota (DKI) seperti di Jakarta. Kenapa DPR harus mengikuti keinginan pemerintah agar kepala daerah ditunjuk presiden,” katanya.
Dengan pola meniru di Jakarta, pembentukan IKN sama dengan proses memekarkan atau membentuk daerah otonom baru. Pada tahap awal, pemerintah di daerah otonom baru itu boleh ditunjuk presiden. Akan tetapi, selanjutnya harus diadakan pilkada untuk memilih kepala daerah di daerah khusus ibu kota itu, serta memilih anggota DPRD.
”Kalau soal kekhususan daerah itu lebih pada pengaturan kewenangannya, tetapi struktur pemerintahannya harus mengikuti struktur yang diatur di dalam konstitusi, yakni ada gubernur dan DPRD. Kalau keluar dari struktur itu berbahaya, nanti bagaimana menjelaskan kewenangan pemerintahan itu dan bagaimana mengatur hubungannya dengan pemda sekitar IKN,” katanya.
Baca juga : Ibu Kota Negara Baru: Kilas Balik hingga Dampak Ekonomi
Penentuan bentuk pemerintahan ini krusial karena akan berdampak pada pelayanan publik terhadap warga IKN nantinya. Charles juga mengingatkan perspektif pengelolaan daerah otonom di Indonesia ialah desentralisasi dan bukan sentralistik mengikuti keinginan pemerintah pusat semata.
”Jangan hanya memikirkan kepentingan pemerintah pusat, tetapi juga harus menimbang aspirasi daerah,” ujarnya.